Masjid Benteng Moralitas Berdemokrasi

Jum'at, 13 Oktober 2023 - 07:09 WIB
loading...
Masjid Benteng Moralitas...
Abu Rokhmad Musaki, Wakil Ketua Harian PP BKM. foto: istimewa
A A A
Abu Rokhmad Musaki
Wakil Ketua Harian PP BKM


PASCA deklarasi salah satu pasangan bakal capres-cawapres yang akan melaju pada Pilpres 2024 di Surabaya, publik kembali disuguhi permainan politik identitas. Ini seperti mengulang kejadian pada Pilkada 2017 di Jakarta dan Pilpres 2019, yaitu menjadikan masjid sebagai tempat kampanye politik praktis.

baca juga: Nasaruddin Umar Ingatkan Tidak Boleh Kampanye di Masjid

Mereka memilih hari dan waktu favorit memakai masjid dengan motif duniawi, yaitu waktu salat Jumat. Modusnya mudah dikenali. Di masjid mana pasangan tersebut akan mengerjakan salat Jumat, tim sukses mereka akan memublikasikan kegiatan tersebut melalui berbagai platform.

Yang terbaru di masjid Muhammad Nur Sumenep (29/9), mereka bukan hanya ikut salat Jumat berjamaah, bahkan—diviralkan—bakal pasangan capres-cawapres itu bertindak selaku khatib dan imam dalam salat tersebut. Meski akhirnya batal sebagai khatib dan imam, pasangan itu tetap singgah dan memberi statemen di masjid tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, saat kunjungan ke Surabaya, mereka juga menjadikan masjid sebagai titik temu antara bakal capres tersebut dengan pendukungnya. Masjid al-Akbar Surabaya menjadi saksinya (17/3).

Mimbar Jumat dan berbagai mimbar pengajian di berbagai tempat—berpotensi dieksploitasi untuk kepentingan politik praktis. Para penceramah memanfaatkan mimbar itu untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Mereka mengutip ayat dan hadits untuk menguatkan pandangannya.

baca juga: Wapres Ingatkan Jangan Kampanye di Masjid, Tempat Pendidikan, dan Kantor Pemerintahan

Meskipun di masjid, mereka tidak segan mengungkapkan ujaran kebencian, fitnah, dan caci maki kepada kelompok yang tidak disukai. Masjid tetap akan menjadi tempat favorit bagi politisi untuk mengeruk simpati publik. Mereka tak perlu biaya untuk memobilisasi massa agar umat datang ke masjid.

Memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik praktis tak sepatutnya dilakukan. Ada banyak dampak negatif yang pasti muncul. Salah satunya, polarisasi jamaah masjid. Masjid menjadi tidak nyaman karena urusan politik praktis.

Bertindak Etis

Pada dasarnya, berpolitik itu mubah bagi umat Islam. Tegasnya, tak ada larangan atau kewajiban bagi umat Islam untuk berpolitik. Hukum berpolitik bisa berubah, tergantung niat, situasi dan kondisi aktual (illat) yang sedang dihadapi umat Islam.

Hukum berpolitik bisa menjadi fardu ain (wajib) jika tidak ada satu pun umat Islam yang terjun di sana. Jika gara-gara tidak mengikuti mekanisme demokrasi lalu umat Islam menjadi terpinggirkan atau terzalimi, maka mereka wajib tahu dan mengerti politik, kalau perlu aktif sebagai politisi.

Lebih dari itu, politik juga bagian dari alat perjuangan (wasilah) agar Islam makin dikenal dan nilai-nilai Islam dapat dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, tujuan kita berpolitik tidak lain adalah untuk meninggikan agama. Sarananya dengan menggunakan pendekatan politik.

Oleh karena itu, cara berpolitiknya juga harus mencerminkan kemuliaan tujuan kita, yakni meninggikan nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, berlaku kaidah “barangsiapa yang urusannya baik maka caranya juga harus baik” (man kana amruhu ma’rufan falyakun bi ma’rufin).

baca juga: Wapres Imbau Parpol Tak Jadikan Masjid Tempat Kampanye

Sebaliknya, berpolitik bisa menjadi makruh atau bahkan haram bila aktivitas ini dapat menimbulkan kemudaratan yang nyata bagi umat Islam. Meskipun baru bersifat potensi, yang diduga kuat mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya. Dalam ushul fiqh, dikenal dalil sadd al-dzariah, di mana jalan menuju kemudaratan harus ditutup rapat dan jalan menuju kemaslahatan wajib dibuka lebar.

Menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata termasuk dalam kategori politisasi agama. Tidak boleh dilakukan. Modusnya dalam berbagai bentuk. Eksploitasi agama untuk tujuan politik hanya akan menempatkan agama setara dengan parpol. Penghormatan kepada agamawan, kitab suci, atribut dan bahkan tempat ibadah tak lebih hanya sepadan dengan penghargaan kepada ketua parpol, AD/ART dan kantor parpol.

Kita tidak terlambat untuk kembali menempatkan agama dan seluruh simbolnya dalam posisi yang suci. Agama seyogyanya mendasari perilaku umat beragama dalam semua aktifitasnya, termasuk perilaku politik.

Agama memandu umatnya untuk berperilaku etis dan taat pada aturan. Dalam keyakinan fundamental semua agama, semua tindakan yang diambil seorang politisi mesti mencerminkan perilaku luhur agar kemenangannya terhormat dan maslahat bagi bangsa.

Ingat Sejarah

Kekuasaan ditakdirkan begitu indah. Semua orang ingin meraihnya. Untuk mendapatkannya, sering digunakan segala cara, termasuk menggunakan agama beserta atributnya (ayat suci, tempat ibadah dan sebagainya).

Penggunaan agama untuk kepentingan politik merupakan tindakan sangat berbahaya, baik bagi agama itu sendiri, umatnya maupun bangsa ini. Dalam sejarah, kita mendapat contoh yang konkret dan berharap tidak perlu diulang pada masa mendatang.

Kita tidak perlu membakar diri untuk membuktikan bahwa api itu panas. Cukuplah pengalaman masa lalu dari orang lain menjadi pelajaran penting betapa politisasi agama harus dicegah. Sebab, tidak ada lagi nilai-nilai ilahi yang tersisa dalam setiap kasus politisasi agama.

Dalam sejarah Islam tercatat, akhir pemerintahan al-khulafa al-rasyidin menjadi masa yang sulit. Pemerintahan yang sebelumnya berdasarkan meritokrasi berubah menjadi dinasti. Dinasti Umayyah (661-750)—yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan—memang berhasil menyebarkan pengaruh Islam ke wilayah-wilayah yang jauh lebih luas. Namun, ada sisi lain yang tidak boleh terulang.

Awal berdirinya dinasti ini, umat Islam terbelah menjadi dua kubu. Ada yang mendukung Ali bin Abi Thalib, khalifah terakhir dalam jajaran al-khulafa al-rasyidun. Ada pula yang mendukung Muawiyah bin Abu Sufyan.

Persoalan politiknya begitu kompleks. Terjadi perang yang melibatkan para sahabat, termasuk perang Karbala (680 M). Yazid bin Muawiyah, yang menjadi khalifah pasca ayahnya meninggal (680 M), memiliki catatan buruk tentang sahabat Ali bin Abu Thalib, keluarga dan pengikutnya.

baca juga: Jusuf Kalla Persilakan Bicara Politik di Masjid: Yang Tidak Boleh Kampanye

Karena itulah, Yazid mewajibkan seluruh khatib Jumat untuk menutup khutbahnya dengan pesan-pesan kebencian kepada rival politiknya. Selama kurang lebih 60 tahun, masjid dipolitisasi sedemikian rupa.

Yazid memang pribadi yang kontroversial saat masih muda dan pada saat memegang kekuasaan. Sosok yang sezaman dengan Husein bin Ali, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Mereka ini menolak berbaiat kepada Yazid saat memegang kekuasaan khilafah Umayyah.

Beruntung, khalifah Bani Umayyah berikutnya, Umar bin Abdul Aziz, melarang kebiasaan tidak sehat ini. Meski berkuasa hanya 2 tahun 5 bulan, Umar II mewariskan kebiasaan baik, yaitu menutup khutbah kedua dengan QS, al-Nahl ayat 90. Ayat ini mengingatkan kepada umat Islam bahwa Allah SWT menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dermawan kepada kerabat, dan Allah SWT melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.

Politisasi masjid—sebagaimana terjadi pada masa Yazid bin Muawiyah—jangan terulang lagi. Kita muliakan agama dan berbagai atributnya setinggi-tingginya. Kita praktikkan ajaran agama dengan sebaik mungkin. Cukuplah bekal dari Umar bin Abdul Aziz untuk dijadikan pedoman dalam merawat dan menjaga masjid jelang momentum politik 2024.
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0998 seconds (0.1#10.140)