RUU (OBL) Kesehatan: Benarkah Demi Kepentingan Rakyat?
Kamis, 06 Juli 2023 - 08:26 WIB
Dalam banyak pertemuan dan diskusi dengan profesi dan tenaga kesehatan, hampir semua mengatakan pernah diundang memberi masukan atau usulan secara online, yang disebutnya sebagai public hearing, namun tidak diketahui apakah usulannya itu ditema atau tidak. Sebagian mengatakan tidak ada usulan kami yang diterima. Memang ada segelintir tenaga kesehatan yang diterima usulannya, namun semua orang tahu bahwa mereka itu memang pendukung RUU (OBL) Kesehatan. Mereka juga dikenal sebagai pembisik pemerintah.
Berikutnya untuk masyarakat umum. Apakah pembentuk undang-undang melakukan meaningful participation guna mengetahui kebutuhan kesehatan mereka? Setidaknya ada 43 lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan dalam konferensi persnya di Kantor YLBH Indonesia, Menteng Jakarta Pusat, 13 Juni 2023, telah menjadi jawabannya. Mereka menolak RUU (OBL) Kesehatan ini karena belum mengupayakan partisipasi bermakna. Koalisi ini saja merasa belum diajak bicara, apalagi rakyat lain.
Meaningful participation dalam proses pembentukan undang-undang sangat penting sehingganya penulis menempatkannya sebagai batu uji pertama. Artinya bila rakyat tidak mengetahui keberadaan RUU tersebut, bagaimana ia dapat berbicara lebih lanjut soal isi, kepastian hukumnya, keadilan, dan keamanfaatannya.?
Dalam membentuk undang-undang, partisipasi publik (rakyat) secara bermakna sangat penting. Partisipasi bermakna menyangkut tiga prasyarat yang terkait dengan hak rakyat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Pertanyaan kedua, apakah dapat memberi kepastian hukum rakyat? Untuk pertanyaan ini penulis ingin mengutip Nota Keberatan dari Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk Undang-Undang Kesehatan Jiwa, No. 01/Koalisi NP Keswa/IV/2023, tertanggal 13 April 2023. Nota Keberatan tersebut ditujukan kepada Ketua Komisi IX DPR RI.
Pada butir (1) dan (2) dari Nota Keberatannya, berbunyi: “(1) RUU Kesehatan akan meniadakan UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Keberadaan UU Keswa merupakan bagian dari identitas negara yang penting di bidang kesehatan jiwa baik tingkat regional (ASEAN) maupun dunia (WHO). (2) Meleburkan UU Keswa dengan dalih penyederhanaan mengakibatkan hilangnya pengejawantahan pasal-pasal Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menunjukkan komitmen Negara untuk melindungi orang dengan disabilitas mental yang seringkali mendapatkan perlakuan salah dan penelantaran dari berbagai pihak.“
Pada butir (4), memuat kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan yang diajukan saat ini tidak mampu menyediakan payung yang jelas untuk mendorong dan menjamin aspek-aspek, di antaranya: “(a) Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa yang bermutu, mudah diakses, dan mendukung hak asasi manusia di fasilitas kesehatan (melalui rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, dan layanan kesehatan primer) maupun non kesehatan. (b) Ketersediaan (kuantitatif dan kualitatif) dan perlindungan secara hukum bagi penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik tenaga profesional kesehatan jiwa, tenaga profesional lain yang bergerak di aspek psikososial, maupun tenaga non-profesional terlatih secara memadai.” Dan seterusnya.
Pertanyaan ketiga, apakah dapat memberi keadilan kepada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis ingin mengutip tulisan seorang senior, Bang Chazali Husni Situmorang, berjudul “Omnibus Law dan Politik Belah Bambu.”
Baca Juga
Berikutnya untuk masyarakat umum. Apakah pembentuk undang-undang melakukan meaningful participation guna mengetahui kebutuhan kesehatan mereka? Setidaknya ada 43 lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan dalam konferensi persnya di Kantor YLBH Indonesia, Menteng Jakarta Pusat, 13 Juni 2023, telah menjadi jawabannya. Mereka menolak RUU (OBL) Kesehatan ini karena belum mengupayakan partisipasi bermakna. Koalisi ini saja merasa belum diajak bicara, apalagi rakyat lain.
Meaningful participation dalam proses pembentukan undang-undang sangat penting sehingganya penulis menempatkannya sebagai batu uji pertama. Artinya bila rakyat tidak mengetahui keberadaan RUU tersebut, bagaimana ia dapat berbicara lebih lanjut soal isi, kepastian hukumnya, keadilan, dan keamanfaatannya.?
Dalam membentuk undang-undang, partisipasi publik (rakyat) secara bermakna sangat penting. Partisipasi bermakna menyangkut tiga prasyarat yang terkait dengan hak rakyat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Pertanyaan kedua, apakah dapat memberi kepastian hukum rakyat? Untuk pertanyaan ini penulis ingin mengutip Nota Keberatan dari Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk Undang-Undang Kesehatan Jiwa, No. 01/Koalisi NP Keswa/IV/2023, tertanggal 13 April 2023. Nota Keberatan tersebut ditujukan kepada Ketua Komisi IX DPR RI.
Pada butir (1) dan (2) dari Nota Keberatannya, berbunyi: “(1) RUU Kesehatan akan meniadakan UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Keberadaan UU Keswa merupakan bagian dari identitas negara yang penting di bidang kesehatan jiwa baik tingkat regional (ASEAN) maupun dunia (WHO). (2) Meleburkan UU Keswa dengan dalih penyederhanaan mengakibatkan hilangnya pengejawantahan pasal-pasal Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menunjukkan komitmen Negara untuk melindungi orang dengan disabilitas mental yang seringkali mendapatkan perlakuan salah dan penelantaran dari berbagai pihak.“
Pada butir (4), memuat kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan yang diajukan saat ini tidak mampu menyediakan payung yang jelas untuk mendorong dan menjamin aspek-aspek, di antaranya: “(a) Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa yang bermutu, mudah diakses, dan mendukung hak asasi manusia di fasilitas kesehatan (melalui rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, dan layanan kesehatan primer) maupun non kesehatan. (b) Ketersediaan (kuantitatif dan kualitatif) dan perlindungan secara hukum bagi penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik tenaga profesional kesehatan jiwa, tenaga profesional lain yang bergerak di aspek psikososial, maupun tenaga non-profesional terlatih secara memadai.” Dan seterusnya.
Pertanyaan ketiga, apakah dapat memberi keadilan kepada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis ingin mengutip tulisan seorang senior, Bang Chazali Husni Situmorang, berjudul “Omnibus Law dan Politik Belah Bambu.”
tulis komentar anda