RUU Kesehatan Panen Kritikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama Rancangan Undang-Undang ( RUU ) Kesehatan Omnibus Law berpotensi menghilangkan peran dan wadah organisasi profesi kesehatan yang selama ini sudah banyak membantu pemerintah, terutama dalam menghadapi Covid-19. Dia mengingatkan, 700 tenaga kesehatan menjadi korban pada masa pandemi karena menjadi garda terdepan.
“Keberadaan Organisasi Profesi kesehatan dan lain-lain, merupakan produk reformasi yang dimana merupakan mitra pemerintah sekaligus menjadi civil society dalam bidang terkait, di setiap kebijakan dan regulasi yang di ambil pemerintah serta DPR, minimnya keterlibatan serta masukan wadah organisasi kesehatan terkait dalam penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law mengakibatkan penolakan tenaga kesehatan atas RUU tersebut,” katanya dalam diskusi yang digelar Bidang Kesehatan DPP KNPI di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (14/6/2023).
Dia mengatakan, sikap pemerintah dalam RUU kesehatan selain adanya pasal yang tidak sesuai kepentingan masyarakat dan merugikan hak-hak tenaga kesehatan, juga menghilangkan peran organisasi profesi. Menurut dia, hal ini lazim terjadi pada era rezim sekarang.
“Pembelahan dan penghapusan banyak wadah organisasi di era ini terburuk setelah reformasi yang memberikan kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat, bahkan lebih buruk dari Orde Baru yang hanya menerapkan asas tunggal,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI dr. Adib Khumaidi menyampaikan bahwa RUU Kesehatan banyak merugikan hak-hak tenaga kesehatan. “Mereka sebagai stakeholder tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut, sehingga penyusunan RUU ini bersifat esklusif, berdasarkan kepentingan para oligarki kesehatan, dampaknya merugikan masyarakat dan dunia kesehatan Indonesia,” katanya dalam kesempata sama.
Dia menilai RUU tersebut sangat sentralistik, padahal saat ini sudah di era desentralisasi. “Dimudahkannya keterlibatan tenaga kesehatan asing ke depan di sektor kesehatan Indonesia justru berbalik dengan iklim berbagai negara di dunia yang sangat memberatkan keterlibatan tenaga kesehatan asing di negara mereka,” ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Konstitusi Indonesia Muhammad Joni mengungkapkan RUU ini cacat hukum. Kata dia, di Mahkamah Konstitusi (MK) keseluruhan UU Omnibus Law sudah dinyatakan cacat hukum bersyarat.
“Kita sudah menang 3 kali di sidang MK terkait UU Omnibus Law ini, sehingga kita sekarang berjalan dengan PERPU, dan dikembalikan ke DPR RI dengan tidak banyak perubahan dan minimnya keterlibatan Perwakilan masyarakat Indonesia, seperti dunia kampus dan organisasi-organisasi terkait,” ungkapnya.
Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia Agung Nugroho mengatakan, RUU Kesehatan ini sejak awal diajukan banyak terdapat kontroversi. Namun, kata dia, DPR dan pemerintah tetap memaksakan agar RUU ini bisa menjadi UU.
“Di tengah kita berhadapan dengan rezim bergaya kerajaan dan lebih mirip dengan gaya kepemimpinan Raja Amangkurat, di mana semua pihak yang menghalangi keinginan sang raja akan ditumpas kelor,” imbuhnya.
“Keberadaan Organisasi Profesi kesehatan dan lain-lain, merupakan produk reformasi yang dimana merupakan mitra pemerintah sekaligus menjadi civil society dalam bidang terkait, di setiap kebijakan dan regulasi yang di ambil pemerintah serta DPR, minimnya keterlibatan serta masukan wadah organisasi kesehatan terkait dalam penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law mengakibatkan penolakan tenaga kesehatan atas RUU tersebut,” katanya dalam diskusi yang digelar Bidang Kesehatan DPP KNPI di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (14/6/2023).
Dia mengatakan, sikap pemerintah dalam RUU kesehatan selain adanya pasal yang tidak sesuai kepentingan masyarakat dan merugikan hak-hak tenaga kesehatan, juga menghilangkan peran organisasi profesi. Menurut dia, hal ini lazim terjadi pada era rezim sekarang.
“Pembelahan dan penghapusan banyak wadah organisasi di era ini terburuk setelah reformasi yang memberikan kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat, bahkan lebih buruk dari Orde Baru yang hanya menerapkan asas tunggal,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI dr. Adib Khumaidi menyampaikan bahwa RUU Kesehatan banyak merugikan hak-hak tenaga kesehatan. “Mereka sebagai stakeholder tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut, sehingga penyusunan RUU ini bersifat esklusif, berdasarkan kepentingan para oligarki kesehatan, dampaknya merugikan masyarakat dan dunia kesehatan Indonesia,” katanya dalam kesempata sama.
Dia menilai RUU tersebut sangat sentralistik, padahal saat ini sudah di era desentralisasi. “Dimudahkannya keterlibatan tenaga kesehatan asing ke depan di sektor kesehatan Indonesia justru berbalik dengan iklim berbagai negara di dunia yang sangat memberatkan keterlibatan tenaga kesehatan asing di negara mereka,” ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Konstitusi Indonesia Muhammad Joni mengungkapkan RUU ini cacat hukum. Kata dia, di Mahkamah Konstitusi (MK) keseluruhan UU Omnibus Law sudah dinyatakan cacat hukum bersyarat.
“Kita sudah menang 3 kali di sidang MK terkait UU Omnibus Law ini, sehingga kita sekarang berjalan dengan PERPU, dan dikembalikan ke DPR RI dengan tidak banyak perubahan dan minimnya keterlibatan Perwakilan masyarakat Indonesia, seperti dunia kampus dan organisasi-organisasi terkait,” ungkapnya.
Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia Agung Nugroho mengatakan, RUU Kesehatan ini sejak awal diajukan banyak terdapat kontroversi. Namun, kata dia, DPR dan pemerintah tetap memaksakan agar RUU ini bisa menjadi UU.
“Di tengah kita berhadapan dengan rezim bergaya kerajaan dan lebih mirip dengan gaya kepemimpinan Raja Amangkurat, di mana semua pihak yang menghalangi keinginan sang raja akan ditumpas kelor,” imbuhnya.
(rca)