Arogansi dan Egoisme yang Radikal
Senin, 11 September 2023 - 11:39 WIB
Hubungan antara keduanya terletak dalam fakta bahwa orang yang arogan seringkali memiliki sifat egois. Mereka mungkin merasa bahwa kepentingan dan pandangan mereka adalah yang paling penting dan mengutamakan diri mereka sendiri di atas semua orang lain. Kombinasi arogansi dan egoisme dapat menyebabkan konflik interpersonal, karena individu ini mungkin sulit untuk bekerja sama atau berempati dengan orang lain.
Memang, tidak semua orang yang arogan juga egois, dan sebaliknya. Ada orang yang arogan namun tetap dapat peduli terhadap kepentingan orang lain, dan ada orang yang egois namun tidak terlalu arogan. Kedua konsep ini adalah sifat-sifat kompleks yang dapat bervariasi dari individu ke individu.
Nah, mengenai egoisme dan individualisme ini, ada “kepala suku”-nya di dunia filsafat. Namanya Max Stirner, filosof Jerman yang dikenal punya pemikirian sangat egois. Pemikirannya yang cukup radikal itu kemudian dikenal sebagai egoisme individualis atau egoisme Stirnerian.
Gagasan Stirner yang disebut egoisme individualis itu menyatakan bahwa individu harus mengejar kepentingan dan kebahagiaan pribadi mereka sendiri tanpa terikat oleh otoritas, moralitas, atau norma sosial yang diimposkan oleh masyarakat atau negara. Ia menentang berbagai bentuk otoritas, termasuk agama, pemerintahan, moralitas, dan ideologi politik. Ia mengklaim bahwa individu seharusnya tidak membiarkan diri mereka dikendalikan oleh konsep-konsep abstrak seperti "kebaikan" atau "moralitas" yang tidak sesuai dengan kepentingan pribadi mereka.
Pandangan Stirner ini sangat radikal. Bagi Stirner, saya sama dengan kuasaku. Saya berhak melakukan segala sesuatu yang saya bisa. Hanya saya sendiri yang menentukan apa yang menjadi hak saya. Bukan orang lain. Meskipun seluruh dunia menganggap sesuatu bukan hak saya, namun hal itu adalah hak saya bila saya sendiri menganggapnya demikian dan bisa mewujudkannya. Menurut Stirner, aku sama dengan kuasaku.
Hak dan milik berkaitan erat satu sama lain karena hak saya. Jangkauan hak milik saya sama luasnya seperti kuasa saya. Segalanya yang bisa saya peroleh, termasuk milik saya. Milik saya hanya dibatasi oleh kuasa orang lain untuk mengambilnya. Jadi, segala sesuatu tergantung dari kuasa dan kekerasan saya.
Orang yang egois tak peduli dengan hal ihwal ilahi atau hal-hal yang menusiawi. Kata Stirner, seperti dikutip P.A. Van der Weij, "Yang ilahiah itu urusan Tuhan dan yang manusiawi adalah urusan manusia lain. Perkaraku bukanlah yang ilahiah dan bukanlah yang manusiawi. Urusanku bukanlah yang benar, yang baik, yang lurus, dan sebagainya. Urusanku hanyalah yang aku punya."
Kata si egois, apa yang Anda bisa, untuk itu Anda berhak pula. Segala hak dan pembenarannya itu tergantung dari diri Anda sendiri. Aku berhak untuk melakukan apa saja yang aku bisa. Pendeknya, seorang egois menikmati dirinya sendiri, tenggelam dalam kuasa serta miliknya, merasa tuan atas semua orang dan segala-galanya.
Jadi, individu harus menjadi pusat segala hal dalam kehidupan mereka, dan mereka harus mengutamakan kepentingan dan kebahagiaan pribadi mereka sendiri di atas segala sesuatu. Stirner menganggap bahwa konsep-konsep abstrak seperti moralitas, agama, dan ideologi hanya membatasi individu dan menghambat ekspresi dari keinginan dan ambisi individu. Stirner sangat kritis terhadap otoritas eksternal, baik dalam bentuk pemerintah, agama, maupun moralitas yang diberlakukan oleh masyarakat. Ia menganggap bahwa individu harus membebaskan diri dari kendali eksternal ini dan tidak boleh terikat oleh norma-norma yang ditetapkan oleh masyarakat atau lembaga-lembaga sosial.
Sudah pasti banyak pemikir lain yang tidak sependapat dengan Stirner. Mulai dari yang halus sampai yang lumayan keras. Menurut Emanuel Levinas, filosof Prancis, egoisme begitu saja terkandung dalam keberadaan manusiai karena kegiatan kita yang mentotalisasi. Totalisasi yang dimaksudkan adalah sikap dasar yang kita ambil untuk memandang dan menguasai segala-galanya dengan diri kita sendiri sebagai titik pusatnya. Kita bersikap dan mengubah realitas di sekitar kita menjadi suatu obyek. Dan kita menjadikan diri kita sebagai subyek yang mendominasi segalanya.
Memang, tidak semua orang yang arogan juga egois, dan sebaliknya. Ada orang yang arogan namun tetap dapat peduli terhadap kepentingan orang lain, dan ada orang yang egois namun tidak terlalu arogan. Kedua konsep ini adalah sifat-sifat kompleks yang dapat bervariasi dari individu ke individu.
Nah, mengenai egoisme dan individualisme ini, ada “kepala suku”-nya di dunia filsafat. Namanya Max Stirner, filosof Jerman yang dikenal punya pemikirian sangat egois. Pemikirannya yang cukup radikal itu kemudian dikenal sebagai egoisme individualis atau egoisme Stirnerian.
Gagasan Stirner yang disebut egoisme individualis itu menyatakan bahwa individu harus mengejar kepentingan dan kebahagiaan pribadi mereka sendiri tanpa terikat oleh otoritas, moralitas, atau norma sosial yang diimposkan oleh masyarakat atau negara. Ia menentang berbagai bentuk otoritas, termasuk agama, pemerintahan, moralitas, dan ideologi politik. Ia mengklaim bahwa individu seharusnya tidak membiarkan diri mereka dikendalikan oleh konsep-konsep abstrak seperti "kebaikan" atau "moralitas" yang tidak sesuai dengan kepentingan pribadi mereka.
Pandangan Stirner ini sangat radikal. Bagi Stirner, saya sama dengan kuasaku. Saya berhak melakukan segala sesuatu yang saya bisa. Hanya saya sendiri yang menentukan apa yang menjadi hak saya. Bukan orang lain. Meskipun seluruh dunia menganggap sesuatu bukan hak saya, namun hal itu adalah hak saya bila saya sendiri menganggapnya demikian dan bisa mewujudkannya. Menurut Stirner, aku sama dengan kuasaku.
Hak dan milik berkaitan erat satu sama lain karena hak saya. Jangkauan hak milik saya sama luasnya seperti kuasa saya. Segalanya yang bisa saya peroleh, termasuk milik saya. Milik saya hanya dibatasi oleh kuasa orang lain untuk mengambilnya. Jadi, segala sesuatu tergantung dari kuasa dan kekerasan saya.
Orang yang egois tak peduli dengan hal ihwal ilahi atau hal-hal yang menusiawi. Kata Stirner, seperti dikutip P.A. Van der Weij, "Yang ilahiah itu urusan Tuhan dan yang manusiawi adalah urusan manusia lain. Perkaraku bukanlah yang ilahiah dan bukanlah yang manusiawi. Urusanku bukanlah yang benar, yang baik, yang lurus, dan sebagainya. Urusanku hanyalah yang aku punya."
Kata si egois, apa yang Anda bisa, untuk itu Anda berhak pula. Segala hak dan pembenarannya itu tergantung dari diri Anda sendiri. Aku berhak untuk melakukan apa saja yang aku bisa. Pendeknya, seorang egois menikmati dirinya sendiri, tenggelam dalam kuasa serta miliknya, merasa tuan atas semua orang dan segala-galanya.
Jadi, individu harus menjadi pusat segala hal dalam kehidupan mereka, dan mereka harus mengutamakan kepentingan dan kebahagiaan pribadi mereka sendiri di atas segala sesuatu. Stirner menganggap bahwa konsep-konsep abstrak seperti moralitas, agama, dan ideologi hanya membatasi individu dan menghambat ekspresi dari keinginan dan ambisi individu. Stirner sangat kritis terhadap otoritas eksternal, baik dalam bentuk pemerintah, agama, maupun moralitas yang diberlakukan oleh masyarakat. Ia menganggap bahwa individu harus membebaskan diri dari kendali eksternal ini dan tidak boleh terikat oleh norma-norma yang ditetapkan oleh masyarakat atau lembaga-lembaga sosial.
Sudah pasti banyak pemikir lain yang tidak sependapat dengan Stirner. Mulai dari yang halus sampai yang lumayan keras. Menurut Emanuel Levinas, filosof Prancis, egoisme begitu saja terkandung dalam keberadaan manusiai karena kegiatan kita yang mentotalisasi. Totalisasi yang dimaksudkan adalah sikap dasar yang kita ambil untuk memandang dan menguasai segala-galanya dengan diri kita sendiri sebagai titik pusatnya. Kita bersikap dan mengubah realitas di sekitar kita menjadi suatu obyek. Dan kita menjadikan diri kita sebagai subyek yang mendominasi segalanya.
tulis komentar anda