Duet LPSK-Media Massa: Upaya Genjot Kinerja Perlindungan Saksi dan Korban
loading...
A
A
A
Wiendy Hapsari
Kepala Divisi Litbang MNC Portal Indonesia
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia nyatanya lebih banyak berfokus pada penanganan pelaku ketimbang korban. Upaya-upaya untuk menangkap pelaku kriminal dan menggolkan hukuman pelaku terlihat lebih dominan ketimbang usaha penanganan korban.
Banyak contoh kasus penanganan korban yang belum optimal, di antaranya terlihat dari adanya perlakuan tidak adil terhadap korban dalam sistem peradilan pidana yang kemudian memunculkan viktimisasi sekunder. Korban pelecehan seksual misalnya. Alih-alih melaporkan kasus yang dideritanya agar bisa mendapatkan keadilan, yang terjadi korban justru mengalami victim blamming dari aparat.
Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, korban yang sudah merugi, makin merugi akibat perlakuan aparat yang menyudutkan. Setali tiga uang dengan korban, posisi saksi pun juga sama-sama belum menguntungkan dalam sistem hukum Indonesia.
Kekhawatiran adanya viktimisasi sekunder yang menimpa diri saat melapor serta sejumlah dampak negatif yang diterima akibat vokalnya suara, menciutkan kembali nyali para saksi aksi kejahatan yang seyogianya bisa menjadi alat penguak tabir kejahatan. Hal ini menjadi problematika tersendiri karena akibat fenomena tersebut upaya penegakan hukum di tanah air terancam mati suri.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi perlindungan saksi dan korban di Indonesia tidak bisa ditawar lagi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada prinsipnya sudah memberikan penguatan dengan mengatur hak saksi dan korban. Dalam pasal 5 misalnya, disebutkan bahwa saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan, tidak hanya perlindungan atas keamanan pribadi, tetapi juga keluarga dan harta bendanya. Persoalannya sekarang, bagaimana implementasinya?
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) merupakan kunci mahkota dari upaya optimalisasi pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di tanah air. Lembaga ini dibentuk dengan landasan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Sebagai satu –satunya lembaga bentukan pemerintah yang mengurus masalah perlindungan saksi dan korban, LPSK tentu saja perlu menajamkan taji. Namun, untuk membuat LPSK makin bertaji dipastikan LPSK tidak bisa berdiri sendiri. Kolaborasi dengan berbagai lembaga lain menjadi sebuah keharusan.
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, langsung diamankan oleh petugas LPSK seusai pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (14/2/2023). Foto/Arif Julianto
Media massa bisa menjadi mitra kolaborasi sebagai upaya optimalisasi kinerja perlindungan saksi dan korban. Salah satunya adalah berkolaborasi untuk membentuk konstruksi pesan yang ideal seputar perlindungan saksi dan korban. Salah kaprah soal posisi saksi dan korban yang terjadi selama ini perlu diluruskan kembali melalui kontruksi pesan yang tepat.
Kepala Divisi Litbang MNC Portal Indonesia
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia nyatanya lebih banyak berfokus pada penanganan pelaku ketimbang korban. Upaya-upaya untuk menangkap pelaku kriminal dan menggolkan hukuman pelaku terlihat lebih dominan ketimbang usaha penanganan korban.
Banyak contoh kasus penanganan korban yang belum optimal, di antaranya terlihat dari adanya perlakuan tidak adil terhadap korban dalam sistem peradilan pidana yang kemudian memunculkan viktimisasi sekunder. Korban pelecehan seksual misalnya. Alih-alih melaporkan kasus yang dideritanya agar bisa mendapatkan keadilan, yang terjadi korban justru mengalami victim blamming dari aparat.
Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, korban yang sudah merugi, makin merugi akibat perlakuan aparat yang menyudutkan. Setali tiga uang dengan korban, posisi saksi pun juga sama-sama belum menguntungkan dalam sistem hukum Indonesia.
Kekhawatiran adanya viktimisasi sekunder yang menimpa diri saat melapor serta sejumlah dampak negatif yang diterima akibat vokalnya suara, menciutkan kembali nyali para saksi aksi kejahatan yang seyogianya bisa menjadi alat penguak tabir kejahatan. Hal ini menjadi problematika tersendiri karena akibat fenomena tersebut upaya penegakan hukum di tanah air terancam mati suri.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi perlindungan saksi dan korban di Indonesia tidak bisa ditawar lagi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada prinsipnya sudah memberikan penguatan dengan mengatur hak saksi dan korban. Dalam pasal 5 misalnya, disebutkan bahwa saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan, tidak hanya perlindungan atas keamanan pribadi, tetapi juga keluarga dan harta bendanya. Persoalannya sekarang, bagaimana implementasinya?
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) merupakan kunci mahkota dari upaya optimalisasi pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di tanah air. Lembaga ini dibentuk dengan landasan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Sebagai satu –satunya lembaga bentukan pemerintah yang mengurus masalah perlindungan saksi dan korban, LPSK tentu saja perlu menajamkan taji. Namun, untuk membuat LPSK makin bertaji dipastikan LPSK tidak bisa berdiri sendiri. Kolaborasi dengan berbagai lembaga lain menjadi sebuah keharusan.
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, langsung diamankan oleh petugas LPSK seusai pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (14/2/2023). Foto/Arif Julianto
Media massa bisa menjadi mitra kolaborasi sebagai upaya optimalisasi kinerja perlindungan saksi dan korban. Salah satunya adalah berkolaborasi untuk membentuk konstruksi pesan yang ideal seputar perlindungan saksi dan korban. Salah kaprah soal posisi saksi dan korban yang terjadi selama ini perlu diluruskan kembali melalui kontruksi pesan yang tepat.