Putin, Kampanye Multipolar, dan Indonesia
loading...
A
A
A
PRESIDEN Rusia Vladimir Putinmemandang dunia sedang berkembang ke arah banyak kutub pusat kekuatan, atau multipolar. Perubahan ini didorong pertumbuhan pesat negara seperti China, Rusia, Brazil. Putin pun menyebut Indonesia sebagai bagian negara pendorong multipolarisme dunia. Menurut Putin, pergerakan dunia itu adalah manivestasi proses objektif.
baca juga: Putin: Rusia Tak Akan Terkalahkan
Sebagai contoh, Putin menyebut pertumbuhan China dan inisiatif yang disuguhkan seperti pada bidang keamanan, pembangunan, dan pembentukan peradaban global. Belt and Road Initiative yang diusulkan Xi Jinping tahun 2013 diarahkan untuk meningkatkan proyek investasi ekonomi dan perdagangan dengan melibatkan sebanyak mungkin negara. Dan kini, lebih dari 150 negara dan lebih dari 30 organisasi internasional telah bergabung dan membangun cita-citabersama China.
Apa yang disampaikan Putin terang sebagai kampanye mendorong terbentuknya dunia multipolar. Lantas apa urgensinya? Langkah Putin tidak lain dipicu realitas kuatnya hegemoni Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, dan sepak terjangnya selama ini dalam hubungan antarnegara. Dalam perspektif Putih, tatanan dunia unipolar dengan sentrum kekuasaan di tangan AS harus dihentikan.
Kampanye pembentukan dunia multipolar sebelumnya juga didengungkan Putin saatberbicara pada Konferensi Keamanan Internasional ke-21 di Moskow (15/8). Kala itu, ia dengan lantang Putin me-warning Asia akan kemungkinan NATO memasukkan pakta keamanan yang dibentuk AS dengan Inggris dan Australia di Asia Pasifika atau AUKUS menjadi bagiannya. Ujungnya, AS akan memformat ulang sistem interaksi kawasan Asia-Pasifik demi memenuhi ambisi globalnya.
Putin mengingatkan, pengembangan strategi Indo-Pasifik pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan asosiasi militer-politik yang dikendalikan Washington. Lebih vulgar lagi, Putin menganggap langkah AS mengintengrasikan NATO dan AUKUS sebagai upaya membangun neo-kolonial barat, dan di sisi lain menunda pembentukan dunia multipolar dengan mendestabilisasi dan memicu ketegangan di berbagai wilayah.
Putin lalu menuturkan sebagian besar negara siap mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional, tradisi, budaya, dan cara hidup mereka. Selaras dengan itu, muncul pusat-pusat ekonomi dan politik baru dan semakin menguat.Dalam pandangannya, tren ini adalah modal dasar penting untuk pembangunan global yang stabil dan progresif.
baca juga: Putin: Barat Mencoba Melenyapkan BRICS
Sedangkan di sisi lain, AS dan sekutunya memiliki tujuan jelas, yakni mengabadikan keuntungan dari tragedi kemanusiaan, mengadu domba orang satu sama lain, memaksa negara tunduk pada sistem neo-kolonial, dan mengeksploitasi sumber daya.Untuk mencapai tujuan demikian, AS dan NATO terus membangun dan memodernisasi kemampuan ofensif mereka. Mereka berusaha menyebarkan konfrontasi militer ke luar angkasa dan ke domain informasi, menggunakan sarana militer serta non-militer.
Di bagianlain, Putin menegaskan komitmennya mengurangi konfrontasi di tingkat global dan regional, dan terus berjuang untuk pengembangan tatanan dunia multipolar, berdasarkan prioritas norma dan prinsip hukum internasional, serta kerja sama dan kepercayaan yang konstruktif.
Dalam kajian hubungan internasional, manuver yang dilakukan pemimpin besar seperti Putin menarik untuk dikupas. Pertanyaan yang perlu dilemparkan adalah bagaimana realitas sesungguhnya dunia saat ini? Apakah dunia multipolar sebagai asa realistis? Dan peran seperti apa yang perlu dimainkan Indonesia?
Dari Bipolar, Unipolar Menuju Multipolar?
Realitas hubungan negara dibentuk berdasar kepentingan (interest). Bagaimana kondisi demikian bisa terjadi? Seperti dijelaskan HJ Morgenthau dalam ‘Politics Among Nations’ yang menjadi buku babon mahasiswa hubungan internasional, pada dasar manusia memiliki sifat pesimistis, tamak, dan haus kekuasaan. Pandangan yang menjadi asumsi dasar persepektif realisme ini mengenyampingkan moral dalam berperilaku politik.
Kepentingan dimaksud bukan semata mencakup bidang politik, militer dan ekonomi yang menjadi centrum konflik internasional, tapi juga ideologi, budaya, hingga teknologi.Pertarungan kepentingan bahkan seringkali melibatkan semua unsur perbedaan.
baca juga: Biden Merespons Putin: Rusia Akan Kalah!
Pasca-Perang Dunia II, arsitektur pertarungan global mengalami dinamika dan memformat polaritas hubungan internasional. Sistem polaritas yang diperkenalkan kaum realis, termasuk di antaranya Karen A. Mings, sangat lekat dengan konsep power yang merujuk pada perilaku aktor politik yang selalu bermotif meraih dan memperkuat pengaruhnya -baik di bidang politik, ekonomi, militer dan lainnya.
Dalam perjalanannya, metamorfosis pembentukan polaritas merupakan hasil kongkret dari pertarungan era sebelumnya. Sistem bipolar yang terlahir sejak berakhirnya perang Dunia II terbentuk setelah AS dan Uni Sovyet menjadi pemenangnya.
Mereka mengonsolindasikan kekuatan menjadi dua kubu aliansi, yakni Blok Barat atau NATO yang dipimpin AS versus Blok Timur atau Fakta Warsawa dengan pemimpin Uni Sovyet. Rivalitas terjadi tidak sampai meledak menjadi perang terbuka, hingga periodisasi ini disebut sebagai era Perang Dingin (Cold War).
Sistem bipolar saat itu memunculkan konsep balance of poweratau perimbangan kekuatan. Seperti dikemukakan Kenneth Waltz dalamTheory of International Politics, keberadaan dua negara berkekuatan besar bisa diharapkan bertindak sebagai pemelihara sistem. Berangkat dari pemahaman inilah, di era tersebut tidak sampai pecah perang antarnegara adidaya.
Ambruknya tembok Berlin yang memisahkan dua negara Jerman pada 9 November 1989,menandai kemenangan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ideologi AS dan sekutunya terhadap komunisme yang merupakan wujud wajah Uni Sovyet. Kemenangan AS pun bersifat mutlak setelah negara Uni Sovyet dibubarkan pada 25 Desember 1991, dengan ditandai mundurnya Presiden Mikhail Gorbacev.
Praktis,sejak itu AS menjadi negara adi kuasa tunggal dan mengubah tatanan dunia menjadi unipolar. Rusia yang menjadi negara inti dari Uni Sovyet pun kehilangan kendali untuk memainkan percaturan politik dunia seperti sebelumnya. Bahkan, dalam perjalanan sejarahnya satu persatu negara bekas wilayahnya mencoba bergabung dengan NATO, termasuk Ukraina, yang menjadi pemicu pecahnya perang kedua negara.
Benar kata Thomas Hobbes dalam bukunya ‘Leviathan’, yang menyebut tentang Homo homini lupus, yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Walaupun AS telah memenangkan pertarungan dan menjadikannya sebagai pemegang tunggal kendali polaritas dunia, atau unipolar, bukan berarti negeri Paman Sam itu mengendorkan langkahnya demi membangun tatanan dunia baru yang harmonis, adil, dan sejahtera.
Justru, seolah memanfaatkan aji mumpung berkuasa, AS memperbesar national interest-nya dengan berbagai cara. Bersama sekutunya ia memperkuat hegemoninya untuk memuluskan kepentingan mulai dari politik, ekonomi, militer, ideologi, dan lainnya.
Demi tujuan tersebut AS pun melakukan berbagai tindakan represif, mulai dari yang paling halus seperti dilakukan lewat proxy war, hingga melakukan penyerangan ke sejumlah negara, di antara menjadi korban adalah Irak. Kalau pun ada nilai yang disematkannya, tidak lebih sebagai bungkus untuk membenarkan tindakannya.
Interaksi yang dibangun AS dan sekutunya dalam hubungan internasional lebih mengedepankan conflict ketimbang cooperationdan competition. Apalagi terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ancaman atau mengancam kepentingannya, seperti China -dalam konteks ini memunculkan terjadinya perang dagang (trade war).
Terhadap Rusia yang dianggap sebagai potensi tandingan pun seolah tidak memberi ampun. AS terus memperluas pengaruhnya ke negara-negara eks Blok Timur, dan memasukkan beberapa negara menjadi anggota NATO. Sejauh ini ini sudah ada sembilan eks Blok Timur yang menjadi geng militer AS tersebut atau disebut Bucharest Nine. Mereka adalah Bulgaria, Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lituania, Polandia, Rumania dan Slovakia.
Tak puas, AS juga merayu Ukraina – negara eks Uni Sovyet yang dianggap sangat strategis bagi Rusia- untuk turut bergabung dengan NATO. Rusia yang tidak bisa menerima ancaman di depan pintu rumahnya pun langsung memilih perang dan menginvansi negeri yang dipimpin Volodymyr Zelenskyy itu.
Selain berupaya melumpuhkan Rusia, AS terus berupaya mengebiri kebangkitan China, apalagi negeri tersebut menunjukkan agresivitasnya memperluas wilayah di Laut China Selatan (LCS). Dalam konteks inilah, AS merangkul Inggris dan Australia membentuk persekutuan AUKUS. Bila melihat perilaku AS dan sekutunya selama ini, sangat mungkin warning Putin bahwa AS akan mengintegrasikan NATO dan AUKUS bisa menjadi kenyataan.
Indikator Pergeseran Kekuatan
Walaupun sekilas AS dan sekutunya masih terlihat sangat dominan, sejatinya hegemoni mereka belakangan ini menunjukkan tren penurunan. Secara kasat mata, tren ini bisa dilihat dengan menguatnya bargaining positionChina dalam percaturan global. Negeri Panda tersebut menunjukkan lompatan luar dalam bidang ekonomi dan meluaskan pengaruhnya ke banyak negara berkembang, dengan indikasi Inisiatif Sabuk dan Jalan.
Pergeseran kekuatan ekonomi menunjukkan AS tidak akan lagi menempati posisi terkuat di dunia. Berbagai prediksi lembaga keuangan dunia, seperti Standar Chartered pada 2030 Negeri Panda di posisi nomor wahid dengan product domestic bruto(PDB) sebesar USD64,2 triliun, disusul India (USD46,3 triliun). Sedangkan AS hanya bertengger di urutan ketiga dengan PDB USD31 triliun, atau tidak sampai separuh PDB China.
Beberapa negara yang selama ini masuk kategori berkembang diprediksi turut merengsek ke kelompok 10 ekonomi terbesar di dunia, yakni Indonesia, Turki, Brazil, Mesir, dan Rusia. Sedangkan sekutu AS, Jerman dan Jepang, melorot di dua posisi sepuluh besar terakhir. Pergeseran dan perubahan kekuatan ekonomi inilah terbentuknya multipolarisme karena munculnya banyak kutub pusat kekuatan dunia.
Di sisi lain, AS dan sekutunya tidak lagi bisa mempertahankan hegemoninya secara mutlak.Indikatornya bisa dilihat dari kegagalan mereka melumpuhkan perekonomian Rusia melalui rentetan sanksi dan embargo yang diberikan setelah Negeri Beruang Merah itu menyerang Ukraina.
Pada komoditas minyak misalnya, Badan Energi Internasional (IEA) pada medio 2023 ini mengungkapkan ekspor Rusia justru meningkat 50.000 barel per hari menjadi 8,3 juta barel per hari. Pendapatan ekspor minyak negara itu pun naik senilai USD1,7 miliar menjadi USD15 miliar (Rp 222 triliun) pada April 2023.
IEA membeberkan, transaksi minyak Rusia hampir 80% disumbang China dan India. Fakta ini sekaligus mengonfirmasi bahwa dua negara raksasa Asia itu tidak menggubris tekanan AS dan sekutunya untuk tidak melakukan transaksi dengan Rusia.Kondisi ini sekaligus menegaskan mereka sama sekali tidak takut menghadapi tekanan AS.
Sebelumnya, AS juga gagal menunjukkan kedigdayaannya saat melakukan perang dagang dengan China. Pada konflik di kurun 2018 hingga 2020 tersebut, Negeri Tirai Bambu dianggap memenangkan pertarungan dengan indikator surplus perdagangan China dengan AS naik menjadi USD317 miliar pada 2020,atau meningkat 7% dibanding tahun sebelumnya.
Jumlah surplus neraca dagang itu hanya US$ 7 miliar di bawah level tahun 2018, ketika Presiden AS Donald Trump meluncurkan perang dagang dengan China. Louis Kuijs, kepala ekonomi Asia di Oxford Economics, pun berani menyimpulkan perang perdagangan Trump dengan China telah gagal.
Realitas melemahnya otot dan taring AS untuk mempertahankan hegemoni dalam kasus embargo ekonomi terhadap Rusia dan perang dagang dengan China secara kongkret mengindikasikan melemahnya kekuatan unipolar yang dibangun AS bersama sekutunya, dan di sisi lain munculnya kekuatan baru yang akan berperan menata masa depan sistem dunia yang multipolar.
Posisi AS kian terancam karena Rusia, China, dan India sejak 2010 telah melakukan kerjasama lewat BRICS. Goldman Sachs bahkan memprediksi pada 2050 akan mendominasi perekonomian global. Posisi BRICS kian kokoh dengan penambahan sejumlah anggota baru -yakni Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab per 1 Januari 2024 nanti.Di luar itu, masih ada 14 negara lain yang antre bergabung.
Positioning Indonesia
Masih menurut Standar Chartered, pada 2030 Indonesia juga akan merengsek menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Diprediksi PDB negeri ini akan mencapai USD10,1 triliun atau naik 3 kali lipat dibanding tahun 2017 yang hanya sebesar USD3,2 triliun. Dengan besaran PDB tersebut, Indonesia akan menempati peringkat ke-4 perekonomian terbesar dunia.
Modalitas ini tentu bisa dimanfaatkan untuk menjadi aktor hubungan internasional dan berpeluang memformat sistem global. Tapi pertanyaannya, arsitektur dunia seperti apa yang akan Indonesia bangun? Arahnya tentu tidak boleh keluar amanat konstitusi dan prinsip politik luar negeri yang dianut.
Karena itu, bila Indonesia benar menjadi salah satu kekuatan multipolar dunia, maka muaranya bukan pada pihak pro-kontra dalam pertarungan kekuatan internasional dengan melulu mengemukakan national interest-nya sendiri dan di sisi lain menegasikan nasib negara lain. Peran yang ideal yang perlu dimainkan adalah mewujudkan perdamaian yang abadi dan berkeadilan, sejalan dengan cita-cita kemerdekaan negara.
Positioning politik luar negeri yang dibangun para founding fatherdan berlangsung hingga kini sudah on the right track,yakni negara non blok dan bebas aktif. Karena itu, nantinya Indonesia tidak perlu bergabung dengan kekuatan-kekuatan baru yang muncul dan bertarung zero sum game, tapi berkontribusi menata dunia lebih harmonis.
Karena itu, yang diperlukan Indonesia adalah memperkuat keberadaan Gerakan Non-Blok, ASEAN, dan organisasi di luar blok-blok koalisi yang berorientasi persukutuan. Begitu pun langkah Indonesia mendorong south-south collaboration dan Archiplegic and Island States (AIS) Forum juga perlu diperkuat. Inisiatif-inisiatif alternatif kolaborasi global tersebut bukan hanya memberi pilihan negara-negara agar tidak terjebak polarisasi, tapi bisa bisa bersama-sama mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.(*)
baca juga: Putin: Rusia Tak Akan Terkalahkan
Sebagai contoh, Putin menyebut pertumbuhan China dan inisiatif yang disuguhkan seperti pada bidang keamanan, pembangunan, dan pembentukan peradaban global. Belt and Road Initiative yang diusulkan Xi Jinping tahun 2013 diarahkan untuk meningkatkan proyek investasi ekonomi dan perdagangan dengan melibatkan sebanyak mungkin negara. Dan kini, lebih dari 150 negara dan lebih dari 30 organisasi internasional telah bergabung dan membangun cita-citabersama China.
Apa yang disampaikan Putin terang sebagai kampanye mendorong terbentuknya dunia multipolar. Lantas apa urgensinya? Langkah Putin tidak lain dipicu realitas kuatnya hegemoni Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, dan sepak terjangnya selama ini dalam hubungan antarnegara. Dalam perspektif Putih, tatanan dunia unipolar dengan sentrum kekuasaan di tangan AS harus dihentikan.
Kampanye pembentukan dunia multipolar sebelumnya juga didengungkan Putin saatberbicara pada Konferensi Keamanan Internasional ke-21 di Moskow (15/8). Kala itu, ia dengan lantang Putin me-warning Asia akan kemungkinan NATO memasukkan pakta keamanan yang dibentuk AS dengan Inggris dan Australia di Asia Pasifika atau AUKUS menjadi bagiannya. Ujungnya, AS akan memformat ulang sistem interaksi kawasan Asia-Pasifik demi memenuhi ambisi globalnya.
Putin mengingatkan, pengembangan strategi Indo-Pasifik pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan asosiasi militer-politik yang dikendalikan Washington. Lebih vulgar lagi, Putin menganggap langkah AS mengintengrasikan NATO dan AUKUS sebagai upaya membangun neo-kolonial barat, dan di sisi lain menunda pembentukan dunia multipolar dengan mendestabilisasi dan memicu ketegangan di berbagai wilayah.
Putin lalu menuturkan sebagian besar negara siap mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional, tradisi, budaya, dan cara hidup mereka. Selaras dengan itu, muncul pusat-pusat ekonomi dan politik baru dan semakin menguat.Dalam pandangannya, tren ini adalah modal dasar penting untuk pembangunan global yang stabil dan progresif.
baca juga: Putin: Barat Mencoba Melenyapkan BRICS
Sedangkan di sisi lain, AS dan sekutunya memiliki tujuan jelas, yakni mengabadikan keuntungan dari tragedi kemanusiaan, mengadu domba orang satu sama lain, memaksa negara tunduk pada sistem neo-kolonial, dan mengeksploitasi sumber daya.Untuk mencapai tujuan demikian, AS dan NATO terus membangun dan memodernisasi kemampuan ofensif mereka. Mereka berusaha menyebarkan konfrontasi militer ke luar angkasa dan ke domain informasi, menggunakan sarana militer serta non-militer.
Di bagianlain, Putin menegaskan komitmennya mengurangi konfrontasi di tingkat global dan regional, dan terus berjuang untuk pengembangan tatanan dunia multipolar, berdasarkan prioritas norma dan prinsip hukum internasional, serta kerja sama dan kepercayaan yang konstruktif.
Dalam kajian hubungan internasional, manuver yang dilakukan pemimpin besar seperti Putin menarik untuk dikupas. Pertanyaan yang perlu dilemparkan adalah bagaimana realitas sesungguhnya dunia saat ini? Apakah dunia multipolar sebagai asa realistis? Dan peran seperti apa yang perlu dimainkan Indonesia?
Dari Bipolar, Unipolar Menuju Multipolar?
Realitas hubungan negara dibentuk berdasar kepentingan (interest). Bagaimana kondisi demikian bisa terjadi? Seperti dijelaskan HJ Morgenthau dalam ‘Politics Among Nations’ yang menjadi buku babon mahasiswa hubungan internasional, pada dasar manusia memiliki sifat pesimistis, tamak, dan haus kekuasaan. Pandangan yang menjadi asumsi dasar persepektif realisme ini mengenyampingkan moral dalam berperilaku politik.
Kepentingan dimaksud bukan semata mencakup bidang politik, militer dan ekonomi yang menjadi centrum konflik internasional, tapi juga ideologi, budaya, hingga teknologi.Pertarungan kepentingan bahkan seringkali melibatkan semua unsur perbedaan.
baca juga: Biden Merespons Putin: Rusia Akan Kalah!
Pasca-Perang Dunia II, arsitektur pertarungan global mengalami dinamika dan memformat polaritas hubungan internasional. Sistem polaritas yang diperkenalkan kaum realis, termasuk di antaranya Karen A. Mings, sangat lekat dengan konsep power yang merujuk pada perilaku aktor politik yang selalu bermotif meraih dan memperkuat pengaruhnya -baik di bidang politik, ekonomi, militer dan lainnya.
Dalam perjalanannya, metamorfosis pembentukan polaritas merupakan hasil kongkret dari pertarungan era sebelumnya. Sistem bipolar yang terlahir sejak berakhirnya perang Dunia II terbentuk setelah AS dan Uni Sovyet menjadi pemenangnya.
Mereka mengonsolindasikan kekuatan menjadi dua kubu aliansi, yakni Blok Barat atau NATO yang dipimpin AS versus Blok Timur atau Fakta Warsawa dengan pemimpin Uni Sovyet. Rivalitas terjadi tidak sampai meledak menjadi perang terbuka, hingga periodisasi ini disebut sebagai era Perang Dingin (Cold War).
Sistem bipolar saat itu memunculkan konsep balance of poweratau perimbangan kekuatan. Seperti dikemukakan Kenneth Waltz dalamTheory of International Politics, keberadaan dua negara berkekuatan besar bisa diharapkan bertindak sebagai pemelihara sistem. Berangkat dari pemahaman inilah, di era tersebut tidak sampai pecah perang antarnegara adidaya.
Ambruknya tembok Berlin yang memisahkan dua negara Jerman pada 9 November 1989,menandai kemenangan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ideologi AS dan sekutunya terhadap komunisme yang merupakan wujud wajah Uni Sovyet. Kemenangan AS pun bersifat mutlak setelah negara Uni Sovyet dibubarkan pada 25 Desember 1991, dengan ditandai mundurnya Presiden Mikhail Gorbacev.
Praktis,sejak itu AS menjadi negara adi kuasa tunggal dan mengubah tatanan dunia menjadi unipolar. Rusia yang menjadi negara inti dari Uni Sovyet pun kehilangan kendali untuk memainkan percaturan politik dunia seperti sebelumnya. Bahkan, dalam perjalanan sejarahnya satu persatu negara bekas wilayahnya mencoba bergabung dengan NATO, termasuk Ukraina, yang menjadi pemicu pecahnya perang kedua negara.
Benar kata Thomas Hobbes dalam bukunya ‘Leviathan’, yang menyebut tentang Homo homini lupus, yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Walaupun AS telah memenangkan pertarungan dan menjadikannya sebagai pemegang tunggal kendali polaritas dunia, atau unipolar, bukan berarti negeri Paman Sam itu mengendorkan langkahnya demi membangun tatanan dunia baru yang harmonis, adil, dan sejahtera.
Justru, seolah memanfaatkan aji mumpung berkuasa, AS memperbesar national interest-nya dengan berbagai cara. Bersama sekutunya ia memperkuat hegemoninya untuk memuluskan kepentingan mulai dari politik, ekonomi, militer, ideologi, dan lainnya.
Demi tujuan tersebut AS pun melakukan berbagai tindakan represif, mulai dari yang paling halus seperti dilakukan lewat proxy war, hingga melakukan penyerangan ke sejumlah negara, di antara menjadi korban adalah Irak. Kalau pun ada nilai yang disematkannya, tidak lebih sebagai bungkus untuk membenarkan tindakannya.
Interaksi yang dibangun AS dan sekutunya dalam hubungan internasional lebih mengedepankan conflict ketimbang cooperationdan competition. Apalagi terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ancaman atau mengancam kepentingannya, seperti China -dalam konteks ini memunculkan terjadinya perang dagang (trade war).
Terhadap Rusia yang dianggap sebagai potensi tandingan pun seolah tidak memberi ampun. AS terus memperluas pengaruhnya ke negara-negara eks Blok Timur, dan memasukkan beberapa negara menjadi anggota NATO. Sejauh ini ini sudah ada sembilan eks Blok Timur yang menjadi geng militer AS tersebut atau disebut Bucharest Nine. Mereka adalah Bulgaria, Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lituania, Polandia, Rumania dan Slovakia.
Tak puas, AS juga merayu Ukraina – negara eks Uni Sovyet yang dianggap sangat strategis bagi Rusia- untuk turut bergabung dengan NATO. Rusia yang tidak bisa menerima ancaman di depan pintu rumahnya pun langsung memilih perang dan menginvansi negeri yang dipimpin Volodymyr Zelenskyy itu.
Selain berupaya melumpuhkan Rusia, AS terus berupaya mengebiri kebangkitan China, apalagi negeri tersebut menunjukkan agresivitasnya memperluas wilayah di Laut China Selatan (LCS). Dalam konteks inilah, AS merangkul Inggris dan Australia membentuk persekutuan AUKUS. Bila melihat perilaku AS dan sekutunya selama ini, sangat mungkin warning Putin bahwa AS akan mengintegrasikan NATO dan AUKUS bisa menjadi kenyataan.
Indikator Pergeseran Kekuatan
Walaupun sekilas AS dan sekutunya masih terlihat sangat dominan, sejatinya hegemoni mereka belakangan ini menunjukkan tren penurunan. Secara kasat mata, tren ini bisa dilihat dengan menguatnya bargaining positionChina dalam percaturan global. Negeri Panda tersebut menunjukkan lompatan luar dalam bidang ekonomi dan meluaskan pengaruhnya ke banyak negara berkembang, dengan indikasi Inisiatif Sabuk dan Jalan.
Pergeseran kekuatan ekonomi menunjukkan AS tidak akan lagi menempati posisi terkuat di dunia. Berbagai prediksi lembaga keuangan dunia, seperti Standar Chartered pada 2030 Negeri Panda di posisi nomor wahid dengan product domestic bruto(PDB) sebesar USD64,2 triliun, disusul India (USD46,3 triliun). Sedangkan AS hanya bertengger di urutan ketiga dengan PDB USD31 triliun, atau tidak sampai separuh PDB China.
Beberapa negara yang selama ini masuk kategori berkembang diprediksi turut merengsek ke kelompok 10 ekonomi terbesar di dunia, yakni Indonesia, Turki, Brazil, Mesir, dan Rusia. Sedangkan sekutu AS, Jerman dan Jepang, melorot di dua posisi sepuluh besar terakhir. Pergeseran dan perubahan kekuatan ekonomi inilah terbentuknya multipolarisme karena munculnya banyak kutub pusat kekuatan dunia.
Di sisi lain, AS dan sekutunya tidak lagi bisa mempertahankan hegemoninya secara mutlak.Indikatornya bisa dilihat dari kegagalan mereka melumpuhkan perekonomian Rusia melalui rentetan sanksi dan embargo yang diberikan setelah Negeri Beruang Merah itu menyerang Ukraina.
Pada komoditas minyak misalnya, Badan Energi Internasional (IEA) pada medio 2023 ini mengungkapkan ekspor Rusia justru meningkat 50.000 barel per hari menjadi 8,3 juta barel per hari. Pendapatan ekspor minyak negara itu pun naik senilai USD1,7 miliar menjadi USD15 miliar (Rp 222 triliun) pada April 2023.
IEA membeberkan, transaksi minyak Rusia hampir 80% disumbang China dan India. Fakta ini sekaligus mengonfirmasi bahwa dua negara raksasa Asia itu tidak menggubris tekanan AS dan sekutunya untuk tidak melakukan transaksi dengan Rusia.Kondisi ini sekaligus menegaskan mereka sama sekali tidak takut menghadapi tekanan AS.
Sebelumnya, AS juga gagal menunjukkan kedigdayaannya saat melakukan perang dagang dengan China. Pada konflik di kurun 2018 hingga 2020 tersebut, Negeri Tirai Bambu dianggap memenangkan pertarungan dengan indikator surplus perdagangan China dengan AS naik menjadi USD317 miliar pada 2020,atau meningkat 7% dibanding tahun sebelumnya.
Jumlah surplus neraca dagang itu hanya US$ 7 miliar di bawah level tahun 2018, ketika Presiden AS Donald Trump meluncurkan perang dagang dengan China. Louis Kuijs, kepala ekonomi Asia di Oxford Economics, pun berani menyimpulkan perang perdagangan Trump dengan China telah gagal.
Realitas melemahnya otot dan taring AS untuk mempertahankan hegemoni dalam kasus embargo ekonomi terhadap Rusia dan perang dagang dengan China secara kongkret mengindikasikan melemahnya kekuatan unipolar yang dibangun AS bersama sekutunya, dan di sisi lain munculnya kekuatan baru yang akan berperan menata masa depan sistem dunia yang multipolar.
Posisi AS kian terancam karena Rusia, China, dan India sejak 2010 telah melakukan kerjasama lewat BRICS. Goldman Sachs bahkan memprediksi pada 2050 akan mendominasi perekonomian global. Posisi BRICS kian kokoh dengan penambahan sejumlah anggota baru -yakni Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab per 1 Januari 2024 nanti.Di luar itu, masih ada 14 negara lain yang antre bergabung.
Positioning Indonesia
Masih menurut Standar Chartered, pada 2030 Indonesia juga akan merengsek menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Diprediksi PDB negeri ini akan mencapai USD10,1 triliun atau naik 3 kali lipat dibanding tahun 2017 yang hanya sebesar USD3,2 triliun. Dengan besaran PDB tersebut, Indonesia akan menempati peringkat ke-4 perekonomian terbesar dunia.
Modalitas ini tentu bisa dimanfaatkan untuk menjadi aktor hubungan internasional dan berpeluang memformat sistem global. Tapi pertanyaannya, arsitektur dunia seperti apa yang akan Indonesia bangun? Arahnya tentu tidak boleh keluar amanat konstitusi dan prinsip politik luar negeri yang dianut.
Karena itu, bila Indonesia benar menjadi salah satu kekuatan multipolar dunia, maka muaranya bukan pada pihak pro-kontra dalam pertarungan kekuatan internasional dengan melulu mengemukakan national interest-nya sendiri dan di sisi lain menegasikan nasib negara lain. Peran yang ideal yang perlu dimainkan adalah mewujudkan perdamaian yang abadi dan berkeadilan, sejalan dengan cita-cita kemerdekaan negara.
Positioning politik luar negeri yang dibangun para founding fatherdan berlangsung hingga kini sudah on the right track,yakni negara non blok dan bebas aktif. Karena itu, nantinya Indonesia tidak perlu bergabung dengan kekuatan-kekuatan baru yang muncul dan bertarung zero sum game, tapi berkontribusi menata dunia lebih harmonis.
Karena itu, yang diperlukan Indonesia adalah memperkuat keberadaan Gerakan Non-Blok, ASEAN, dan organisasi di luar blok-blok koalisi yang berorientasi persukutuan. Begitu pun langkah Indonesia mendorong south-south collaboration dan Archiplegic and Island States (AIS) Forum juga perlu diperkuat. Inisiatif-inisiatif alternatif kolaborasi global tersebut bukan hanya memberi pilihan negara-negara agar tidak terjebak polarisasi, tapi bisa bisa bersama-sama mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.(*)
(hdr)