Mencari Figur Pemimpin Tangguh untuk LPSK
Senin, 04 September 2023 - 20:40 WIB
Lies Sulistiani
Panitia Seleksi (Pansel) Anggota LPSK Periode 2024–2029
KINI dalam percaturan penegakan hukum pidana di Indonesia, masyarakat merasa tak asing lagi ketika mendengar sebutan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Tak seperti di awal pembentukannya, karena tiga huruf di belakangnya LPSK sering diduga sebagai LSM yang khusus mengurusi pekerja seks komersial. Sehingga ketika LPSK hendak beraudiensi atau berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) khususnya di daerah, tak sedikit APH atau pihak-pihak lain yang resisten dan sulit ditemui oleh petugas LPSK bahkan oleh jajaran pimpinan LPSK.
baca juga: Duet LPSK-Media Massa: Upaya Genjot Kinerja Perlindungan Saksi dan Korban
Seiring berjalannya waktu, dalam usianya yang telah 15 tahun, sebutan LPSK tak aneh lagi dan mulai sering didengar, disebutkan atau dikaitkan orang dalam obrolan sejumlah kasus kejahatan. Singkatnya, LPSK dipahami sebagai pelindung korban, saksi maupun sang pengungkap kasus lainnya. Sebut saja peristiwa kejahatan yang mencuat antara tahun 2022 dan 2023 misalnya, kasus Ferdi Sambo. Pada kasus ini kemudian dikenal sosok sang pengungkap kasus, Bharada Elizer yang dilindungi LPSK.
Sejumlah kasus lain yang saksi atau korbannya mendapat perlindungan LPSK, misalnya kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung; kasus kekerasan seksual di pesantren Jombang dan pesantren di Kota Bandung; perlindungan saksi di sejumlah kasus korupsi; perlindungan korban di sejumlah kasus TPPU; sejumlah korban kasus TPPO; termasuk juga korban pada kasus kerangkeng manusia di Langkat; serta beberapa kasus lain yang menarik perhatian masyarakat luas.
Melaksanakan Fungsi Perlindungan dalam Wadah Sistem Peradilan Pidana
LPSK kini mulai banyak dicari tahu, ditelisik kinerjanya dan diburu beritanya. Tidak sedikit juga bahkan yang meragukan dan mempertanyakan kedudukannya dalam lingkup sistem peradilan pidana. LPSK sebagai lembaga yang dibentuk oleh negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yakni undang-undang yang merivisi beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Melalui kedua undang-undang tersebut, LPSK pada pokoknya diberi mandat untuk melaksanakan perlindungan agar fungsi perlindungan yang merupakan sebagian dari fungsi sistem peradilan itu dapat berjalan dengan baik, seimbang dan adil.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan peran dan tanggung jawab yang besar kepada LPSK untuk melaksanakan perlindungan saksi dan korban sejak awal (tahap penyelidikan) sampai berakhirnya masa perlindungan sebagaimana penilaian dan keputusan LPSK. Dengan mandat Undang-undang itu, maka LPSK bertanggungjawab untuk menjalankan fungsi perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dalam sistem peradilan pidana.
Panitia Seleksi (Pansel) Anggota LPSK Periode 2024–2029
KINI dalam percaturan penegakan hukum pidana di Indonesia, masyarakat merasa tak asing lagi ketika mendengar sebutan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Tak seperti di awal pembentukannya, karena tiga huruf di belakangnya LPSK sering diduga sebagai LSM yang khusus mengurusi pekerja seks komersial. Sehingga ketika LPSK hendak beraudiensi atau berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) khususnya di daerah, tak sedikit APH atau pihak-pihak lain yang resisten dan sulit ditemui oleh petugas LPSK bahkan oleh jajaran pimpinan LPSK.
baca juga: Duet LPSK-Media Massa: Upaya Genjot Kinerja Perlindungan Saksi dan Korban
Seiring berjalannya waktu, dalam usianya yang telah 15 tahun, sebutan LPSK tak aneh lagi dan mulai sering didengar, disebutkan atau dikaitkan orang dalam obrolan sejumlah kasus kejahatan. Singkatnya, LPSK dipahami sebagai pelindung korban, saksi maupun sang pengungkap kasus lainnya. Sebut saja peristiwa kejahatan yang mencuat antara tahun 2022 dan 2023 misalnya, kasus Ferdi Sambo. Pada kasus ini kemudian dikenal sosok sang pengungkap kasus, Bharada Elizer yang dilindungi LPSK.
Sejumlah kasus lain yang saksi atau korbannya mendapat perlindungan LPSK, misalnya kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung; kasus kekerasan seksual di pesantren Jombang dan pesantren di Kota Bandung; perlindungan saksi di sejumlah kasus korupsi; perlindungan korban di sejumlah kasus TPPU; sejumlah korban kasus TPPO; termasuk juga korban pada kasus kerangkeng manusia di Langkat; serta beberapa kasus lain yang menarik perhatian masyarakat luas.
Melaksanakan Fungsi Perlindungan dalam Wadah Sistem Peradilan Pidana
LPSK kini mulai banyak dicari tahu, ditelisik kinerjanya dan diburu beritanya. Tidak sedikit juga bahkan yang meragukan dan mempertanyakan kedudukannya dalam lingkup sistem peradilan pidana. LPSK sebagai lembaga yang dibentuk oleh negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yakni undang-undang yang merivisi beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut. Melalui kedua undang-undang tersebut, LPSK pada pokoknya diberi mandat untuk melaksanakan perlindungan agar fungsi perlindungan yang merupakan sebagian dari fungsi sistem peradilan itu dapat berjalan dengan baik, seimbang dan adil.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan peran dan tanggung jawab yang besar kepada LPSK untuk melaksanakan perlindungan saksi dan korban sejak awal (tahap penyelidikan) sampai berakhirnya masa perlindungan sebagaimana penilaian dan keputusan LPSK. Dengan mandat Undang-undang itu, maka LPSK bertanggungjawab untuk menjalankan fungsi perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dalam sistem peradilan pidana.
tulis komentar anda