Pemilu 2024 dan Pentingnya Komitmen Melindungi Seluruh Warga Negara
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Lecturer International Relations Study Programs, President University, Indonesia
Tahun 2024 akan menjadi tonggak penting bagi demokrasi Indonesia dengan adanya pemilihan presiden dan parlemen. Namun, apakah perkembangan Indonesia dalam berbagai aspek sudah mencapai tujuan demokrasi, perdamaian, dan kemakmuran masih perlu untuk lebih dipelajari?
Dalam pemilu sebelumnya, masyarakat selalu khawatir tentang kemungkinan terjadinya kekerasan, terutama terhadap kelompok minoritas seperti orang Tionghoa . Apakah mereka akan menjadi sasaran kekerasan lagi kali ini?
Pemilihan presiden seringkali disertai dengan berbagai desas-desus yang mengklaim bahwa beberapa partai politik melindungi kepentingan orang Tionghoa atau memiliki hubungan dekat dengan Partai Komunis. Mengapa istilah "orang Tionghoa" menjadi sensitif dalam pemilu atau di Indonesia secara umum? Artikel ini akan mencoba menganalisis pertanyaan ini berdasarkan sejarah Indonesia dan situasi politik global.
Sejarah Indonesia mencatat adanya konflik dan ketegangan antara kelompok etnis selama beberapa dekade. Pada masa kolonial Belanda, orang Tionghoa seringkali dianggap sebagai kelompok etnis yang lebih maju secara ekonomi. Namun, hal ini juga memunculkan ketidaksetaraan sosial dan kecemburuan dari kelompok lain di masyarakat. Setelah kemerdekaan Indonesia, terjadi pemberontakan di beberapa daerah yang melibatkan orang Tionghoa, yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai kelompok yang berpihak pada pihak asing.
Selain itu, peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 juga memberikan dampak besar terhadap persepsi terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Pada masa itu, terdapat propaganda yang menyebutkan bahwa orang Tionghoa banyak yang terlibat dalam gerakan komunis. Hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi target penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat secara massal.
Pada pemilihan-pemilihan politik selanjutnya, isu-isu yang melibatkan etnisitas dan agama kerap kali digunakan oleh pihak-pihak yang ingin memperoleh dukungan politik. Isu-isu tersebut kadang-kadang berkaitan dengan kelompok minoritas seperti orang Tionghoa. Pernyataan atau tindakan yang merendahkan atau memojokkan kelompok etnis dapat memicu konflik dan kekerasan.
Selain itu, situasi politik global juga dapat mempengaruhi persepsi terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Konflik-konflik antara negara-negara tertentu dengan Tiongkok dapat menciptakan ketegangan antaretnis di Indonesia, terutama jika orang Tionghoa diidentifikasi sama dengan negara Tiongkok.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang Tionghoa di Indonesia memiliki pandangan politik atau kepentingan yang sama. Mereka adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia dan berhak mendapatkan perlindungan dan kesetaraan dalam berpartisipasi dalam proses politik.
Untuk mencapai demokrasi, perdamaian, dan kemakmuran yang diharapkan, penting bagi semua pihak untuk menjaga kerukunan antar-etnis dan menghormati hak-hak warga negara, termasuk hak-hak kelompok minoritas seperti orang Tionghoa. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil untuk memastikan pemilu berjalan dengan damai dan adil, serta untuk memerangi penyebaran propaganda yang dapat memicu konflik etnis.
Kehadiran dan peran masyarakat Tionghoa di Indonesia seringkali menjadi isu sensitif dalam pemilu. Sejarah Indonesia mencatat adanya periode yang penuh gejolak, termasuk perlakuan yang tidak adil dan kekerasan terhadap komunitas Tionghoa. Kejadian-kejadian ini menimbulkan kekhawatiran terhadap hak dan keamanan masyarakat Tionghoa, terutama selama masa pemilu.
Sejarah ini mengingatkan kita tentang perlunya memperlakukan semua warga Indonesia secara adil dan setara, tanpa memandang etnis atau latar belakang mereka. Dalam konteks pemilu, penting untuk menghindari retorika yang memicu konflik dan kekerasan antar-etnis. Sebaliknya, semua pihak harus bekerja sama untuk membangun persatuan dan kerukunan, serta memastikan bahwa semua kelompok masyarakat merasa aman dan dihormati dalam melaksanakan hak-hak politik mereka.
Penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil, untuk mempromosikan pemahaman, toleransi, dan dialog antar-etnis. Dalam kerangka demokrasi, semua warga negara harus diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik, tanpa diskriminasi atau intimidasi.
Pemilihan yang damai, adil, dan inklusif adalah fondasi yang penting dalam membangun demokrasi yang sehat di Indonesia. Dalam konteks ini, penting untuk mengatasi ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh masyarakat Tionghoa, dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dilindungi. Dalam jangka panjang, upaya yang berkelanjutan dalam mempromosikan persaudaraan antar-etnis, penghapusan diskriminasi, dan perlindungan hak asasi manusia akan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia.
Salah satu alasan utama yang mempengaruhi posisi masyarakat Tionghoa dalam pemilu adalah desas-desus dan tuduhan yang sering muncul. Beberapa partai politik atau calon mungkin mencoba memanipulasi emosi pemilih dengan menggunakan isu-isu ras dan agama, sehingga masyarakat Tionghoa menjadi sasaran serangan politik. Praktik politik semacam ini tidak jarang terjadi dalam pemilu di Indonesia. Namun, kita perlu menyadari bahwa tuduhan semacam itu sering kali didasarkan pada prasangka dan informasi yang tidak benar.
Dalam konteks pemilu, penting bagi masyarakat untuk mampu memilah dan mengevaluasi informasi dengan bijak. Kita harus berusaha untuk memahami bahwa manipulasi politik berdasarkan isu-isu etnis atau agama hanya bertujuan untuk menghasut dan memecah belah masyarakat. Kita harus melawan upaya-upaya semacam itu dengan mempromosikan kerjasama dan persatuan antar-etnis.
Masyarakat Tionghoa juga memiliki peran penting dalam menjaga integritas pemilu. Mereka dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik, menjadi pemilih yang cerdas, dan berkontribusi untuk membangun demokrasi yang kuat di Indonesia. Selain itu, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus berkomitmen untuk melindungi hak-hak dan kepentingan semua kelompok masyarakat, termasuk masyarakat Tionghoa, dan mencegah penyebaran informasi yang tidak benar dan diskriminatif.
Ketika kita memasuki masa pemilu, penting bagi kita semua untuk mempromosikan diskusi yang berlandaskan fakta, menghormati keberagaman, dan menjaga toleransi di antara masyarakat. Hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia, kita dapat membangun Indonesia yang lebih demokratis, damai, dan sejahtera bagi semua warga negara.
Pemilu di Indonesia, dari Soekarno ke Soeharto
Keanekaragaman budaya dan latar belakang sosial yang beragam di Indonesia merupakan salah satu fondasi penting bagi perkembangan demokrasi. Namun, keberagaman ini juga membawa ketegangan dan kekhawatiran dalam masyarakat.
Sistem konstitusi Indonesia menghadapi tantangan dalam menghadapi keberagaman dan masyarakat yang penuh perbedaan. Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mencoba menerapkan sistem konstitusi yang mengadopsi model kabinet multipartai yang ada di masyarakat demokratis Barat, yang dikenal sebagai "demokrasi konsensus". Tujuannya adalah melalui desain institusi, memasukkan berbagai kelompok masyarakat yang beragam, sehingga berbagai organisasi sosial dapat berpartisipasi dalam aktivitas politik di dalam mekanisme negara.
Namun, implementasi konsep demokrasi konsensus ini tidak selalu berjalan mulus. Ada tantangan dalam mencapai keseimbangan kepentingan dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat yang beragam. Tergantung pada konteks politik dan dinamika sosial, upaya untuk mencapai kesepakatan dan konsensus bisa menjadi rumit. Terkadang terdapat ketegangan dan konflik yang muncul antara kelompok-kelompok masyarakat, baik dalam hal etnis, agama, maupun ideologi politik.
Meskipun desain institusi "demokrasi konsensus" memenuhi kebutuhan dasar partisipasi masyarakat yang beragam dalam politik, namun belum mampu mencapai stabilitas ekonomi dan politik. Terbentuknya parlemen berdasarkan sistem proporsional memaksa pemilih untuk membuat pilihan kepentingan di antara partai politik, yang menyebabkan persaingan ideologi di antara partai-partai yang beragam dan meningkatkan kesulitan dalam mengintegrasikan negara.
Pada periode "demokrasi parlementer" antara tahun 1950 hingga 1957, politik Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak 7 kali, perselisihan partai berdasarkan ras dan faksi menghambat perkembangan negara. Hasil pemilihan demokratis menjadi sumber perpecahan internal akibat perbedaan ideologi partai. Persaingan politik antar partai yang beragam melemahkan kemampuan pemerintahan negara, sedangkan masyarakat yang penuh perbedaan menghancurkan keyakinan nilai-nilai sosial yang sama, inilah yang disebut sebagai "kegagalan pemerintahan".
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1949, komunitas Tionghoa di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah orang Tionghoa yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan secara langsung memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Kelompok kedua adalah orang Tionghoa Indonesia yang tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Orang Tionghoa Indonesia dengan kewarganegaraan Tiongkok dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu yang mendukung Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok baru, dan yang mendukung Republik Tiongkok atau Taiwan. Pada saat itu, Soekarno tidak terlalu mempermasalahkan perselisihan di antara komunitas Tionghoa. Baginya, orang Tionghoa yang menyatakan dirinya sebagai warga negara Indonesia adalah orang Indonesia. Namun, dari perspektif politik, Soekarno menyadari adanya persaingan di antara komunitas Tionghoa setelah kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1958.
Pada periode ini, sering terjadi bentrokan internal di antara "kelompok merah" (pro-Republik Rakyat Tiongkok) dan "kelompok biru" (pro-Republik Tiongkok) dalam kontrol terhadap perkumpulan dan sekolah Tionghoa, serta serangan terhadap organisasi maupun kegiatan internal mereka sendiri. Namun, pada tahun 1958, terjadi perang saudara di Indonesia atau yang sering disebut PRRI/Permesta, dan pemerintah Indonesia menganggap pemerintah Republik Tiongkok mendukung pemberontak antipemerintah. Beberapa pemimpin komunitas Tionghoa yang antikomunis ditangkap, sementara perkumpulan, sekolah, dan surat kabar Tionghoa antikomunis ditutup. Seiring perubahan zaman dan perubahan pandangan kelompok biru, kelompok Tionghoa yang mendukung Republik Tiongkok secara bertahap terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia.
Periode ini mencerminkan perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa dalam politik Indonesia, serta adanya perpecahan di antara faksi politik yang berbeda. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan sosial, komunitas Tionghoa secara bertahap terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia dan memberikan kontribusi penting bagi pembangunan Indonesia. Hal ini juga mencerminkan upaya Indonesia untuk mencapai tujuan demokrasi dan perdamaian, serta mendorong harmoni antara berbagai etnis.
Pada masa pemerintahan Soekarno, partisipasi politik Tionghoa relatif biasa-biasa saja. Sebagian besar orang Tionghoa memilih untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia karena partai ini relatif toleran dan sejalan dengan arah politik Soekarno pada saat itu. Namun, setelah jatuhnya Soekarno, orang Tionghoa dituduh terlibat dalam kudeta Partai Komunis Indonesia dan dikaitkan dengan Tiongkok. Setelah terjadinya peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965, hubungan Indonesia dengan Tiongkok mengalami perubahan drastis.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa dalam konteks politik Indonesia. Namun, penting untuk diingat bahwa seiring berjalannya waktu, komunitas Tionghoa telah berintegrasi dalam masyarakat Indonesia dan berkontribusi secara positif dalam berbagai bidang. Keselarasan dan kerukunan antara berbagai kelompok etnis adalah prasyarat penting bagi pembangunan yang berkelanjutan dan demokrasi yang sehat di Indonesia.
Setelah Soekarno, Jenderal Soeharto yang menggantikannya segera memberlakukan peraturan pemerintah yang melarang budaya Tionghoa, termasuk penggunaan bahasa Tionghoa. Orang Tionghoa juga tidak diizinkan berpartisipasi dalam partai politik, hanya memiliki hak suara atau memilih dalam pemilu. Kebijakan ini merupakan pembatasan dan tantangan besar bagi komunitas Tionghoa. Budaya dan bahasa mereka ditekan, dan ruang untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik sangat terbatas.
Periode ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto, komunitas Tionghoa menghadapi pembatasan dan diskriminasi dalam konteks politik. Budaya dan bahasa mereka ditekan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik dibatasi. Ini adalah masa sulit bagi orang Tionghoa di Indonesia, di mana mereka harus berusaha melindungi hak-hak dan identitas mereka dalam lingkungan yang seperti itu.
Namun, kita juga perlu menyadari bahwa sejarah memiliki banyak dimensi, terdapat berbagai sudut pandang dan penjelasan. Untuk memahami situasi politik Indonesia dan status komunitas Tionghoa, diperlukan penelitian dan eksplorasi yang mendalam untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan objektif.
Setelah kerusuhan politik mereda karena rezim Soekarno sudah dianggap kehilangan kekuatan lagi, rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto segera mengganti politik demokrasi dengan pemerintahan otoriter, yang dikenal sebagai "Orde Baru". Berdasarkan konsep Orde Baru, Soeharto menerapkan ideologi negara "Pancasila" dan membentuk pemerintahan yang dipimpin oleh organisasi sosial saat itu "Golkar". Prinsip demokrasi digantikan oleh konsep "musyawarah mufakat" dan "gotong royong" yang ada dalam budaya Jawa, dengan penekanan pada pertukaran "stabilitas politik" dengan "pembangunan ekonomi".
Pada tahun 1971, setelah Golkar memenangkan pemilu, Soeharto memerintahkan pengurangan jumlah partai politik dengan menggabungkan partai-partai Islam menjadi "Partai Persatuan Pembangunan" (PPP). Sementara, partai nasionalis, partai Katolik, dan partai Kristen digabungkan menjadi "Partai Demokrasi Indonesia" (PDI). Partai-partai ini sebelumnya telah memiliki perbedaan pendapat dan kesulitan untuk berkembang karena konflik internal, sementara partai penguasa meraih keuntungan dari situasi ini dan berhasil memenangkan pemilu berulang kali.
Periode ini menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam sistem politik pada masa pemerintahan Soeharto. Pemerintahan otoriter menggantikan politik demokrasi, dan penggabungan dan kendali partai-partai mengurangi keragaman politik. Prioritas utama pemerintahan Soeharto adalah menjaga stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, tetapi hal ini juga mengakibatkan konsentrasi kekuasaan politik dan pelemahan nilai-nilai demokrasi. Periode ini memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat Indonesia dan komunitas minoritas khususnya.
Indonesia Menjadi Negara Demokratis Ketiga di Asia
Proses demokratisasi di Indonesia dimulai dengan keterlibatan politik yang terbatas pada awal tahun 1980-an, tetapi perubahan yang nyata terjadi setelah krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Krisis keuangan ini memiliki dampak besar terhadap ekonomi dan masyarakat Indonesia, yang dipicu oleh kurangnya fondasi ekonomi yang kuat meskipun ada perbaikan ekonomi selama periode pemerintahan Soeharto yang dicirikan oleh korupsi dalam hubungan politik bisnis.
Ketika krisis terjadi, pemerintah tidak mampu mengambil kebijakan pemulihan yang efektif, dan pelemahan nilai tukar mata uang Indonesia menjadi salah satu yang paling parah. Krisis ekonomi ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif dan dampak yang signifikan terhadap stabilitas politik. Hal ini menyebabkan kehancuran prestasi pembangunan yang pernah dianggap prestasi pemerintahan "Orde Baru" dan terus berkurangnya legitimasi pemerintahan. Gerakan demonstrasi mahasiswa terus terjadi, menuntut reformasi politik, bahkan melakukan pengepungan gedung parlemen dan menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto.
Ketika pemerintah Indonesia tidak mampu mempertahankan ketertiban politik, peristiwa ini memaksa Soeharto mengundurkan diri secara terpaksa dan digantikan oleh penerusnya, BJ Habibie, untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan menyelesaikan berbagai masalah yang timbul akibat kerusuhan dan kegagalan Orde Baru.
Periode transisi ini menandai proses demokratisasi di Indonesia, mengakhiri pemerintahan otoriter jangka panjang Soeharto, dan membuka jalan bagi reformasi politik dan pluralisme. Namun, proses demokratisasi tidak berjalan mulus, dan Indonesia masih menghadapi tantangan dan kesulitan dalam tahun-tahun berikutnya. Namun, krisis keuangan Asia 1997 dapat dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang memicu transformasi politik di Indonesia.
Setelah Habibie menjadi presiden, dia mendorong serangkaian langkah-langkah demokratisasi, termasuk melalui undang-undang partai politik, undang-undang pemilu, dan undang-undang organisasi parlemen. Berdasarkan undang-undang ini, pada Mei 1998, Indonesia menghapus larangan terhadap berdirinya partai politik lain selama masa Orde Baru, dan pada tahun 1999 diadakan pemilihan umum nasional pertama dengan jumlah parpol yang besar. Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, memperoleh dukungan pemilih dengan citra nasionalisme dan reformasi kelas menengah, dan menjadi partai terbesar di parlemen. Meskipun partai reformis meraih kemenangan, namun karena divergensi yang beragam dalam struktur sosial Indonesia, tidak ada satu partai pun yang mampu memperoleh mayoritas kursi di parlemen.
Berdasarkan kesamaan ideologi agama, partai Islamis membentuk aliansi politik "Poros Tengah" dan berhasil memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Mereka mencalonkan pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden Indonesia. Konfigurasi politik ini mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia dan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan berbagai faksi.
Dalam proses demokratisasi Indonesia, orang Tionghoa pertama kali mendirikan partai politik. Pada tanggal 5 Juni 1998, Lieus Sungkharisma mendirikan Partai Reformasi Tionghoa, sementara Muhammad Yusuf Hamka, seorang Muslim Tionghoa peranakan, mendirikan Partai Pembauran Indonesia. Namun, kedua partai ini tidak dapat menarik minat orang Tionghoa, salah satunya karena adanya ketakutan di kalangan orang Tionghoa terhadap keterlibatan politik, terutama dalam hal yang terkait dengan Tiongkok.
Setelah peristiwa 30 September 1965, orang Tionghoa menjadi korban antikomunisme, yang menyebabkan banyak keluarga Tionghoa ingin menjauhkan anak-anak mereka dari politik. Selain itu, orang Tionghoa sering merasa sebagai "outsider" dan memilih untuk tidak terlibat dalam hal-hal yang berbau politik. Hal ini juga menyebabkan kesan masyarakat pribumi bahwa orang Tionghoa enggan berbaur dan menolak untuk terintegrasi dalam masyarakat lokal, sementara masyarakat pribumi juga merasa bahwa orang Tionghoa menganggap diri mereka lebih superior.
Namun, organisasi-organisasi Tionghoa yang didirikan setelah tahun 1998, seperti Ikatan Nasional Tionghoa Indonesia (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), menekankan bahwa mereka adalah organisasi budaya dan tidak ikut campur dalam politik. Namun, sebenarnya menurut ilmu politik, baik organisasi yang didirikan untuk kegiatan budaya maupun sosial, begitu ada pendirian organisasi, itu menunjukkan keterlibatan dalam kegiatan politik atau berpolitik.
Hambatan partisipasi politik orang Tionghoa sering melibatkan faktor sejarah, sosial, dan budaya yang mendalam. Penyelesaian masalah-masalah ini membutuhkan waktu dan upaya untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana semua warga negara dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik dengan setara.
Sikap orang Tionghoa ini disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah dalam menjamin prinsip "keadilan sosial tanpa diskriminasi", misalnya dalam beberapa peristiwa khusus yang memiliki dampak negatif bagi orang Tionghoa di Indonesia, dan mencerminkan bahwa dalam beberapa kasus, orang Tionghoa masih menghadapi diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil. Sebagai contoh, dalam pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2004 yang menyebut bahwa orang Tionghoa mengendalikan ekonomi seluruh negara Indonesia.
Pernyataan pejabat negara seperti itu mencerminkan perilaku yang tidak pantas dari beberapa pejabat pemerintah atau otoritas lokal dan sikap diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Perilaku dan sikap seperti itu merugikan dalam membangun masyarakat yang adil dan setara, dan mungkin memperkuat keraguan dan ketakutan orang Tionghoa dalam berpartisipasi dalam politik.
Namun, penting untuk disadari bahwa pernyataan yang kontroversial tersebut tidak mewakili pandangan seluruh masyarakat Indonesia atau pemerintah secara keseluruhan. Indonesia adalah negara yang multikultural dan multireligius, dengan banyak orang yang menghormati dan mendukung prinsip kesetaraan dan inklusi. Belakangan ini, Indonesia telah mencapai beberapa kemajuan, termasuk adanya undang-undang dan kebijakan yang lebih baik dalam melindungi hak-hak minoritas.
Namun, untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif, masih diperlukan upaya yang berkelanjutan, termasuk reformasi dalam pendidikan, hukum, dan kebijakan, guna menghapuskan diskriminasi rasial dan agama, serta memastikan semua warga negara dapat menikmati hak dan kesempatan yang setara. Hal ini membutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak untuk membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil dan setara.
Untuk mewujudkan masyarakat seperti itu, diperlukan penguatan pendidikan, dan pemahaman, serta reformasi hukum guna memastikan semua warga negara memiliki hak dan kesempatan yang setara. Hal ini membutuhkan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak untuk membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil dan setara.
Selanjutnya, dalam Pemilihan Presiden dan Parlemen tahun 2019, muncul isu-isu terkait masyarakat Tionghoa dan pekerja asal Tiongkok. Isu-isu ini menjadi sorotan dalam pemilihan dan memunculkan kekhawatiran akan munculnya sentimen anti-Tionghoa yang baru.
Dalam pemilihan tahun 2019, beberapa politisi memanfaatkan isu masyarakat Tionghoa dan pekerja asal Tiongkok untuk memanaskan emosi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tujuan mendapatkan dukungan pemilih. Memanfaatkan perpecahan antar golongan semacam ini dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan dalam masyarakat minoritas, baik minoritas dari sisi suku maupun agama, serta memperdalam perpecahan sosial di Indonesia.
Dalam pemilihan Presiden, lapangan kerja dan ekonomi menjadi fokus utama, terutama dalam konteks bangkitnya nasionalisme. Presiden Joko Widodo, dalam upaya meraih suara pada tahun 2019, meluncurkan proyek pembangunan infrastruktur yang masif dan mengundang investasi dan kerja sama dari Tiongkok. Presiden terbuka dengan investasi dari Tiongkok, yang menuai kritik dari pesaingnya, Prabowo Subianto, yang menuduh Joko Widodo menjual kepentingan negara.
Namun, setelah pemilihan berakhir, Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam pemerintahan dan menggarisbawahi kontribusi konstruktif masyarakat Tionghoa, terutama pengusaha Tionghoa, terhadap pembangunan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sentimen anti-Tionghoa selama kampanye, pemerintah Indonesia tetap menghargai investasi dan kerja sama dari Tiongkok, dan mengakui kontribusi Tionghoa dalam berbagai bidang di Indonesia.
Kerja sama dengan Tiongkok dan Tantangan untuk Pemerintah Selanjutnya
Inisiatif One Belt One Road telah membawa banyak peluang pengembangan dan proyek infrastruktur bagi Indonesia. Investasi dan bantuan teknis dari Tiongkok telah membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini memiliki arti penting dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan, meningkatkan tingkat infrastruktur, dan mendorong perkembangan regional.
Namun, perlu dicatat bahwa investasi dan kerja sama dari Tiongkok juga membawa sejumlah tantangan dan masalah. Misalnya, beberapa orang khawatir tentang masuknya tenaga kerja Tiongkok dalam jumlah besar yang dapat menekan pasar tenaga kerja lokal dan menyebabkan pengangguran di kalangan pekerja lokal. Selain itu, dampak lingkungan dan sosial dari beberapa proyek infrastruktur juga perlu ditangani dengan baik untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan melindungi kepentingan komunitas lokal.
Oleh karena itu, sambil mendorong investasi dan kerja sama dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa proyek-proyek kerja sama ini sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pembangunan nasional, dan diawasi dengan ketat. Di samping itu, perlu ditingkatkan lagi pengembangan industri dan sumber daya manusia di dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing Indonesia.
Baru-baru ini, kita mendengar lagi mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, menyebarkan data yang salah dan mempropagandakan klaim bahwa lebih dari 50% ekonomi Indonesia dikuasai oleh orang Tionghoa, dalam upaya memanipulasi sentimen anti-Tionghoa. Ujaran semacam ini dapat menyebabkan perpecahan sosial dan mendapatkan dukungan dari sebagian orang.
Selama pemilihan presiden yang akan datang pada tahun 2024, beberapa politisi mungkin akan menggunakan sentimen anti-Tionghoa untuk mendapatkan suara, namun tindakan semacam ini dipastikan tidak memiliki konsekuensi atau dampak negarif yang serius dan luas, karena kaum terdidik di Indonesia sudah semakin banyak dan mereka bisa membedakan mana yang propaganda politik dan mana yang merupakan fakta nyata.
Dalam tahun politik seperti saat ini, rumor politik dan penghasutan emosi dapat memperdalam perpecahan sosial, terutama dalam hal prasangka terhadap etnis maupun agama minoritas. Namun, pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk memimpin dan mencegah terjadinya situasi yang dapat menyebabkan konflik kekerasan dan dampak negatif, terutama terkait dengan perusahaan-perusahaan asal Tiongkok. Pemerintah harus berkomitmen untuk mempertahankan harmoni di dalam perbedaan suku, agama maupun budaya, menjaga prinsip keadilan dan kesetaraan, serta memastikan perlindungan hak-hak seluruh warga negara.
Indonesia adalah negara yang multietnis dan multiagama, membangun masyarakat yang harmonis membutuhkan upaya dari pemerintah dan keterlibatan seluruh masyarakat. Ini melibatkan pendidikan, memfasilitasi dialog, meningkatkan kesempatan saling memahami dan menghormati, serta mengimplementasikan langkah-langkah hukum dan kebijakan untuk melawan diskriminasi rasial dan ujaran kebencian. Memperhatikan kohesi sosial dan inklusi adalah elemen kunci dalam membangun masyarakat yang adilm damai dan stabil.
Dalam upaya menjaga kepentingan dan keamanan nasional, pengusaha Tiongkok dan pengusaha Tionghoa lokal tidak perlu khawatir dengan terulangnya kembali kerusuhan sosial terhadap etnis Tionghoa maupun asing, karena kerusuhan hanya akan terjadi jika didukung oleh ketidakstabilan pemerintah dan ketidaktegasan negara dalam menegakkan hukum yang berkeadilan sosial.
Dalam perspektif kepentingan dan keamanan nasional, pemerintah Indonesia akan berkomitmen untuk melindungi hak-hak semua pengusaha, tanpa memandang kewarganegaraan atau latar belakang etnis mereka. Pemerintah mengutamakan stabilitas sosial dan harmoni etnis, dan akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya konflik rasial.
Pengusaha Tiongkok dan pengusaha Tionghoa lokal meskipun tidak superior tetapi mereka tetap mendapat penghargaan dan perlindungan dari pemerintah Indonesia, serta kontribusi mereka sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia. Pemerintah Indonesia akan memastikan keamanan nasional dan melindungi kepentingan negara, dan tindakan militer akan selaras dengan kebutuhan nasional, dan tidak terpengaruh atau dimanipulasi oleh kekuatan asing.
Lecturer International Relations Study Programs, President University, Indonesia
Tahun 2024 akan menjadi tonggak penting bagi demokrasi Indonesia dengan adanya pemilihan presiden dan parlemen. Namun, apakah perkembangan Indonesia dalam berbagai aspek sudah mencapai tujuan demokrasi, perdamaian, dan kemakmuran masih perlu untuk lebih dipelajari?
Dalam pemilu sebelumnya, masyarakat selalu khawatir tentang kemungkinan terjadinya kekerasan, terutama terhadap kelompok minoritas seperti orang Tionghoa . Apakah mereka akan menjadi sasaran kekerasan lagi kali ini?
Pemilihan presiden seringkali disertai dengan berbagai desas-desus yang mengklaim bahwa beberapa partai politik melindungi kepentingan orang Tionghoa atau memiliki hubungan dekat dengan Partai Komunis. Mengapa istilah "orang Tionghoa" menjadi sensitif dalam pemilu atau di Indonesia secara umum? Artikel ini akan mencoba menganalisis pertanyaan ini berdasarkan sejarah Indonesia dan situasi politik global.
Sejarah Indonesia mencatat adanya konflik dan ketegangan antara kelompok etnis selama beberapa dekade. Pada masa kolonial Belanda, orang Tionghoa seringkali dianggap sebagai kelompok etnis yang lebih maju secara ekonomi. Namun, hal ini juga memunculkan ketidaksetaraan sosial dan kecemburuan dari kelompok lain di masyarakat. Setelah kemerdekaan Indonesia, terjadi pemberontakan di beberapa daerah yang melibatkan orang Tionghoa, yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai kelompok yang berpihak pada pihak asing.
Selain itu, peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 juga memberikan dampak besar terhadap persepsi terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Pada masa itu, terdapat propaganda yang menyebutkan bahwa orang Tionghoa banyak yang terlibat dalam gerakan komunis. Hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi target penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat secara massal.
Pada pemilihan-pemilihan politik selanjutnya, isu-isu yang melibatkan etnisitas dan agama kerap kali digunakan oleh pihak-pihak yang ingin memperoleh dukungan politik. Isu-isu tersebut kadang-kadang berkaitan dengan kelompok minoritas seperti orang Tionghoa. Pernyataan atau tindakan yang merendahkan atau memojokkan kelompok etnis dapat memicu konflik dan kekerasan.
Selain itu, situasi politik global juga dapat mempengaruhi persepsi terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Konflik-konflik antara negara-negara tertentu dengan Tiongkok dapat menciptakan ketegangan antaretnis di Indonesia, terutama jika orang Tionghoa diidentifikasi sama dengan negara Tiongkok.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang Tionghoa di Indonesia memiliki pandangan politik atau kepentingan yang sama. Mereka adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia dan berhak mendapatkan perlindungan dan kesetaraan dalam berpartisipasi dalam proses politik.
Untuk mencapai demokrasi, perdamaian, dan kemakmuran yang diharapkan, penting bagi semua pihak untuk menjaga kerukunan antar-etnis dan menghormati hak-hak warga negara, termasuk hak-hak kelompok minoritas seperti orang Tionghoa. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil untuk memastikan pemilu berjalan dengan damai dan adil, serta untuk memerangi penyebaran propaganda yang dapat memicu konflik etnis.
Baca Juga
Kehadiran dan peran masyarakat Tionghoa di Indonesia seringkali menjadi isu sensitif dalam pemilu. Sejarah Indonesia mencatat adanya periode yang penuh gejolak, termasuk perlakuan yang tidak adil dan kekerasan terhadap komunitas Tionghoa. Kejadian-kejadian ini menimbulkan kekhawatiran terhadap hak dan keamanan masyarakat Tionghoa, terutama selama masa pemilu.
Sejarah ini mengingatkan kita tentang perlunya memperlakukan semua warga Indonesia secara adil dan setara, tanpa memandang etnis atau latar belakang mereka. Dalam konteks pemilu, penting untuk menghindari retorika yang memicu konflik dan kekerasan antar-etnis. Sebaliknya, semua pihak harus bekerja sama untuk membangun persatuan dan kerukunan, serta memastikan bahwa semua kelompok masyarakat merasa aman dan dihormati dalam melaksanakan hak-hak politik mereka.
Penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil, untuk mempromosikan pemahaman, toleransi, dan dialog antar-etnis. Dalam kerangka demokrasi, semua warga negara harus diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik, tanpa diskriminasi atau intimidasi.
Pemilihan yang damai, adil, dan inklusif adalah fondasi yang penting dalam membangun demokrasi yang sehat di Indonesia. Dalam konteks ini, penting untuk mengatasi ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh masyarakat Tionghoa, dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dilindungi. Dalam jangka panjang, upaya yang berkelanjutan dalam mempromosikan persaudaraan antar-etnis, penghapusan diskriminasi, dan perlindungan hak asasi manusia akan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia.
Salah satu alasan utama yang mempengaruhi posisi masyarakat Tionghoa dalam pemilu adalah desas-desus dan tuduhan yang sering muncul. Beberapa partai politik atau calon mungkin mencoba memanipulasi emosi pemilih dengan menggunakan isu-isu ras dan agama, sehingga masyarakat Tionghoa menjadi sasaran serangan politik. Praktik politik semacam ini tidak jarang terjadi dalam pemilu di Indonesia. Namun, kita perlu menyadari bahwa tuduhan semacam itu sering kali didasarkan pada prasangka dan informasi yang tidak benar.
Dalam konteks pemilu, penting bagi masyarakat untuk mampu memilah dan mengevaluasi informasi dengan bijak. Kita harus berusaha untuk memahami bahwa manipulasi politik berdasarkan isu-isu etnis atau agama hanya bertujuan untuk menghasut dan memecah belah masyarakat. Kita harus melawan upaya-upaya semacam itu dengan mempromosikan kerjasama dan persatuan antar-etnis.
Masyarakat Tionghoa juga memiliki peran penting dalam menjaga integritas pemilu. Mereka dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik, menjadi pemilih yang cerdas, dan berkontribusi untuk membangun demokrasi yang kuat di Indonesia. Selain itu, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus berkomitmen untuk melindungi hak-hak dan kepentingan semua kelompok masyarakat, termasuk masyarakat Tionghoa, dan mencegah penyebaran informasi yang tidak benar dan diskriminatif.
Ketika kita memasuki masa pemilu, penting bagi kita semua untuk mempromosikan diskusi yang berlandaskan fakta, menghormati keberagaman, dan menjaga toleransi di antara masyarakat. Hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia, kita dapat membangun Indonesia yang lebih demokratis, damai, dan sejahtera bagi semua warga negara.
Pemilu di Indonesia, dari Soekarno ke Soeharto
Keanekaragaman budaya dan latar belakang sosial yang beragam di Indonesia merupakan salah satu fondasi penting bagi perkembangan demokrasi. Namun, keberagaman ini juga membawa ketegangan dan kekhawatiran dalam masyarakat.
Sistem konstitusi Indonesia menghadapi tantangan dalam menghadapi keberagaman dan masyarakat yang penuh perbedaan. Sejak awal kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mencoba menerapkan sistem konstitusi yang mengadopsi model kabinet multipartai yang ada di masyarakat demokratis Barat, yang dikenal sebagai "demokrasi konsensus". Tujuannya adalah melalui desain institusi, memasukkan berbagai kelompok masyarakat yang beragam, sehingga berbagai organisasi sosial dapat berpartisipasi dalam aktivitas politik di dalam mekanisme negara.
Namun, implementasi konsep demokrasi konsensus ini tidak selalu berjalan mulus. Ada tantangan dalam mencapai keseimbangan kepentingan dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat yang beragam. Tergantung pada konteks politik dan dinamika sosial, upaya untuk mencapai kesepakatan dan konsensus bisa menjadi rumit. Terkadang terdapat ketegangan dan konflik yang muncul antara kelompok-kelompok masyarakat, baik dalam hal etnis, agama, maupun ideologi politik.
Meskipun desain institusi "demokrasi konsensus" memenuhi kebutuhan dasar partisipasi masyarakat yang beragam dalam politik, namun belum mampu mencapai stabilitas ekonomi dan politik. Terbentuknya parlemen berdasarkan sistem proporsional memaksa pemilih untuk membuat pilihan kepentingan di antara partai politik, yang menyebabkan persaingan ideologi di antara partai-partai yang beragam dan meningkatkan kesulitan dalam mengintegrasikan negara.
Pada periode "demokrasi parlementer" antara tahun 1950 hingga 1957, politik Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak 7 kali, perselisihan partai berdasarkan ras dan faksi menghambat perkembangan negara. Hasil pemilihan demokratis menjadi sumber perpecahan internal akibat perbedaan ideologi partai. Persaingan politik antar partai yang beragam melemahkan kemampuan pemerintahan negara, sedangkan masyarakat yang penuh perbedaan menghancurkan keyakinan nilai-nilai sosial yang sama, inilah yang disebut sebagai "kegagalan pemerintahan".
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada tahun 1945 hingga mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1949, komunitas Tionghoa di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah orang Tionghoa yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan secara langsung memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Kelompok kedua adalah orang Tionghoa Indonesia yang tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Orang Tionghoa Indonesia dengan kewarganegaraan Tiongkok dapat dibagi menjadi dua aliran, yaitu yang mendukung Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok baru, dan yang mendukung Republik Tiongkok atau Taiwan. Pada saat itu, Soekarno tidak terlalu mempermasalahkan perselisihan di antara komunitas Tionghoa. Baginya, orang Tionghoa yang menyatakan dirinya sebagai warga negara Indonesia adalah orang Indonesia. Namun, dari perspektif politik, Soekarno menyadari adanya persaingan di antara komunitas Tionghoa setelah kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1958.
Pada periode ini, sering terjadi bentrokan internal di antara "kelompok merah" (pro-Republik Rakyat Tiongkok) dan "kelompok biru" (pro-Republik Tiongkok) dalam kontrol terhadap perkumpulan dan sekolah Tionghoa, serta serangan terhadap organisasi maupun kegiatan internal mereka sendiri. Namun, pada tahun 1958, terjadi perang saudara di Indonesia atau yang sering disebut PRRI/Permesta, dan pemerintah Indonesia menganggap pemerintah Republik Tiongkok mendukung pemberontak antipemerintah. Beberapa pemimpin komunitas Tionghoa yang antikomunis ditangkap, sementara perkumpulan, sekolah, dan surat kabar Tionghoa antikomunis ditutup. Seiring perubahan zaman dan perubahan pandangan kelompok biru, kelompok Tionghoa yang mendukung Republik Tiongkok secara bertahap terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia.
Periode ini mencerminkan perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa dalam politik Indonesia, serta adanya perpecahan di antara faksi politik yang berbeda. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan sosial, komunitas Tionghoa secara bertahap terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia dan memberikan kontribusi penting bagi pembangunan Indonesia. Hal ini juga mencerminkan upaya Indonesia untuk mencapai tujuan demokrasi dan perdamaian, serta mendorong harmoni antara berbagai etnis.
Pada masa pemerintahan Soekarno, partisipasi politik Tionghoa relatif biasa-biasa saja. Sebagian besar orang Tionghoa memilih untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia karena partai ini relatif toleran dan sejalan dengan arah politik Soekarno pada saat itu. Namun, setelah jatuhnya Soekarno, orang Tionghoa dituduh terlibat dalam kudeta Partai Komunis Indonesia dan dikaitkan dengan Tiongkok. Setelah terjadinya peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965, hubungan Indonesia dengan Tiongkok mengalami perubahan drastis.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa dalam konteks politik Indonesia. Namun, penting untuk diingat bahwa seiring berjalannya waktu, komunitas Tionghoa telah berintegrasi dalam masyarakat Indonesia dan berkontribusi secara positif dalam berbagai bidang. Keselarasan dan kerukunan antara berbagai kelompok etnis adalah prasyarat penting bagi pembangunan yang berkelanjutan dan demokrasi yang sehat di Indonesia.
Setelah Soekarno, Jenderal Soeharto yang menggantikannya segera memberlakukan peraturan pemerintah yang melarang budaya Tionghoa, termasuk penggunaan bahasa Tionghoa. Orang Tionghoa juga tidak diizinkan berpartisipasi dalam partai politik, hanya memiliki hak suara atau memilih dalam pemilu. Kebijakan ini merupakan pembatasan dan tantangan besar bagi komunitas Tionghoa. Budaya dan bahasa mereka ditekan, dan ruang untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik sangat terbatas.
Periode ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto, komunitas Tionghoa menghadapi pembatasan dan diskriminasi dalam konteks politik. Budaya dan bahasa mereka ditekan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik dibatasi. Ini adalah masa sulit bagi orang Tionghoa di Indonesia, di mana mereka harus berusaha melindungi hak-hak dan identitas mereka dalam lingkungan yang seperti itu.
Namun, kita juga perlu menyadari bahwa sejarah memiliki banyak dimensi, terdapat berbagai sudut pandang dan penjelasan. Untuk memahami situasi politik Indonesia dan status komunitas Tionghoa, diperlukan penelitian dan eksplorasi yang mendalam untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan objektif.
Setelah kerusuhan politik mereda karena rezim Soekarno sudah dianggap kehilangan kekuatan lagi, rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto segera mengganti politik demokrasi dengan pemerintahan otoriter, yang dikenal sebagai "Orde Baru". Berdasarkan konsep Orde Baru, Soeharto menerapkan ideologi negara "Pancasila" dan membentuk pemerintahan yang dipimpin oleh organisasi sosial saat itu "Golkar". Prinsip demokrasi digantikan oleh konsep "musyawarah mufakat" dan "gotong royong" yang ada dalam budaya Jawa, dengan penekanan pada pertukaran "stabilitas politik" dengan "pembangunan ekonomi".
Pada tahun 1971, setelah Golkar memenangkan pemilu, Soeharto memerintahkan pengurangan jumlah partai politik dengan menggabungkan partai-partai Islam menjadi "Partai Persatuan Pembangunan" (PPP). Sementara, partai nasionalis, partai Katolik, dan partai Kristen digabungkan menjadi "Partai Demokrasi Indonesia" (PDI). Partai-partai ini sebelumnya telah memiliki perbedaan pendapat dan kesulitan untuk berkembang karena konflik internal, sementara partai penguasa meraih keuntungan dari situasi ini dan berhasil memenangkan pemilu berulang kali.
Periode ini menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam sistem politik pada masa pemerintahan Soeharto. Pemerintahan otoriter menggantikan politik demokrasi, dan penggabungan dan kendali partai-partai mengurangi keragaman politik. Prioritas utama pemerintahan Soeharto adalah menjaga stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, tetapi hal ini juga mengakibatkan konsentrasi kekuasaan politik dan pelemahan nilai-nilai demokrasi. Periode ini memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat Indonesia dan komunitas minoritas khususnya.
Indonesia Menjadi Negara Demokratis Ketiga di Asia
Proses demokratisasi di Indonesia dimulai dengan keterlibatan politik yang terbatas pada awal tahun 1980-an, tetapi perubahan yang nyata terjadi setelah krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Krisis keuangan ini memiliki dampak besar terhadap ekonomi dan masyarakat Indonesia, yang dipicu oleh kurangnya fondasi ekonomi yang kuat meskipun ada perbaikan ekonomi selama periode pemerintahan Soeharto yang dicirikan oleh korupsi dalam hubungan politik bisnis.
Ketika krisis terjadi, pemerintah tidak mampu mengambil kebijakan pemulihan yang efektif, dan pelemahan nilai tukar mata uang Indonesia menjadi salah satu yang paling parah. Krisis ekonomi ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif dan dampak yang signifikan terhadap stabilitas politik. Hal ini menyebabkan kehancuran prestasi pembangunan yang pernah dianggap prestasi pemerintahan "Orde Baru" dan terus berkurangnya legitimasi pemerintahan. Gerakan demonstrasi mahasiswa terus terjadi, menuntut reformasi politik, bahkan melakukan pengepungan gedung parlemen dan menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto.
Ketika pemerintah Indonesia tidak mampu mempertahankan ketertiban politik, peristiwa ini memaksa Soeharto mengundurkan diri secara terpaksa dan digantikan oleh penerusnya, BJ Habibie, untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan menyelesaikan berbagai masalah yang timbul akibat kerusuhan dan kegagalan Orde Baru.
Periode transisi ini menandai proses demokratisasi di Indonesia, mengakhiri pemerintahan otoriter jangka panjang Soeharto, dan membuka jalan bagi reformasi politik dan pluralisme. Namun, proses demokratisasi tidak berjalan mulus, dan Indonesia masih menghadapi tantangan dan kesulitan dalam tahun-tahun berikutnya. Namun, krisis keuangan Asia 1997 dapat dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang memicu transformasi politik di Indonesia.
Setelah Habibie menjadi presiden, dia mendorong serangkaian langkah-langkah demokratisasi, termasuk melalui undang-undang partai politik, undang-undang pemilu, dan undang-undang organisasi parlemen. Berdasarkan undang-undang ini, pada Mei 1998, Indonesia menghapus larangan terhadap berdirinya partai politik lain selama masa Orde Baru, dan pada tahun 1999 diadakan pemilihan umum nasional pertama dengan jumlah parpol yang besar. Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, memperoleh dukungan pemilih dengan citra nasionalisme dan reformasi kelas menengah, dan menjadi partai terbesar di parlemen. Meskipun partai reformis meraih kemenangan, namun karena divergensi yang beragam dalam struktur sosial Indonesia, tidak ada satu partai pun yang mampu memperoleh mayoritas kursi di parlemen.
Berdasarkan kesamaan ideologi agama, partai Islamis membentuk aliansi politik "Poros Tengah" dan berhasil memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Mereka mencalonkan pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden Indonesia. Konfigurasi politik ini mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia dan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan berbagai faksi.
Dalam proses demokratisasi Indonesia, orang Tionghoa pertama kali mendirikan partai politik. Pada tanggal 5 Juni 1998, Lieus Sungkharisma mendirikan Partai Reformasi Tionghoa, sementara Muhammad Yusuf Hamka, seorang Muslim Tionghoa peranakan, mendirikan Partai Pembauran Indonesia. Namun, kedua partai ini tidak dapat menarik minat orang Tionghoa, salah satunya karena adanya ketakutan di kalangan orang Tionghoa terhadap keterlibatan politik, terutama dalam hal yang terkait dengan Tiongkok.
Setelah peristiwa 30 September 1965, orang Tionghoa menjadi korban antikomunisme, yang menyebabkan banyak keluarga Tionghoa ingin menjauhkan anak-anak mereka dari politik. Selain itu, orang Tionghoa sering merasa sebagai "outsider" dan memilih untuk tidak terlibat dalam hal-hal yang berbau politik. Hal ini juga menyebabkan kesan masyarakat pribumi bahwa orang Tionghoa enggan berbaur dan menolak untuk terintegrasi dalam masyarakat lokal, sementara masyarakat pribumi juga merasa bahwa orang Tionghoa menganggap diri mereka lebih superior.
Namun, organisasi-organisasi Tionghoa yang didirikan setelah tahun 1998, seperti Ikatan Nasional Tionghoa Indonesia (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), menekankan bahwa mereka adalah organisasi budaya dan tidak ikut campur dalam politik. Namun, sebenarnya menurut ilmu politik, baik organisasi yang didirikan untuk kegiatan budaya maupun sosial, begitu ada pendirian organisasi, itu menunjukkan keterlibatan dalam kegiatan politik atau berpolitik.
Hambatan partisipasi politik orang Tionghoa sering melibatkan faktor sejarah, sosial, dan budaya yang mendalam. Penyelesaian masalah-masalah ini membutuhkan waktu dan upaya untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana semua warga negara dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik dengan setara.
Sikap orang Tionghoa ini disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah dalam menjamin prinsip "keadilan sosial tanpa diskriminasi", misalnya dalam beberapa peristiwa khusus yang memiliki dampak negatif bagi orang Tionghoa di Indonesia, dan mencerminkan bahwa dalam beberapa kasus, orang Tionghoa masih menghadapi diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil. Sebagai contoh, dalam pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2004 yang menyebut bahwa orang Tionghoa mengendalikan ekonomi seluruh negara Indonesia.
Pernyataan pejabat negara seperti itu mencerminkan perilaku yang tidak pantas dari beberapa pejabat pemerintah atau otoritas lokal dan sikap diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Perilaku dan sikap seperti itu merugikan dalam membangun masyarakat yang adil dan setara, dan mungkin memperkuat keraguan dan ketakutan orang Tionghoa dalam berpartisipasi dalam politik.
Namun, penting untuk disadari bahwa pernyataan yang kontroversial tersebut tidak mewakili pandangan seluruh masyarakat Indonesia atau pemerintah secara keseluruhan. Indonesia adalah negara yang multikultural dan multireligius, dengan banyak orang yang menghormati dan mendukung prinsip kesetaraan dan inklusi. Belakangan ini, Indonesia telah mencapai beberapa kemajuan, termasuk adanya undang-undang dan kebijakan yang lebih baik dalam melindungi hak-hak minoritas.
Namun, untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif, masih diperlukan upaya yang berkelanjutan, termasuk reformasi dalam pendidikan, hukum, dan kebijakan, guna menghapuskan diskriminasi rasial dan agama, serta memastikan semua warga negara dapat menikmati hak dan kesempatan yang setara. Hal ini membutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak untuk membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil dan setara.
Untuk mewujudkan masyarakat seperti itu, diperlukan penguatan pendidikan, dan pemahaman, serta reformasi hukum guna memastikan semua warga negara memiliki hak dan kesempatan yang setara. Hal ini membutuhkan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak untuk membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil dan setara.
Selanjutnya, dalam Pemilihan Presiden dan Parlemen tahun 2019, muncul isu-isu terkait masyarakat Tionghoa dan pekerja asal Tiongkok. Isu-isu ini menjadi sorotan dalam pemilihan dan memunculkan kekhawatiran akan munculnya sentimen anti-Tionghoa yang baru.
Dalam pemilihan tahun 2019, beberapa politisi memanfaatkan isu masyarakat Tionghoa dan pekerja asal Tiongkok untuk memanaskan emosi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tujuan mendapatkan dukungan pemilih. Memanfaatkan perpecahan antar golongan semacam ini dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan dalam masyarakat minoritas, baik minoritas dari sisi suku maupun agama, serta memperdalam perpecahan sosial di Indonesia.
Dalam pemilihan Presiden, lapangan kerja dan ekonomi menjadi fokus utama, terutama dalam konteks bangkitnya nasionalisme. Presiden Joko Widodo, dalam upaya meraih suara pada tahun 2019, meluncurkan proyek pembangunan infrastruktur yang masif dan mengundang investasi dan kerja sama dari Tiongkok. Presiden terbuka dengan investasi dari Tiongkok, yang menuai kritik dari pesaingnya, Prabowo Subianto, yang menuduh Joko Widodo menjual kepentingan negara.
Namun, setelah pemilihan berakhir, Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam pemerintahan dan menggarisbawahi kontribusi konstruktif masyarakat Tionghoa, terutama pengusaha Tionghoa, terhadap pembangunan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sentimen anti-Tionghoa selama kampanye, pemerintah Indonesia tetap menghargai investasi dan kerja sama dari Tiongkok, dan mengakui kontribusi Tionghoa dalam berbagai bidang di Indonesia.
Kerja sama dengan Tiongkok dan Tantangan untuk Pemerintah Selanjutnya
Inisiatif One Belt One Road telah membawa banyak peluang pengembangan dan proyek infrastruktur bagi Indonesia. Investasi dan bantuan teknis dari Tiongkok telah membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini memiliki arti penting dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan, meningkatkan tingkat infrastruktur, dan mendorong perkembangan regional.
Namun, perlu dicatat bahwa investasi dan kerja sama dari Tiongkok juga membawa sejumlah tantangan dan masalah. Misalnya, beberapa orang khawatir tentang masuknya tenaga kerja Tiongkok dalam jumlah besar yang dapat menekan pasar tenaga kerja lokal dan menyebabkan pengangguran di kalangan pekerja lokal. Selain itu, dampak lingkungan dan sosial dari beberapa proyek infrastruktur juga perlu ditangani dengan baik untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan melindungi kepentingan komunitas lokal.
Oleh karena itu, sambil mendorong investasi dan kerja sama dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa proyek-proyek kerja sama ini sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pembangunan nasional, dan diawasi dengan ketat. Di samping itu, perlu ditingkatkan lagi pengembangan industri dan sumber daya manusia di dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing Indonesia.
Baru-baru ini, kita mendengar lagi mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, menyebarkan data yang salah dan mempropagandakan klaim bahwa lebih dari 50% ekonomi Indonesia dikuasai oleh orang Tionghoa, dalam upaya memanipulasi sentimen anti-Tionghoa. Ujaran semacam ini dapat menyebabkan perpecahan sosial dan mendapatkan dukungan dari sebagian orang.
Selama pemilihan presiden yang akan datang pada tahun 2024, beberapa politisi mungkin akan menggunakan sentimen anti-Tionghoa untuk mendapatkan suara, namun tindakan semacam ini dipastikan tidak memiliki konsekuensi atau dampak negarif yang serius dan luas, karena kaum terdidik di Indonesia sudah semakin banyak dan mereka bisa membedakan mana yang propaganda politik dan mana yang merupakan fakta nyata.
Dalam tahun politik seperti saat ini, rumor politik dan penghasutan emosi dapat memperdalam perpecahan sosial, terutama dalam hal prasangka terhadap etnis maupun agama minoritas. Namun, pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk memimpin dan mencegah terjadinya situasi yang dapat menyebabkan konflik kekerasan dan dampak negatif, terutama terkait dengan perusahaan-perusahaan asal Tiongkok. Pemerintah harus berkomitmen untuk mempertahankan harmoni di dalam perbedaan suku, agama maupun budaya, menjaga prinsip keadilan dan kesetaraan, serta memastikan perlindungan hak-hak seluruh warga negara.
Indonesia adalah negara yang multietnis dan multiagama, membangun masyarakat yang harmonis membutuhkan upaya dari pemerintah dan keterlibatan seluruh masyarakat. Ini melibatkan pendidikan, memfasilitasi dialog, meningkatkan kesempatan saling memahami dan menghormati, serta mengimplementasikan langkah-langkah hukum dan kebijakan untuk melawan diskriminasi rasial dan ujaran kebencian. Memperhatikan kohesi sosial dan inklusi adalah elemen kunci dalam membangun masyarakat yang adilm damai dan stabil.
Dalam upaya menjaga kepentingan dan keamanan nasional, pengusaha Tiongkok dan pengusaha Tionghoa lokal tidak perlu khawatir dengan terulangnya kembali kerusuhan sosial terhadap etnis Tionghoa maupun asing, karena kerusuhan hanya akan terjadi jika didukung oleh ketidakstabilan pemerintah dan ketidaktegasan negara dalam menegakkan hukum yang berkeadilan sosial.
Dalam perspektif kepentingan dan keamanan nasional, pemerintah Indonesia akan berkomitmen untuk melindungi hak-hak semua pengusaha, tanpa memandang kewarganegaraan atau latar belakang etnis mereka. Pemerintah mengutamakan stabilitas sosial dan harmoni etnis, dan akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya konflik rasial.
Pengusaha Tiongkok dan pengusaha Tionghoa lokal meskipun tidak superior tetapi mereka tetap mendapat penghargaan dan perlindungan dari pemerintah Indonesia, serta kontribusi mereka sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia. Pemerintah Indonesia akan memastikan keamanan nasional dan melindungi kepentingan negara, dan tindakan militer akan selaras dengan kebutuhan nasional, dan tidak terpengaruh atau dimanipulasi oleh kekuatan asing.
(zik)