Ketika Megawati dan PDI Didzalimi Penguasa

Kamis, 02 November 2023 - 15:12 WIB
PDI pun terbelah. Soerjadi banyak mendapat dukungan dari pengurus tingkat nasional dan pemerintah pusat. Sedangkan di daerah, pengurus PDI tingkat kabupaten/kota justru loyal kepada Megawati. Banyak anggota PDI menyatakan siap mati untuk Megawati. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikenal dengan adagium pejah gesang nderek Mbak Mega.

Perlawanan terhadap rezim pun dimulai, Megawati tak tinggal diam. Tak seperti Soerjadi, dukungan terhadap Megawati tak datang dari orang-orang besar yang mengendalikan kekuasaan. Dukungan itu berduyun-duyun datang dari massa akar rumput, simpatisan PNI, orang-orang yang mengikuti ayahnya, Bung Karno. Maka tak jarang, partai itu kerap disebut partai sandal jepit.

Namun protes turun ke jalan terhadap intervensi kekuasaan atas PDI itu dilarang keras oleh rezim otoriter Orde Baru. Sebagai gantinya, kubu pendukung PDI pro-Mega menyelenggarakan Mimbar Demokrasi setiap hari di halaman kantor DPP PDI.

Mimbar demokrasi ini diisi orasi-orasi protes yang dihadiri banyak orang. Mulanya protes akan intervensi kekuasaan atas PDI. Namun lambat laun, protes itu berkembang menjadi tuntutan akan reformasi secara luas pemerintahan. Sehingga PDI pun tampil bukan hanya sebagai kekuatan oposisi rezim Orde Baru namun juga pionir dan perintis jalan reformasi.

Melihat perlawan kian menggeliat, Soeharto pun gerah. Megawati menjadi anggota PDI pada 1987. Saat itu partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 tersebut bakal mengikuti pemilihan umum untuk ketiga kali.

Dia mengawali kariernya sebagai sebagai ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Pada dua Pemilu sebelumnya, PDI selalu di posisi buncit. Suara partai ini cuma 8,05% (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66% (24 kursi) pada Pemilu 1982. Namun ketika Megawati naik panggung politik, suara PDI kian meningkat.

Ketika Megawati tampil di panggung kampanye, massa PDI selalu berlimpah. Pada Pemilu 1987, suara PDI pun meningkat menjadi 10% (40 kursi) dan 14% (56 kursi) pada Pemilu 1992. Semua ini membuat penguasa Orde Baru risau.

Tak lama, panglima ABRI Feisal Tanjung menilai mimbar demokrasi di kantor PDI sebagai tindakan subversif. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid mendorong Soerjadi untuk mengambil alih. Maka pada Sabtu, 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu massa Soerjadi.

Mengutip laporan Kompas tanggal 29 Juli 1996, kejadian yang dikenal sebagai Kudatuli ini berlangsung selama 1,5 jam di Jalan Diponegoro, Jakarta. Komnas HAM melakukan identifikasi terhadap peristiwa tersebut.

Berdasarkan catatannya, ada 5 orang tewas, 149 luka, serta 23 orang yang hilang. Namun peristiwa Kudatuli mengubah lanskap politik Tanah Air, gerakan pro-demokrasi mengeras di senjakala riwayat Orde Baru.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More