Tangkal Ideologi Khilafah di Banten

Sabtu, 13 Mei 2023 - 17:08 WIB
M. Ishom El Saha, Ketua Rumah Moderasi UIN Banten. Foto/istimewa
M. Ishom El Saha, Ketua Rumah Moderasi UIN Banten

PERTEMUAN berkedok halalbihalal Khilafatul Muslimin yang rencananya akan diadakan besok Minggu, 14 Mei 2023 di kediaman Fathul Adzim Banten Lama, pantas ditolak masyarakat Banten. Khilafatul Muslimin atau disingkat KM adalah sebuah organisasi keagamaan Indonesia yang mengusung ideologi khilafah sebagaimana Hizbut Tahrir (HTI).

Di Banten terdapat banyak mantan simpatisan HTI yang bergabung dengan organisasi KM ini yang didirikan oleh Abdul Qadir Baraja pada 1997 dan berpusat di Lampung. Mereka para simpatisan ini harus disadarkan karena organisasi yang mereka ikuti itu, baik KM maupun HTI, bertentangan dengan ideologi Pancasila dan cita-cita leluhur Banten.



Para sultan dan pendiri Banten sejak dari awal ingin menjadikan Banten terdepan sesuai letaknya di ujung barat (kulon) pulau Jawa. Kulon berarti kiblat dengan pemahaman bahwa jika Banten selayaknya terdepan menjadi contoh bagi daerah lain. Kalau kita perhatikan bangunan peninggalan kota Banten Lama yang terdiri dari benteng-benteng besar, kanal-kanal besar, dan mercusuar tinggi yang juga difungsikan sebagai menara mesjid Banten Lama, maka di stulah tertanam visi pendahulu kita mengupayakan Banten menjadi daerah yang maju.

Sayangnya, gagasan visioner pendahulu Banten tidak diwarisi secara utuh oleh generasi sekarang. Bukan saripati gagasan yang kita warisi, melainkan hanya mewarisi buih (zabad, dalam bahasa Arab) dari saripati yang mengering. Dikatakan demikian, sebab pada dasarnya haluan orang Islam Banten adalah Ahlussunah wal jama'ah, tetapi ada banyak di antar mereka yang menjadi simpatisan HTI dan KM.

Berkilas dari peristiwa persidangan gugatan HTI di PTUN Jakarta Timur pada bulan Mei 2018, tampak sebuah ironi sekumpulan massa pendukung HTI yang membaca tahlil, dzikir, istighosah selayaknya kelompok santri. Usut-punya usut kelompok pendukung HTI yang melakukan istighosah di depan gedung PTUN Jakarta Timur adalah massa dan santri dari Banten. Hal ini tentunya sangat aneh karena ideologi khilafah beririsan dengan amalan masyarakat ahlussunah Wal jama'ah.

Keberadaan simpatisan HTI dan KM dari kalangan santri Banten dilatarbelakangi banyak faktor. Diantaranya, minimnya literasi mereka tentang siyasah syar'iyyah (politik Islam). Ketika mereka membaca teks yang membahas Umamah, Khalifah dan lain-lain dalam kitab-kitab fiqh di pesantren maka mereka memahaminya sama dengan imamah atau khilafah HTI dan KM. Mereka sangat tekstual dan kurang literasi tentang siyasah syar'iyyah. Wawasan mereka kurang terbuka karena pesantren-pesantren di Banten jarang yang mengadakan diskusi semacam bahsul Masail yang dibiasakan santri-santri lain di pulau Jawa.

Masalah lainnya adalah belum terbentuknya kultur berpikir kritis dan masih terkungkung dalam alam pikir mistik. Masalah sosial ekonomi yang menghimpit mereka, seperti pembangunan yang tidak merata, kesulitan ekonomi dan lapangan kerja, bagi mereka adalah disebabkan faktor mitos-teologis karena tidak menerapkan hukum Allah. Mereka berpikir karena pemerintah tidak menerapkan hukum Allah maka masyarakat Banten hidupnya terpuruk. Mereka belum berpikir bahwa keterpurukan ekonomi dan pembangunan adalah akibat sistem dan kultur yang dipertahankan mereka sendiri.

Khilafah pada dasarnya tidak akan merubah nasib masyarakat Banten. Khilafah adalah mimpi dan obsesi di bawah alam sadar yang terus dijejalkan kepada generasi muda masyarakat Banten. Mereka harus kita sadarkan dengan cara menolak segala haluan yang mengusung ideologi Khalifah di tanah jawara Banten.

Masyarakat Banten perlu dikenalkan kembali tentang budaya dan pemikiran visioner pendiri kerajaan Islam Banten. Para sultan Banten dahulu tidak pernah mendeklarasikan negara Islam atau khilafah. Ada bukti otentik berupa poto dan gambar masa kecil Sultan Abul Maali Ahmad (ayah Sultan Ageng Tirtayasa) ketika beliau dikhitan/disunat. Latar belakang gambar beliau ketika disunat tampak gambar patung Shiwa.

Hal ini menunjukkan bahwa kalau kesultanan Banten mengusung sistem khilafah maka pasti tidak ada arca Shiwa di dalam istana. Tapi, arca Shiwa masih dibiarkan ada, di mana hal ini menunjukkan bahwa Sultan Banten dari jaman Maulana Hasanuddin sampai Sultan Abul Maali masih mempertanyakan budaya masyarakat Sunda, khususnya.

Pengetahuan semacam ini semestinya dikenalkan kembali kepada masyarakat Banten, supaya mereka tidak melupakan sejarah dan tercerabut dari kultur-budaya yang telah dibangun pada pendahulu mereka.
(cip)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More