Iduladha, Antara Haji dan Ihram serta Perjalanan Kesetaraan Manusia
Kamis, 29 Juni 2023 - 13:14 WIB
Ia mencontohkan, ketika salat khususnya di hari raya Idulfitri, semua ingin menggunakan pakaian baru dengan merek yang sedang ramai di televisi, TikTok, atau Tokopedia.
Dengan sarung, baju koko atau kopiah yang dimiliki, maka dirinya ingin dikenali sebagai orang berkelas.
"Baju baru, sarung baru, kopiah baru dan sendal baru menjadi penanda bahwa kita berbeda. Kita bukan kaleng-kaleng, sementara yang pergi salat dengan perangkat tahun-tahun sebelumnya adalah kaleng-kaleng," tambahnya.
Islam memandang sama manusia kecuali derajat kepatuhannya kepada Allah. Menjalankan Haji menunjukkan agar menjadi orang yang berpikir bahwa semua sama, kecuali ketaatan kepada Yang Maha Suci, Allah SWT yang berbeda.
Ramdansyah menambahkan, menjalankan haji juga merupakan perjalanan sosial yang sarat makna. Padanya terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati.
Bahkan haji adalah merupakan upaya penerapan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis.
"Coba lihat tawaf mengelilingi Ka'bah. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi yakni, Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik," ujar Ketua Yayasan Al Mukarromah Koja, Jakarta Utara tersebut.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti larangan berhubungan seksual, mencabut pepohonan, menyiksa binatang, menumpahkan darah, bahkan dilarang membunuh atau menumpahkan darah.
Larangan lainnya yakni menggunakan wangi-wangian dan berhias yang bertujuan agar jemaah haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula nafsu birahi.
"Bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut dan kuku supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap kepada Tuhan sebagaimana apa adanya," tutup Ramdansyah.
Dengan sarung, baju koko atau kopiah yang dimiliki, maka dirinya ingin dikenali sebagai orang berkelas.
"Baju baru, sarung baru, kopiah baru dan sendal baru menjadi penanda bahwa kita berbeda. Kita bukan kaleng-kaleng, sementara yang pergi salat dengan perangkat tahun-tahun sebelumnya adalah kaleng-kaleng," tambahnya.
Islam memandang sama manusia kecuali derajat kepatuhannya kepada Allah. Menjalankan Haji menunjukkan agar menjadi orang yang berpikir bahwa semua sama, kecuali ketaatan kepada Yang Maha Suci, Allah SWT yang berbeda.
Ramdansyah menambahkan, menjalankan haji juga merupakan perjalanan sosial yang sarat makna. Padanya terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati.
Bahkan haji adalah merupakan upaya penerapan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis.
"Coba lihat tawaf mengelilingi Ka'bah. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi yakni, Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik," ujar Ketua Yayasan Al Mukarromah Koja, Jakarta Utara tersebut.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti larangan berhubungan seksual, mencabut pepohonan, menyiksa binatang, menumpahkan darah, bahkan dilarang membunuh atau menumpahkan darah.
Larangan lainnya yakni menggunakan wangi-wangian dan berhias yang bertujuan agar jemaah haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula nafsu birahi.
"Bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut dan kuku supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap kepada Tuhan sebagaimana apa adanya," tutup Ramdansyah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda