Putin, Kampanye Multipolar, dan Indonesia

Senin, 23 Oktober 2023 - 05:03 WIB
Ambruknya tembok Berlin yang memisahkan dua negara Jerman pada 9 November 1989,menandai kemenangan demokrasi dan kebebasan yang menjadi ideologi AS dan sekutunya terhadap komunisme yang merupakan wujud wajah Uni Sovyet. Kemenangan AS pun bersifat mutlak setelah negara Uni Sovyet dibubarkan pada 25 Desember 1991, dengan ditandai mundurnya Presiden Mikhail Gorbacev.

Praktis,sejak itu AS menjadi negara adi kuasa tunggal dan mengubah tatanan dunia menjadi unipolar. Rusia yang menjadi negara inti dari Uni Sovyet pun kehilangan kendali untuk memainkan percaturan politik dunia seperti sebelumnya. Bahkan, dalam perjalanan sejarahnya satu persatu negara bekas wilayahnya mencoba bergabung dengan NATO, termasuk Ukraina, yang menjadi pemicu pecahnya perang kedua negara.

Benar kata Thomas Hobbes dalam bukunya ‘Leviathan’, yang menyebut tentang Homo homini lupus, yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Walaupun AS telah memenangkan pertarungan dan menjadikannya sebagai pemegang tunggal kendali polaritas dunia, atau unipolar, bukan berarti negeri Paman Sam itu mengendorkan langkahnya demi membangun tatanan dunia baru yang harmonis, adil, dan sejahtera.

Justru, seolah memanfaatkan aji mumpung berkuasa, AS memperbesar national interest-nya dengan berbagai cara. Bersama sekutunya ia memperkuat hegemoninya untuk memuluskan kepentingan mulai dari politik, ekonomi, militer, ideologi, dan lainnya.

Demi tujuan tersebut AS pun melakukan berbagai tindakan represif, mulai dari yang paling halus seperti dilakukan lewat proxy war, hingga melakukan penyerangan ke sejumlah negara, di antara menjadi korban adalah Irak. Kalau pun ada nilai yang disematkannya, tidak lebih sebagai bungkus untuk membenarkan tindakannya.

Interaksi yang dibangun AS dan sekutunya dalam hubungan internasional lebih mengedepankan conflict ketimbang cooperationdan competition. Apalagi terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ancaman atau mengancam kepentingannya, seperti China -dalam konteks ini memunculkan terjadinya perang dagang (trade war).

Terhadap Rusia yang dianggap sebagai potensi tandingan pun seolah tidak memberi ampun. AS terus memperluas pengaruhnya ke negara-negara eks Blok Timur, dan memasukkan beberapa negara menjadi anggota NATO. Sejauh ini ini sudah ada sembilan eks Blok Timur yang menjadi geng militer AS tersebut atau disebut Bucharest Nine. Mereka adalah Bulgaria, Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lituania, Polandia, Rumania dan Slovakia.

Tak puas, AS juga merayu Ukraina – negara eks Uni Sovyet yang dianggap sangat strategis bagi Rusia- untuk turut bergabung dengan NATO. Rusia yang tidak bisa menerima ancaman di depan pintu rumahnya pun langsung memilih perang dan menginvansi negeri yang dipimpin Volodymyr Zelenskyy itu.

Selain berupaya melumpuhkan Rusia, AS terus berupaya mengebiri kebangkitan China, apalagi negeri tersebut menunjukkan agresivitasnya memperluas wilayah di Laut China Selatan (LCS). Dalam konteks inilah, AS merangkul Inggris dan Australia membentuk persekutuan AUKUS. Bila melihat perilaku AS dan sekutunya selama ini, sangat mungkin warning Putin bahwa AS akan mengintegrasikan NATO dan AUKUS bisa menjadi kenyataan.

Indikator Pergeseran Kekuatan
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More