Putin, Kampanye Multipolar, dan Indonesia

Senin, 23 Oktober 2023 - 05:03 WIB
Walaupun sekilas AS dan sekutunya masih terlihat sangat dominan, sejatinya hegemoni mereka belakangan ini menunjukkan tren penurunan. Secara kasat mata, tren ini bisa dilihat dengan menguatnya bargaining positionChina dalam percaturan global. Negeri Panda tersebut menunjukkan lompatan luar dalam bidang ekonomi dan meluaskan pengaruhnya ke banyak negara berkembang, dengan indikasi Inisiatif Sabuk dan Jalan.

Pergeseran kekuatan ekonomi menunjukkan AS tidak akan lagi menempati posisi terkuat di dunia. Berbagai prediksi lembaga keuangan dunia, seperti Standar Chartered pada 2030 Negeri Panda di posisi nomor wahid dengan product domestic bruto(PDB) sebesar USD64,2 triliun, disusul India (USD46,3 triliun). Sedangkan AS hanya bertengger di urutan ketiga dengan PDB USD31 triliun, atau tidak sampai separuh PDB China.

Beberapa negara yang selama ini masuk kategori berkembang diprediksi turut merengsek ke kelompok 10 ekonomi terbesar di dunia, yakni Indonesia, Turki, Brazil, Mesir, dan Rusia. Sedangkan sekutu AS, Jerman dan Jepang, melorot di dua posisi sepuluh besar terakhir. Pergeseran dan perubahan kekuatan ekonomi inilah terbentuknya multipolarisme karena munculnya banyak kutub pusat kekuatan dunia.

Di sisi lain, AS dan sekutunya tidak lagi bisa mempertahankan hegemoninya secara mutlak.Indikatornya bisa dilihat dari kegagalan mereka melumpuhkan perekonomian Rusia melalui rentetan sanksi dan embargo yang diberikan setelah Negeri Beruang Merah itu menyerang Ukraina.

Pada komoditas minyak misalnya, Badan Energi Internasional (IEA) pada medio 2023 ini mengungkapkan ekspor Rusia justru meningkat 50.000 barel per hari menjadi 8,3 juta barel per hari. Pendapatan ekspor minyak negara itu pun naik senilai USD1,7 miliar menjadi USD15 miliar (Rp 222 triliun) pada April 2023.

IEA membeberkan, transaksi minyak Rusia hampir 80% disumbang China dan India. Fakta ini sekaligus mengonfirmasi bahwa dua negara raksasa Asia itu tidak menggubris tekanan AS dan sekutunya untuk tidak melakukan transaksi dengan Rusia.Kondisi ini sekaligus menegaskan mereka sama sekali tidak takut menghadapi tekanan AS.

Sebelumnya, AS juga gagal menunjukkan kedigdayaannya saat melakukan perang dagang dengan China. Pada konflik di kurun 2018 hingga 2020 tersebut, Negeri Tirai Bambu dianggap memenangkan pertarungan dengan indikator surplus perdagangan China dengan AS naik menjadi USD317 miliar pada 2020,atau meningkat 7% dibanding tahun sebelumnya.

Jumlah surplus neraca dagang itu hanya US$ 7 miliar di bawah level tahun 2018, ketika Presiden AS Donald Trump meluncurkan perang dagang dengan China. Louis Kuijs, kepala ekonomi Asia di Oxford Economics, pun berani menyimpulkan perang perdagangan Trump dengan China telah gagal.

Realitas melemahnya otot dan taring AS untuk mempertahankan hegemoni dalam kasus embargo ekonomi terhadap Rusia dan perang dagang dengan China secara kongkret mengindikasikan melemahnya kekuatan unipolar yang dibangun AS bersama sekutunya, dan di sisi lain munculnya kekuatan baru yang akan berperan menata masa depan sistem dunia yang multipolar.

Posisi AS kian terancam karena Rusia, China, dan India sejak 2010 telah melakukan kerjasama lewat BRICS. Goldman Sachs bahkan memprediksi pada 2050 akan mendominasi perekonomian global. Posisi BRICS kian kokoh dengan penambahan sejumlah anggota baru -yakni Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab per 1 Januari 2024 nanti.Di luar itu, masih ada 14 negara lain yang antre bergabung.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More