Masjid Benteng Moralitas Berdemokrasi
Jum'at, 13 Oktober 2023 - 07:09 WIB
Meskipun di masjid, mereka tidak segan mengungkapkan ujaran kebencian, fitnah, dan caci maki kepada kelompok yang tidak disukai. Masjid tetap akan menjadi tempat favorit bagi politisi untuk mengeruk simpati publik. Mereka tak perlu biaya untuk memobilisasi massa agar umat datang ke masjid.
Memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik praktis tak sepatutnya dilakukan. Ada banyak dampak negatif yang pasti muncul. Salah satunya, polarisasi jamaah masjid. Masjid menjadi tidak nyaman karena urusan politik praktis.
Bertindak Etis
Pada dasarnya, berpolitik itu mubah bagi umat Islam. Tegasnya, tak ada larangan atau kewajiban bagi umat Islam untuk berpolitik. Hukum berpolitik bisa berubah, tergantung niat, situasi dan kondisi aktual (illat) yang sedang dihadapi umat Islam.
Hukum berpolitik bisa menjadi fardu ain (wajib) jika tidak ada satu pun umat Islam yang terjun di sana. Jika gara-gara tidak mengikuti mekanisme demokrasi lalu umat Islam menjadi terpinggirkan atau terzalimi, maka mereka wajib tahu dan mengerti politik, kalau perlu aktif sebagai politisi.
Lebih dari itu, politik juga bagian dari alat perjuangan (wasilah) agar Islam makin dikenal dan nilai-nilai Islam dapat dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, tujuan kita berpolitik tidak lain adalah untuk meninggikan agama. Sarananya dengan menggunakan pendekatan politik.
Oleh karena itu, cara berpolitiknya juga harus mencerminkan kemuliaan tujuan kita, yakni meninggikan nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, berlaku kaidah “barangsiapa yang urusannya baik maka caranya juga harus baik” (man kana amruhu ma’rufan falyakun bi ma’rufin).
baca juga: Wapres Imbau Parpol Tak Jadikan Masjid Tempat Kampanye
Sebaliknya, berpolitik bisa menjadi makruh atau bahkan haram bila aktivitas ini dapat menimbulkan kemudaratan yang nyata bagi umat Islam. Meskipun baru bersifat potensi, yang diduga kuat mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya. Dalam ushul fiqh, dikenal dalil sadd al-dzariah, di mana jalan menuju kemudaratan harus ditutup rapat dan jalan menuju kemaslahatan wajib dibuka lebar.
Menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata termasuk dalam kategori politisasi agama. Tidak boleh dilakukan. Modusnya dalam berbagai bentuk. Eksploitasi agama untuk tujuan politik hanya akan menempatkan agama setara dengan parpol. Penghormatan kepada agamawan, kitab suci, atribut dan bahkan tempat ibadah tak lebih hanya sepadan dengan penghargaan kepada ketua parpol, AD/ART dan kantor parpol.
Memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik praktis tak sepatutnya dilakukan. Ada banyak dampak negatif yang pasti muncul. Salah satunya, polarisasi jamaah masjid. Masjid menjadi tidak nyaman karena urusan politik praktis.
Bertindak Etis
Pada dasarnya, berpolitik itu mubah bagi umat Islam. Tegasnya, tak ada larangan atau kewajiban bagi umat Islam untuk berpolitik. Hukum berpolitik bisa berubah, tergantung niat, situasi dan kondisi aktual (illat) yang sedang dihadapi umat Islam.
Hukum berpolitik bisa menjadi fardu ain (wajib) jika tidak ada satu pun umat Islam yang terjun di sana. Jika gara-gara tidak mengikuti mekanisme demokrasi lalu umat Islam menjadi terpinggirkan atau terzalimi, maka mereka wajib tahu dan mengerti politik, kalau perlu aktif sebagai politisi.
Lebih dari itu, politik juga bagian dari alat perjuangan (wasilah) agar Islam makin dikenal dan nilai-nilai Islam dapat dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, tujuan kita berpolitik tidak lain adalah untuk meninggikan agama. Sarananya dengan menggunakan pendekatan politik.
Oleh karena itu, cara berpolitiknya juga harus mencerminkan kemuliaan tujuan kita, yakni meninggikan nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, berlaku kaidah “barangsiapa yang urusannya baik maka caranya juga harus baik” (man kana amruhu ma’rufan falyakun bi ma’rufin).
baca juga: Wapres Imbau Parpol Tak Jadikan Masjid Tempat Kampanye
Sebaliknya, berpolitik bisa menjadi makruh atau bahkan haram bila aktivitas ini dapat menimbulkan kemudaratan yang nyata bagi umat Islam. Meskipun baru bersifat potensi, yang diduga kuat mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya. Dalam ushul fiqh, dikenal dalil sadd al-dzariah, di mana jalan menuju kemudaratan harus ditutup rapat dan jalan menuju kemaslahatan wajib dibuka lebar.
Menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata termasuk dalam kategori politisasi agama. Tidak boleh dilakukan. Modusnya dalam berbagai bentuk. Eksploitasi agama untuk tujuan politik hanya akan menempatkan agama setara dengan parpol. Penghormatan kepada agamawan, kitab suci, atribut dan bahkan tempat ibadah tak lebih hanya sepadan dengan penghargaan kepada ketua parpol, AD/ART dan kantor parpol.
tulis komentar anda