Problematika Stunting, Kerja Bersama
Selasa, 27 Juni 2023 - 11:10 WIB
Besarnya wilayah dan jumlah penduduk Indonesia dengan beragam kondisi geografisnya menjadi salah satu tantangan Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan stunting. Berdasarkan pembedahan data hasil SSGI tahun 2021 dan 2022, tidak semua wilayah mengalami penurunan prevalensi.
Di tengah adanya penurunan angka stunting secara agregat di Indonesia, namun faktanya kenaikan stunting masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Bappenas (2022) mencatat bahwa sepanjang 2015-2019, beberapa provinsi memiliki rata-rata pertumbuhan positif, yang menandakan adanya tren kenaikan prevalensi stunting.
Lima provinsi dengan rata-rata kenaikan prevalensi stunting tertinggi adalah Bengkulu (11,52%), Sumatera Selatan (7,73%), Maluku Utara (5,05%), Lampung (4,81%), Nusa Tenggara Barat (3,88%), dan Aceh (3,71%). Di sisi lain, lima provinsi lainnya dengan rata-rata penurunan prevalensi stunting tertinggi adalah Bali (6,73%), Kepulauan Riau (6,17%), Papua Barat (3,87%), Kalimantan Utara (3,56%), dan Kalimantan Selatan (3,43%).
Adapun hasil kajian Bappenas (2022) juga menunjukkan hasil bahwa terdapat kecenderungan kelompok kabupaten/kota dengan rata-rata prevalensi stunting tinggi, memiliki rata-rata IPM dan PDRB per kapita lebih rendah dan rata-rata persentase kemiskinan lebih tinggi. Stunting memang bukanlah suatu persoalan yang mudah ditanggulangi. Pasalnya, stunting memiliki banyak faktor penyebab.
Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) menunjukkan bahwa faktor dominan yang memiliki potensi besar menyebabkan balita stunting adalah (1) pendapatan keluarga, (2) kualitas gizi makanan, (3) pendidikan ibu, (3) lahir cukup bulan. Pendapatan keluarga yang rendah yang rendah berpeluang 34 kali lebih besar menyebabkan terjadinya stunting.
Selanjutnya, kualitas gizi makanan yang buruk berpeluang 21 kali lebih besar menyebabkan balita stunting. Di sisi lain, ibu yang memiliki pendidikan rendah memiliki peluang 3 kali lebih besar menyebabkan balita stunting daripada pendidikan ibu yang tinggi.
Di Indonesia, program pencegahan stunting merupakan salah satu program pemerintah yang mendapat perhatian serius dan menjadi prioritas nasional. Oleh karenanya, tak heran bila sejatinya pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi terkait intervensi stunting.
Di samping itu, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah memiliki program, baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang potensial untuk menurunkan stunting. Seiring dengan berbagai program yang telah disiapkan, dukungan pendanaan penurunan stunting pun telah diberikan dengan jumlah yang tak sedikit melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pada tahun 2022 pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung Program Percepatan Pencegahan Stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 Kementerian dan Lembaga sebesar Rp34,1 triliun dan Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp8,9 triliun serta DAK Nonfisik sebesar Rp1,8 triliun.
Di tengah adanya penurunan angka stunting secara agregat di Indonesia, namun faktanya kenaikan stunting masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Bappenas (2022) mencatat bahwa sepanjang 2015-2019, beberapa provinsi memiliki rata-rata pertumbuhan positif, yang menandakan adanya tren kenaikan prevalensi stunting.
Lima provinsi dengan rata-rata kenaikan prevalensi stunting tertinggi adalah Bengkulu (11,52%), Sumatera Selatan (7,73%), Maluku Utara (5,05%), Lampung (4,81%), Nusa Tenggara Barat (3,88%), dan Aceh (3,71%). Di sisi lain, lima provinsi lainnya dengan rata-rata penurunan prevalensi stunting tertinggi adalah Bali (6,73%), Kepulauan Riau (6,17%), Papua Barat (3,87%), Kalimantan Utara (3,56%), dan Kalimantan Selatan (3,43%).
Adapun hasil kajian Bappenas (2022) juga menunjukkan hasil bahwa terdapat kecenderungan kelompok kabupaten/kota dengan rata-rata prevalensi stunting tinggi, memiliki rata-rata IPM dan PDRB per kapita lebih rendah dan rata-rata persentase kemiskinan lebih tinggi. Stunting memang bukanlah suatu persoalan yang mudah ditanggulangi. Pasalnya, stunting memiliki banyak faktor penyebab.
Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) menunjukkan bahwa faktor dominan yang memiliki potensi besar menyebabkan balita stunting adalah (1) pendapatan keluarga, (2) kualitas gizi makanan, (3) pendidikan ibu, (3) lahir cukup bulan. Pendapatan keluarga yang rendah yang rendah berpeluang 34 kali lebih besar menyebabkan terjadinya stunting.
Selanjutnya, kualitas gizi makanan yang buruk berpeluang 21 kali lebih besar menyebabkan balita stunting. Di sisi lain, ibu yang memiliki pendidikan rendah memiliki peluang 3 kali lebih besar menyebabkan balita stunting daripada pendidikan ibu yang tinggi.
Solusi Stunting Bukan Anggaran Semata
Di Indonesia, program pencegahan stunting merupakan salah satu program pemerintah yang mendapat perhatian serius dan menjadi prioritas nasional. Oleh karenanya, tak heran bila sejatinya pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi terkait intervensi stunting.
Di samping itu, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah memiliki program, baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang potensial untuk menurunkan stunting. Seiring dengan berbagai program yang telah disiapkan, dukungan pendanaan penurunan stunting pun telah diberikan dengan jumlah yang tak sedikit melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pada tahun 2022 pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung Program Percepatan Pencegahan Stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 Kementerian dan Lembaga sebesar Rp34,1 triliun dan Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp8,9 triliun serta DAK Nonfisik sebesar Rp1,8 triliun.
Lihat Juga :
tulis komentar anda