Ketika Megawati dan PDI Didzalimi Penguasa

Kamis, 02 November 2023 - 15:12 WIB
Sejumlah pakar politik menyebut bahwa kampanye Mega-Bintang itu lahir dari kritisisme rakyat atas kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Foto/Dok. SINDOnews
Arjuna Putra Aldino

Ketua Umum DPP GMNI

ALKISAH, ketika itu penguasa rezim otoriter Orde Baru sedang gencar melakukan manuver kekuasaan guna menghambat laju lawan politiknya. Tentakel kekuasaan itu bermula di Sukolilo, Surabaya, ketika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menyelenggarakan kongres luar biasa yang digelar pada 2-6 Desember 1993.

Dalam kongres itu, santer nama dua tokoh kuat yang bersaing. Budi Hardjono seorang anggota caretaker yang didukung pemerintah versus Megawati Soekarnoputri, putri Bung Karno yang kehadirannya tak diinginkan oleh rezim penguasa.

KLB pun berjalan, ada 256 dari 305 Dewan Pimpinan Cabang PDI mendukung Megawati. Hanya tinggal selangkah lagi Megawati jadi ketua umum PDI.



Namun mendengar kabar itu, penguasa tak tinggal diam. Intervensi kekuasaan membuat KLB Surabaya berujung deadlock. Pada 6 Desember 1993, caretaker kabur tanpa menetapkan ketua umum PDI terpilih. Di situasi yang sengaja dibikin kacau itu, Megawati tetap menyatakan diri sebagai ketua umum PDI secara de facto.

Dan sebagai upaya konsolidasi internal, pada 22 Desember 1993, PDI menggelar musyawarah nasional (Munas) di Kemang, Jakarta Selatan (selanjutnya disebut Munas Jakarta). Semua peserta secara aklamasi mendukung Megawati menjadi ketua umum PDI. Namun, kepemimpinan Megawati hasil Munas Jakarta tetap rentan.

Menurut Soerjadi, kongres partai mesti tetap digelar untuk memilih pengurus selepas Munas. Sebaliknya, menurut Megawati, kepengurusan dia sah sampai periode 1999.

Dengan didukung penuh penguasa, KLB Medan diadakan pada 20-23 Juni 1996. Megawati pun absen dalam kongres yang dijaga ketat tentara itu. Sementara Soerjadi dipilih sebagai ketua umum PDI tanpa hambatan.

PDI pun terbelah. Soerjadi banyak mendapat dukungan dari pengurus tingkat nasional dan pemerintah pusat. Sedangkan di daerah, pengurus PDI tingkat kabupaten/kota justru loyal kepada Megawati. Banyak anggota PDI menyatakan siap mati untuk Megawati. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikenal dengan adagium pejah gesang nderek Mbak Mega.

Perlawanan terhadap rezim pun dimulai, Megawati tak tinggal diam. Tak seperti Soerjadi, dukungan terhadap Megawati tak datang dari orang-orang besar yang mengendalikan kekuasaan. Dukungan itu berduyun-duyun datang dari massa akar rumput, simpatisan PNI, orang-orang yang mengikuti ayahnya, Bung Karno. Maka tak jarang, partai itu kerap disebut partai sandal jepit.

Namun protes turun ke jalan terhadap intervensi kekuasaan atas PDI itu dilarang keras oleh rezim otoriter Orde Baru. Sebagai gantinya, kubu pendukung PDI pro-Mega menyelenggarakan Mimbar Demokrasi setiap hari di halaman kantor DPP PDI.

Mimbar demokrasi ini diisi orasi-orasi protes yang dihadiri banyak orang. Mulanya protes akan intervensi kekuasaan atas PDI. Namun lambat laun, protes itu berkembang menjadi tuntutan akan reformasi secara luas pemerintahan. Sehingga PDI pun tampil bukan hanya sebagai kekuatan oposisi rezim Orde Baru namun juga pionir dan perintis jalan reformasi.

Melihat perlawan kian menggeliat, Soeharto pun gerah. Megawati menjadi anggota PDI pada 1987. Saat itu partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 tersebut bakal mengikuti pemilihan umum untuk ketiga kali.

Dia mengawali kariernya sebagai sebagai ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Pada dua Pemilu sebelumnya, PDI selalu di posisi buncit. Suara partai ini cuma 8,05% (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66% (24 kursi) pada Pemilu 1982. Namun ketika Megawati naik panggung politik, suara PDI kian meningkat.

Ketika Megawati tampil di panggung kampanye, massa PDI selalu berlimpah. Pada Pemilu 1987, suara PDI pun meningkat menjadi 10% (40 kursi) dan 14% (56 kursi) pada Pemilu 1992. Semua ini membuat penguasa Orde Baru risau.

Tak lama, panglima ABRI Feisal Tanjung menilai mimbar demokrasi di kantor PDI sebagai tindakan subversif. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid mendorong Soerjadi untuk mengambil alih. Maka pada Sabtu, 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu massa Soerjadi.

Mengutip laporan Kompas tanggal 29 Juli 1996, kejadian yang dikenal sebagai Kudatuli ini berlangsung selama 1,5 jam di Jalan Diponegoro, Jakarta. Komnas HAM melakukan identifikasi terhadap peristiwa tersebut.

Berdasarkan catatannya, ada 5 orang tewas, 149 luka, serta 23 orang yang hilang. Namun peristiwa Kudatuli mengubah lanskap politik Tanah Air, gerakan pro-demokrasi mengeras di senjakala riwayat Orde Baru.

Dari Kudatuli Menjadi Aliansi Mega-Bintang
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More