Sisi Buram Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tanpa Mandatory Spending
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012 - 2015)
JUMAT, 4 Agustus 2023 lalu CIDES ICMI dan Dewan Pa-kar MPP ICMI mengundang penulis menjadi salah satu pembicara pada webinarnya, membahas UU Omnibus Kesehatan yang baru disahkan oleh DPR. Pembicara lain dalam webinar tersebut ialah Prof Zainal Muttaqin, Sp.Bs (K) (Undip) dan Prof Didin Muhafidin (Dewan Pakar ICMI).
Agar tidak tumpang tindih dengan materi yang akan disajikan pembicara lain maka penulis mengambil bahasan yang berbeda, yakni upaya kesehatan masyarakat dengan topik, “UU Omnibus Kesehatan dan Kebutuhan Kesehatan Masyarakat yang Terabaikan.” Selain itu, juga agar materi yang penulis sampaikan bukan merupakan pengulangan dari materi yang sudah pernah penulis paparkan di tempat lain.
Bila selama ini UU Omnibus Kesehatan lebih banyak disorot dari sisi sakit dan bisnis investasi penyembuhan orang sakit, maka pada acara CIDES ICMI dan Dewan Pakar MPP ICMI penulis menelisiknya dari sisi orang sehat dan pencegahan penyakit. Apalagi saat itu penulis diundang sebagai Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI.
Setelah webinar CIDES ICMI dan Dewan Pakar MPP IC-MI, 6 Agustus 2023 Forum Guru Besar Lintas Profesi pun menggelar webinar dengan tema, “Kontroversi Penghapusan Mandatory Spending”. Penulis juga diminta untuk memberi tanggapan atau komentar dan penulis tetap memilih bahasan terkait upaya kesehatan masyarakat. Topik yang penulis angkat, “Sisi Gelap Program Kesehatan Masyarakat Tanpa Mandatory Spending”
Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Dalam sistem kesehatan, pada umumnya pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua, yakni pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan medis. Pelayanan kesehatan masyarakat (upaya kesehatan masyarakat), bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Sasaran utamanya adalah kelompok dan masyarakat. Orang sering menyebutnya sebagai upaya untuk memelihara kesehatan masyarakat yang masih sehat.
Sedang, pelayanan medis (pelayanan kedokteran, upaya kesehatan perorangan), bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan. Sasaran utamanya adalah perorangan dan keluarga. Karena itu orang sering menyebutnya sebagai upaya untuk mengurus orang yang sudah terlanjur jatuh sakit.
Sumber pembiayaan antara keduanya juga berbeda. Upaya kesehatan perorangan (UKP) sumber pembiayaannya berasal dana dari masing-masing individu warga negara. Pada era Jaminan Sosial saat ini biaya pelayanan medis bersumber dari dana atau iuran individu kepada BPJS Kesehatan sebagai badan pengelola jaminan kesehatan. Atau dapat pula bersumber dari asuransi kesehatan swasta bagi individu yang menjadi pesertanya.
Terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), me-mang terdapat individu warga negara atau anggota keluarga yang ditanggung oleh negara. Namun itu merupakan hak konstitusional warga negara karena belum mampu meng-iur sendiri. Dan ini adalah kewajiban negara kepada warganya yang tidak mampu, akibat negara belum mampu memakmurkannya.
Andai seluruh warga negara telah berhasil dimakmurkan sebagaimana tujuan dibentuknya negara Indonesia dan juga sila kelima Pancasila, boleh jadi negara tidak perlu repot menanggung iuran jaminan kesehatan warga. Artinya, negara cukup mengalokasikan dana untuk kepentingan umum (bersama). Membiayai upaya kesehatan masyarakat, yang memang sumber pembiayaannya berasal dari negara.
Dalam sejarah, disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Amirul Mukminan Umar bin Abdul Azis, khalifah Bani Umayyah kedelapan (memimpin antara tahun 717-720), keadilan dan kemakmuran sangat merata. Akibatnya tidak satu pun rakyat yang berhak menerima zakat atau santunan lainnya. Negara cukup fokus mengurus dan membiayai kepentingan umum.
UKM dan Mandatory Spending
Memang ada sebahagian orang berkata, “di daerah kami selama ini dana untuk kesehatan cukup saja bahkan boleh dikata berlebih.” Penyataan ini dapat dimengerti sebab peristiwanya terjadi sebelum berlakuknya UU Omnibus Kesehatan. Artinya, masih menggunakan UU No 36/2009 tentang Kesehatan yang memandatkan alokasi anggaran untuk kesehatan minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD.
Karena itu pula, penulis berusaha memaknai dan mengategorikan pernyataan tersebut dalam tiga kemungkinan. Pertama, pemda memiliki komitmen tinggi untuk mengalokasikan anggaran di sektor kesehatan sesuai mandat UU No. 36 Tahun 2009. Kedua, kalau kemudian pengelola program merasa anggarannya berlebih berarti boleh jadi mereka kurang mampu membuat program UKM guna menyerap anggaran yang dialokasikan.
Ketiga, kemungkinan pengetahuannya tentang sehat dan hak sehat rakyat hanya terbatas pada penyembuhan dari penyakit. Artinya, kalau sudah membangun rumah sakit atau mendatangkan investor untuk membangun rumah sakit canggih, mendatangkan dokter spesialis, obat dan alat kesehatan terbaru, berarti tugasnya sudah selesai.
Padahal bila pemerintah pusat dan pemda tersebut mempelajari apa saja yang termasuk wilayah UKM dan kebutuhan masyarakat akan UKM, tentu tidak perlu cepat merasa puas hanya dengan membangun rumah sakit mewah. Dan juga tidak merasa kelebihan dana. Sebab wilayah UKM ini sangat luas dan seringkali tidak digubris dengan alasan kurangnya dana.
Bila memang benar ada daerah yang masih kelebihan dana setelah program kesehatannya ditunaikan maka sebaiknya kita uji dengan pertanyaan berikut ini. Pertama, sejauh mana pencapaian dalam menuntaskan beberapa penyakit menular seperti: scabies, tubeculosis, kusta, malaria, demam berdarah dengue, diare pada anak, kecacingan, dan lainnya. Dan juga sejauh mana kesiapannya untuk pencegahan bila terjadi epidemi dan pandemi?
Dua, sejauh mana pencapaian terkait sanitasi. Apakah masyarakatnya sudah sadar untuk menjaga kebersihan lingkungan dan hidup tanpa pencemaran?
Tiga, apakah warganya telah berperilaku hidup sehat? Bagaimana perilaku penduduknya dalam membuang sampah? Apakah warganya masih banyak merokok? Bagaimana kebiasaan masyarakat dalam konsumsi gula dan garam? Dan apakah sudah memiliki regulasi terkait sampah, rokok, dan konsumsi gula garam?
Empat, apakah masyarakat telah menerapkan gizi seimbang? Apakah angka stunting dan gizi kurang sudah berkurang (bukan berkurang karena faktor meninggal dunia)?
Bagaiman dengan anemia pada remaja putri? Bagaimana perhatiannya terhadap obesitas yang merupakan memicu munculnya penyakit-penyakit degeneratif? Berikutnya apakah ketersediaan pangan masyarakat telah terjamin?
Lima, sejauh mana perhatiannya kepada kesehatan kerja, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja. Apa yang telah disiapkan berbagai hal untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja?
Enam, sejauh mana perhatiannya terhadap kesehatan veteriner yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia?
Tujuh, sejauhmana kebijakannya untuk mendorong dan memudahkan masyarakat berolahraga secara teratur dan rekreasi? Delapan, sudah berapa ruang terbuka hijau yang tak berbayar yang telah disediakan untuk warga berolahraga, rekreasi, bercanda dan berdialog secara setara, tempat anak-anak bermain, belajar berkesenian, dan seterusnya?
Sembilan, apakah sudah ada regulasi terkait penyediaan kantin sehat, ruang istirahat, dan tempat beribadah di lingkungan pekerjaan dan lingkungan sekolah/kampus? Kesepuluh, sejauh mana perhatiannya terkait cuti hamil, cuti menyusui, dan hal lain terkait hamil dan menyusi?
Sebelas, apakah sudah tersedia regulasi tentang air bersih dan ketersedianya dengan kualitas yang baik dan berbiaya murah? Dua belas, apakah telah memperhatikan mengenai kesehatan sosial untuk mencegah terjadinya patologi sosial?
Ketiga belas, apakah telah membuat regulasi terkait kesehatan masyarakat yang berkebutuhan khusus, masyarakat penyandang gangguan jiwa, penyandang disabilitas baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, dan termasuk lansia?
Empat belas, bagaimana perhatiannya kepada kepemimpinan kesehatan masyarakat dan penyiapannya? Lima belas, apakah telah memiliki alokasi biaya yang jelas untuk membiayai semua program UKM?
Catatan Akhir
Sehat dan hak sehat itu bukan sekadar menyembuhkan masyarakat dari sakit. Dengan membangun rumah sakit atau mengundang investor untuk membangun rumah sakit, mengirimkan dokter dokter spesialis, alat kesehatan canggih, dan obat-obatan. Namun hak sehat yang tertinggi dari warga negara adalah mengajari mereka untuk memelihara kesehatannya agar tetap hidup sehat.
Karena itu bila ada yang mengatakan setelah program pe-layanan kesehatannya dijalankan masih tersisa ada kelebihan dana, sebaiknya pernyataan tersebut diuji. Apakah lima belas pertanyaan yang terkait upaya memelihara kesehatan di atas telah dilaksanakan dengan baik atau belum.
Dan untuk ke depan, setelah ditiadakan mandatory spending pun tentu semakin perlu diuji. Sebab, boleh jadi setelah ditiadakannya mandatory spending tersebut pelayanan kesehatan masyarakat semakin buram bahkan dapat menjadi gelap. Wallahu a'lam bishawab.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012 - 2015)
JUMAT, 4 Agustus 2023 lalu CIDES ICMI dan Dewan Pa-kar MPP ICMI mengundang penulis menjadi salah satu pembicara pada webinarnya, membahas UU Omnibus Kesehatan yang baru disahkan oleh DPR. Pembicara lain dalam webinar tersebut ialah Prof Zainal Muttaqin, Sp.Bs (K) (Undip) dan Prof Didin Muhafidin (Dewan Pakar ICMI).
Agar tidak tumpang tindih dengan materi yang akan disajikan pembicara lain maka penulis mengambil bahasan yang berbeda, yakni upaya kesehatan masyarakat dengan topik, “UU Omnibus Kesehatan dan Kebutuhan Kesehatan Masyarakat yang Terabaikan.” Selain itu, juga agar materi yang penulis sampaikan bukan merupakan pengulangan dari materi yang sudah pernah penulis paparkan di tempat lain.
Bila selama ini UU Omnibus Kesehatan lebih banyak disorot dari sisi sakit dan bisnis investasi penyembuhan orang sakit, maka pada acara CIDES ICMI dan Dewan Pakar MPP ICMI penulis menelisiknya dari sisi orang sehat dan pencegahan penyakit. Apalagi saat itu penulis diundang sebagai Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI.
Setelah webinar CIDES ICMI dan Dewan Pakar MPP IC-MI, 6 Agustus 2023 Forum Guru Besar Lintas Profesi pun menggelar webinar dengan tema, “Kontroversi Penghapusan Mandatory Spending”. Penulis juga diminta untuk memberi tanggapan atau komentar dan penulis tetap memilih bahasan terkait upaya kesehatan masyarakat. Topik yang penulis angkat, “Sisi Gelap Program Kesehatan Masyarakat Tanpa Mandatory Spending”
Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Dalam sistem kesehatan, pada umumnya pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua, yakni pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan medis. Pelayanan kesehatan masyarakat (upaya kesehatan masyarakat), bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Sasaran utamanya adalah kelompok dan masyarakat. Orang sering menyebutnya sebagai upaya untuk memelihara kesehatan masyarakat yang masih sehat.
Sedang, pelayanan medis (pelayanan kedokteran, upaya kesehatan perorangan), bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan. Sasaran utamanya adalah perorangan dan keluarga. Karena itu orang sering menyebutnya sebagai upaya untuk mengurus orang yang sudah terlanjur jatuh sakit.
Sumber pembiayaan antara keduanya juga berbeda. Upaya kesehatan perorangan (UKP) sumber pembiayaannya berasal dana dari masing-masing individu warga negara. Pada era Jaminan Sosial saat ini biaya pelayanan medis bersumber dari dana atau iuran individu kepada BPJS Kesehatan sebagai badan pengelola jaminan kesehatan. Atau dapat pula bersumber dari asuransi kesehatan swasta bagi individu yang menjadi pesertanya.
Terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), me-mang terdapat individu warga negara atau anggota keluarga yang ditanggung oleh negara. Namun itu merupakan hak konstitusional warga negara karena belum mampu meng-iur sendiri. Dan ini adalah kewajiban negara kepada warganya yang tidak mampu, akibat negara belum mampu memakmurkannya.
Andai seluruh warga negara telah berhasil dimakmurkan sebagaimana tujuan dibentuknya negara Indonesia dan juga sila kelima Pancasila, boleh jadi negara tidak perlu repot menanggung iuran jaminan kesehatan warga. Artinya, negara cukup mengalokasikan dana untuk kepentingan umum (bersama). Membiayai upaya kesehatan masyarakat, yang memang sumber pembiayaannya berasal dari negara.
Dalam sejarah, disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Amirul Mukminan Umar bin Abdul Azis, khalifah Bani Umayyah kedelapan (memimpin antara tahun 717-720), keadilan dan kemakmuran sangat merata. Akibatnya tidak satu pun rakyat yang berhak menerima zakat atau santunan lainnya. Negara cukup fokus mengurus dan membiayai kepentingan umum.
UKM dan Mandatory Spending
Memang ada sebahagian orang berkata, “di daerah kami selama ini dana untuk kesehatan cukup saja bahkan boleh dikata berlebih.” Penyataan ini dapat dimengerti sebab peristiwanya terjadi sebelum berlakuknya UU Omnibus Kesehatan. Artinya, masih menggunakan UU No 36/2009 tentang Kesehatan yang memandatkan alokasi anggaran untuk kesehatan minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD.
Karena itu pula, penulis berusaha memaknai dan mengategorikan pernyataan tersebut dalam tiga kemungkinan. Pertama, pemda memiliki komitmen tinggi untuk mengalokasikan anggaran di sektor kesehatan sesuai mandat UU No. 36 Tahun 2009. Kedua, kalau kemudian pengelola program merasa anggarannya berlebih berarti boleh jadi mereka kurang mampu membuat program UKM guna menyerap anggaran yang dialokasikan.
Ketiga, kemungkinan pengetahuannya tentang sehat dan hak sehat rakyat hanya terbatas pada penyembuhan dari penyakit. Artinya, kalau sudah membangun rumah sakit atau mendatangkan investor untuk membangun rumah sakit canggih, mendatangkan dokter spesialis, obat dan alat kesehatan terbaru, berarti tugasnya sudah selesai.
Padahal bila pemerintah pusat dan pemda tersebut mempelajari apa saja yang termasuk wilayah UKM dan kebutuhan masyarakat akan UKM, tentu tidak perlu cepat merasa puas hanya dengan membangun rumah sakit mewah. Dan juga tidak merasa kelebihan dana. Sebab wilayah UKM ini sangat luas dan seringkali tidak digubris dengan alasan kurangnya dana.
Bila memang benar ada daerah yang masih kelebihan dana setelah program kesehatannya ditunaikan maka sebaiknya kita uji dengan pertanyaan berikut ini. Pertama, sejauh mana pencapaian dalam menuntaskan beberapa penyakit menular seperti: scabies, tubeculosis, kusta, malaria, demam berdarah dengue, diare pada anak, kecacingan, dan lainnya. Dan juga sejauh mana kesiapannya untuk pencegahan bila terjadi epidemi dan pandemi?
Dua, sejauh mana pencapaian terkait sanitasi. Apakah masyarakatnya sudah sadar untuk menjaga kebersihan lingkungan dan hidup tanpa pencemaran?
Tiga, apakah warganya telah berperilaku hidup sehat? Bagaimana perilaku penduduknya dalam membuang sampah? Apakah warganya masih banyak merokok? Bagaimana kebiasaan masyarakat dalam konsumsi gula dan garam? Dan apakah sudah memiliki regulasi terkait sampah, rokok, dan konsumsi gula garam?
Empat, apakah masyarakat telah menerapkan gizi seimbang? Apakah angka stunting dan gizi kurang sudah berkurang (bukan berkurang karena faktor meninggal dunia)?
Bagaiman dengan anemia pada remaja putri? Bagaimana perhatiannya terhadap obesitas yang merupakan memicu munculnya penyakit-penyakit degeneratif? Berikutnya apakah ketersediaan pangan masyarakat telah terjamin?
Lima, sejauh mana perhatiannya kepada kesehatan kerja, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja. Apa yang telah disiapkan berbagai hal untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya kecelakaan kerja?
Enam, sejauh mana perhatiannya terhadap kesehatan veteriner yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia?
Tujuh, sejauhmana kebijakannya untuk mendorong dan memudahkan masyarakat berolahraga secara teratur dan rekreasi? Delapan, sudah berapa ruang terbuka hijau yang tak berbayar yang telah disediakan untuk warga berolahraga, rekreasi, bercanda dan berdialog secara setara, tempat anak-anak bermain, belajar berkesenian, dan seterusnya?
Sembilan, apakah sudah ada regulasi terkait penyediaan kantin sehat, ruang istirahat, dan tempat beribadah di lingkungan pekerjaan dan lingkungan sekolah/kampus? Kesepuluh, sejauh mana perhatiannya terkait cuti hamil, cuti menyusui, dan hal lain terkait hamil dan menyusi?
Sebelas, apakah sudah tersedia regulasi tentang air bersih dan ketersedianya dengan kualitas yang baik dan berbiaya murah? Dua belas, apakah telah memperhatikan mengenai kesehatan sosial untuk mencegah terjadinya patologi sosial?
Ketiga belas, apakah telah membuat regulasi terkait kesehatan masyarakat yang berkebutuhan khusus, masyarakat penyandang gangguan jiwa, penyandang disabilitas baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, dan termasuk lansia?
Empat belas, bagaimana perhatiannya kepada kepemimpinan kesehatan masyarakat dan penyiapannya? Lima belas, apakah telah memiliki alokasi biaya yang jelas untuk membiayai semua program UKM?
Catatan Akhir
Sehat dan hak sehat itu bukan sekadar menyembuhkan masyarakat dari sakit. Dengan membangun rumah sakit atau mengundang investor untuk membangun rumah sakit, mengirimkan dokter dokter spesialis, alat kesehatan canggih, dan obat-obatan. Namun hak sehat yang tertinggi dari warga negara adalah mengajari mereka untuk memelihara kesehatannya agar tetap hidup sehat.
Karena itu bila ada yang mengatakan setelah program pe-layanan kesehatannya dijalankan masih tersisa ada kelebihan dana, sebaiknya pernyataan tersebut diuji. Apakah lima belas pertanyaan yang terkait upaya memelihara kesehatan di atas telah dilaksanakan dengan baik atau belum.
Dan untuk ke depan, setelah ditiadakan mandatory spending pun tentu semakin perlu diuji. Sebab, boleh jadi setelah ditiadakannya mandatory spending tersebut pelayanan kesehatan masyarakat semakin buram bahkan dapat menjadi gelap. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)