Sisi Buram Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tanpa Mandatory Spending
Rabu, 09 Agustus 2023 - 16:44 WIB
Sumber pembiayaan antara keduanya juga berbeda. Upaya kesehatan perorangan (UKP) sumber pembiayaannya berasal dana dari masing-masing individu warga negara. Pada era Jaminan Sosial saat ini biaya pelayanan medis bersumber dari dana atau iuran individu kepada BPJS Kesehatan sebagai badan pengelola jaminan kesehatan. Atau dapat pula bersumber dari asuransi kesehatan swasta bagi individu yang menjadi pesertanya.
Terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), me-mang terdapat individu warga negara atau anggota keluarga yang ditanggung oleh negara. Namun itu merupakan hak konstitusional warga negara karena belum mampu meng-iur sendiri. Dan ini adalah kewajiban negara kepada warganya yang tidak mampu, akibat negara belum mampu memakmurkannya.
Andai seluruh warga negara telah berhasil dimakmurkan sebagaimana tujuan dibentuknya negara Indonesia dan juga sila kelima Pancasila, boleh jadi negara tidak perlu repot menanggung iuran jaminan kesehatan warga. Artinya, negara cukup mengalokasikan dana untuk kepentingan umum (bersama). Membiayai upaya kesehatan masyarakat, yang memang sumber pembiayaannya berasal dari negara.
Dalam sejarah, disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Amirul Mukminan Umar bin Abdul Azis, khalifah Bani Umayyah kedelapan (memimpin antara tahun 717-720), keadilan dan kemakmuran sangat merata. Akibatnya tidak satu pun rakyat yang berhak menerima zakat atau santunan lainnya. Negara cukup fokus mengurus dan membiayai kepentingan umum.
UKM dan Mandatory Spending
Memang ada sebahagian orang berkata, “di daerah kami selama ini dana untuk kesehatan cukup saja bahkan boleh dikata berlebih.” Penyataan ini dapat dimengerti sebab peristiwanya terjadi sebelum berlakuknya UU Omnibus Kesehatan. Artinya, masih menggunakan UU No 36/2009 tentang Kesehatan yang memandatkan alokasi anggaran untuk kesehatan minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD.
Karena itu pula, penulis berusaha memaknai dan mengategorikan pernyataan tersebut dalam tiga kemungkinan. Pertama, pemda memiliki komitmen tinggi untuk mengalokasikan anggaran di sektor kesehatan sesuai mandat UU No. 36 Tahun 2009. Kedua, kalau kemudian pengelola program merasa anggarannya berlebih berarti boleh jadi mereka kurang mampu membuat program UKM guna menyerap anggaran yang dialokasikan.
Ketiga, kemungkinan pengetahuannya tentang sehat dan hak sehat rakyat hanya terbatas pada penyembuhan dari penyakit. Artinya, kalau sudah membangun rumah sakit atau mendatangkan investor untuk membangun rumah sakit canggih, mendatangkan dokter spesialis, obat dan alat kesehatan terbaru, berarti tugasnya sudah selesai.
Padahal bila pemerintah pusat dan pemda tersebut mempelajari apa saja yang termasuk wilayah UKM dan kebutuhan masyarakat akan UKM, tentu tidak perlu cepat merasa puas hanya dengan membangun rumah sakit mewah. Dan juga tidak merasa kelebihan dana. Sebab wilayah UKM ini sangat luas dan seringkali tidak digubris dengan alasan kurangnya dana.
Bila memang benar ada daerah yang masih kelebihan dana setelah program kesehatannya ditunaikan maka sebaiknya kita uji dengan pertanyaan berikut ini. Pertama, sejauh mana pencapaian dalam menuntaskan beberapa penyakit menular seperti: scabies, tubeculosis, kusta, malaria, demam berdarah dengue, diare pada anak, kecacingan, dan lainnya. Dan juga sejauh mana kesiapannya untuk pencegahan bila terjadi epidemi dan pandemi?
Terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), me-mang terdapat individu warga negara atau anggota keluarga yang ditanggung oleh negara. Namun itu merupakan hak konstitusional warga negara karena belum mampu meng-iur sendiri. Dan ini adalah kewajiban negara kepada warganya yang tidak mampu, akibat negara belum mampu memakmurkannya.
Andai seluruh warga negara telah berhasil dimakmurkan sebagaimana tujuan dibentuknya negara Indonesia dan juga sila kelima Pancasila, boleh jadi negara tidak perlu repot menanggung iuran jaminan kesehatan warga. Artinya, negara cukup mengalokasikan dana untuk kepentingan umum (bersama). Membiayai upaya kesehatan masyarakat, yang memang sumber pembiayaannya berasal dari negara.
Dalam sejarah, disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Amirul Mukminan Umar bin Abdul Azis, khalifah Bani Umayyah kedelapan (memimpin antara tahun 717-720), keadilan dan kemakmuran sangat merata. Akibatnya tidak satu pun rakyat yang berhak menerima zakat atau santunan lainnya. Negara cukup fokus mengurus dan membiayai kepentingan umum.
UKM dan Mandatory Spending
Memang ada sebahagian orang berkata, “di daerah kami selama ini dana untuk kesehatan cukup saja bahkan boleh dikata berlebih.” Penyataan ini dapat dimengerti sebab peristiwanya terjadi sebelum berlakuknya UU Omnibus Kesehatan. Artinya, masih menggunakan UU No 36/2009 tentang Kesehatan yang memandatkan alokasi anggaran untuk kesehatan minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD.
Karena itu pula, penulis berusaha memaknai dan mengategorikan pernyataan tersebut dalam tiga kemungkinan. Pertama, pemda memiliki komitmen tinggi untuk mengalokasikan anggaran di sektor kesehatan sesuai mandat UU No. 36 Tahun 2009. Kedua, kalau kemudian pengelola program merasa anggarannya berlebih berarti boleh jadi mereka kurang mampu membuat program UKM guna menyerap anggaran yang dialokasikan.
Ketiga, kemungkinan pengetahuannya tentang sehat dan hak sehat rakyat hanya terbatas pada penyembuhan dari penyakit. Artinya, kalau sudah membangun rumah sakit atau mendatangkan investor untuk membangun rumah sakit canggih, mendatangkan dokter spesialis, obat dan alat kesehatan terbaru, berarti tugasnya sudah selesai.
Padahal bila pemerintah pusat dan pemda tersebut mempelajari apa saja yang termasuk wilayah UKM dan kebutuhan masyarakat akan UKM, tentu tidak perlu cepat merasa puas hanya dengan membangun rumah sakit mewah. Dan juga tidak merasa kelebihan dana. Sebab wilayah UKM ini sangat luas dan seringkali tidak digubris dengan alasan kurangnya dana.
Bila memang benar ada daerah yang masih kelebihan dana setelah program kesehatannya ditunaikan maka sebaiknya kita uji dengan pertanyaan berikut ini. Pertama, sejauh mana pencapaian dalam menuntaskan beberapa penyakit menular seperti: scabies, tubeculosis, kusta, malaria, demam berdarah dengue, diare pada anak, kecacingan, dan lainnya. Dan juga sejauh mana kesiapannya untuk pencegahan bila terjadi epidemi dan pandemi?
tulis komentar anda