Pemilu 2024 dan Pentingnya Komitmen Melindungi Seluruh Warga Negara
Rabu, 12 Juli 2023 - 12:22 WIB
Ketika kita memasuki masa pemilu, penting bagi kita semua untuk mempromosikan diskusi yang berlandaskan fakta, menghormati keberagaman, dan menjaga toleransi di antara masyarakat. Hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia, kita dapat membangun Indonesia yang lebih demokratis, damai, dan sejahtera bagi semua warga negara.
Pemilu di Indonesia, dari Soekarno ke Soeharto
Keanekaragaman budaya dan latar belakang sosial yang beragam di Indonesia merupakan salah satu fondasi penting bagi perkembangan demokrasi. Namun, keberagaman ini juga membawa ketegangan dan kekhawatiran dalam masyarakat.
Sistem konstitusi Indonesia menghadapi tantangan dalam menghadapi keberagaman dan masyarakat yang penuh perbedaan. Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mencoba menerapkan sistem konstitusi yang mengadopsi model kabinet multipartai yang ada di masyarakat demokratis Barat, yang dikenal sebagai "demokrasi konsensus". Tujuannya adalah melalui desain institusi, memasukkan berbagai kelompok masyarakat yang beragam, sehingga berbagai organisasi sosial dapat berpartisipasi dalam aktivitas politik di dalam mekanisme negara.
Namun, implementasi konsep demokrasi konsensus ini tidak selalu berjalan mulus. Ada tantangan dalam mencapai keseimbangan kepentingan dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat yang beragam. Tergantung pada konteks politik dan dinamika sosial, upaya untuk mencapai kesepakatan dan konsensus bisa menjadi rumit. Terkadang terdapat ketegangan dan konflik yang muncul antara kelompok-kelompok masyarakat, baik dalam hal etnis, agama, maupun ideologi politik.
Meskipun desain institusi "demokrasi konsensus" memenuhi kebutuhan dasar partisipasi masyarakat yang beragam dalam politik, namun belum mampu mencapai stabilitas ekonomi dan politik. Terbentuknya parlemen berdasarkan sistem proporsional memaksa pemilih untuk membuat pilihan kepentingan di antara partai politik, yang menyebabkan persaingan ideologi di antara partai-partai yang beragam dan meningkatkan kesulitan dalam mengintegrasikan negara.
Pada periode "demokrasi parlementer" antara tahun 1950 hingga 1957, politik Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak 7 kali, perselisihan partai berdasarkan ras dan faksi menghambat perkembangan negara. Hasil pemilihan demokratis menjadi sumber perpecahan internal akibat perbedaan ideologi partai. Persaingan politik antar partai yang beragam melemahkan kemampuan pemerintahan negara, sedangkan masyarakat yang penuh perbedaan menghancurkan keyakinan nilai-nilai sosial yang sama, inilah yang disebut sebagai "kegagalan pemerintahan".
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1949, komunitas Tionghoa di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah orang Tionghoa yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan secara langsung memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Kelompok kedua adalah orang Tionghoa Indonesia yang tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Orang Tionghoa Indonesia dengan kewarganegaraan Tiongkok dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu yang mendukung Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok baru, dan yang mendukung Republik Tiongkok atau Taiwan. Pada saat itu, Soekarno tidak terlalu mempermasalahkan perselisihan di antara komunitas Tionghoa. Baginya, orang Tionghoa yang menyatakan dirinya sebagai warga negara Indonesia adalah orang Indonesia. Namun, dari perspektif politik, Soekarno menyadari adanya persaingan di antara komunitas Tionghoa setelah kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1958.
Pada periode ini, sering terjadi bentrokan internal di antara "kelompok merah" (pro-Republik Rakyat Tiongkok) dan "kelompok biru" (pro-Republik Tiongkok) dalam kontrol terhadap perkumpulan dan sekolah Tionghoa, serta serangan terhadap organisasi maupun kegiatan internal mereka sendiri. Namun, pada tahun 1958, terjadi perang saudara di Indonesia atau yang sering disebut PRRI/Permesta, dan pemerintah Indonesia menganggap pemerintah Republik Tiongkok mendukung pemberontak antipemerintah. Beberapa pemimpin komunitas Tionghoa yang antikomunis ditangkap, sementara perkumpulan, sekolah, dan surat kabar Tionghoa antikomunis ditutup. Seiring perubahan zaman dan perubahan pandangan kelompok biru, kelompok Tionghoa yang mendukung Republik Tiongkok secara bertahap terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia.
Pemilu di Indonesia, dari Soekarno ke Soeharto
Keanekaragaman budaya dan latar belakang sosial yang beragam di Indonesia merupakan salah satu fondasi penting bagi perkembangan demokrasi. Namun, keberagaman ini juga membawa ketegangan dan kekhawatiran dalam masyarakat.
Sistem konstitusi Indonesia menghadapi tantangan dalam menghadapi keberagaman dan masyarakat yang penuh perbedaan. Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mencoba menerapkan sistem konstitusi yang mengadopsi model kabinet multipartai yang ada di masyarakat demokratis Barat, yang dikenal sebagai "demokrasi konsensus". Tujuannya adalah melalui desain institusi, memasukkan berbagai kelompok masyarakat yang beragam, sehingga berbagai organisasi sosial dapat berpartisipasi dalam aktivitas politik di dalam mekanisme negara.
Namun, implementasi konsep demokrasi konsensus ini tidak selalu berjalan mulus. Ada tantangan dalam mencapai keseimbangan kepentingan dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat yang beragam. Tergantung pada konteks politik dan dinamika sosial, upaya untuk mencapai kesepakatan dan konsensus bisa menjadi rumit. Terkadang terdapat ketegangan dan konflik yang muncul antara kelompok-kelompok masyarakat, baik dalam hal etnis, agama, maupun ideologi politik.
Meskipun desain institusi "demokrasi konsensus" memenuhi kebutuhan dasar partisipasi masyarakat yang beragam dalam politik, namun belum mampu mencapai stabilitas ekonomi dan politik. Terbentuknya parlemen berdasarkan sistem proporsional memaksa pemilih untuk membuat pilihan kepentingan di antara partai politik, yang menyebabkan persaingan ideologi di antara partai-partai yang beragam dan meningkatkan kesulitan dalam mengintegrasikan negara.
Pada periode "demokrasi parlementer" antara tahun 1950 hingga 1957, politik Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak 7 kali, perselisihan partai berdasarkan ras dan faksi menghambat perkembangan negara. Hasil pemilihan demokratis menjadi sumber perpecahan internal akibat perbedaan ideologi partai. Persaingan politik antar partai yang beragam melemahkan kemampuan pemerintahan negara, sedangkan masyarakat yang penuh perbedaan menghancurkan keyakinan nilai-nilai sosial yang sama, inilah yang disebut sebagai "kegagalan pemerintahan".
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1949, komunitas Tionghoa di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah orang Tionghoa yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan secara langsung memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Kelompok kedua adalah orang Tionghoa Indonesia yang tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Orang Tionghoa Indonesia dengan kewarganegaraan Tiongkok dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu yang mendukung Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok baru, dan yang mendukung Republik Tiongkok atau Taiwan. Pada saat itu, Soekarno tidak terlalu mempermasalahkan perselisihan di antara komunitas Tionghoa. Baginya, orang Tionghoa yang menyatakan dirinya sebagai warga negara Indonesia adalah orang Indonesia. Namun, dari perspektif politik, Soekarno menyadari adanya persaingan di antara komunitas Tionghoa setelah kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1958.
Pada periode ini, sering terjadi bentrokan internal di antara "kelompok merah" (pro-Republik Rakyat Tiongkok) dan "kelompok biru" (pro-Republik Tiongkok) dalam kontrol terhadap perkumpulan dan sekolah Tionghoa, serta serangan terhadap organisasi maupun kegiatan internal mereka sendiri. Namun, pada tahun 1958, terjadi perang saudara di Indonesia atau yang sering disebut PRRI/Permesta, dan pemerintah Indonesia menganggap pemerintah Republik Tiongkok mendukung pemberontak antipemerintah. Beberapa pemimpin komunitas Tionghoa yang antikomunis ditangkap, sementara perkumpulan, sekolah, dan surat kabar Tionghoa antikomunis ditutup. Seiring perubahan zaman dan perubahan pandangan kelompok biru, kelompok Tionghoa yang mendukung Republik Tiongkok secara bertahap terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda