MK Tolak Gugatan Kivlan Zen terkait Kepemilikan Senpi dalam UU Darurat
Rabu, 22 Juli 2020 - 16:33 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materiil tentang kepemilikan senjata api (senpi) dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terhadap UUD 1945 yang diajukan mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, setelah beberapa kali persidangan sebelumnya maka MK berpendapat bahwa dalil-dalil yang disampaikan Kivlan Zen sebagai pemohon melalui kuasa hukumnya Tonin Tachta Singarimbun, dkk tidak dapat diterima.
Mahkamah memastikan, pemberlakuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah "Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (UUDRT 12/1951) tidak bertentangan dengan UUD 1945. (Baca juga: Soal Kasus Kivlan Zen, Jaksa Agung: Jujur, Saya Sudah Menolong)
Berikutnya kata hakim konstitusi Anwar, MK menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi pada Rabu (17/6/2020). RPH memutuskan, menolak permohonan uji materiil yang diajukan Kivlan Zein.
"Mengadili, menyatakan, permohonan pemohon tidak dapat diterima," tegas Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (22/7/2020).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat membeberkan, ada beberapa pertimbangan majelis hakim konstitusi menolak permohonan Kivlan Zen. Pertama, Kivlan Zen selaku pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik dan utuh kerugian konstitusional yang dialami Kivlan akibat dari pemberlakuan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat 12 Tahun 1951.
Kedua, dalam permohonan, Kivlan lebih cenderung memaparkan dan menguraikan kasus atau perkara yang menjerat Kivlan hingga disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bagi Mahkamah, uraian tersebut tidak relevan dengan permohonan perkara a quo.
"Kasus kongkrit yang disampaikan pemohon tidak ada relevansinya dengan norma yang diajukan. Seperti dugaan pembocoran isi berita acara pemeriksaan, pelanggaran hak pemohon dalam melakukan demonstrasi, hingga argumentasi belum disahkannya UU Darurat Nomor 12/Darurat/51 oleh DPR," tegas Arief.
Ketiga, pemohon tidak bisa menyampaikan argumentasi konkrit terkait pertentangan antara pasal yang diujikan dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu tutur hakim konstitusi Arief, dalam persidangan sebelumnya MK juga telah mengingatkan kepada pemohon agar memperbaiki permohonan.
Nyatanya setelah perbaikan disampaikan, MK tetap menemukan ketidakjelasan terkait dalil-dalil yang diajukan dan petitum yang dimohonkan. Karenanya, hakim konstitusi Arief memastikan, permohonan yang diajukan Kivlan dinyatakan kabur.
"Oleh karena permohonan kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan pemohon lebih lanjut," ucapnya.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, setelah beberapa kali persidangan sebelumnya maka MK berpendapat bahwa dalil-dalil yang disampaikan Kivlan Zen sebagai pemohon melalui kuasa hukumnya Tonin Tachta Singarimbun, dkk tidak dapat diterima.
Mahkamah memastikan, pemberlakuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah "Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (UUDRT 12/1951) tidak bertentangan dengan UUD 1945. (Baca juga: Soal Kasus Kivlan Zen, Jaksa Agung: Jujur, Saya Sudah Menolong)
Berikutnya kata hakim konstitusi Anwar, MK menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi pada Rabu (17/6/2020). RPH memutuskan, menolak permohonan uji materiil yang diajukan Kivlan Zein.
"Mengadili, menyatakan, permohonan pemohon tidak dapat diterima," tegas Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (22/7/2020).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat membeberkan, ada beberapa pertimbangan majelis hakim konstitusi menolak permohonan Kivlan Zen. Pertama, Kivlan Zen selaku pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik dan utuh kerugian konstitusional yang dialami Kivlan akibat dari pemberlakuan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat 12 Tahun 1951.
Kedua, dalam permohonan, Kivlan lebih cenderung memaparkan dan menguraikan kasus atau perkara yang menjerat Kivlan hingga disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bagi Mahkamah, uraian tersebut tidak relevan dengan permohonan perkara a quo.
"Kasus kongkrit yang disampaikan pemohon tidak ada relevansinya dengan norma yang diajukan. Seperti dugaan pembocoran isi berita acara pemeriksaan, pelanggaran hak pemohon dalam melakukan demonstrasi, hingga argumentasi belum disahkannya UU Darurat Nomor 12/Darurat/51 oleh DPR," tegas Arief.
Ketiga, pemohon tidak bisa menyampaikan argumentasi konkrit terkait pertentangan antara pasal yang diujikan dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu tutur hakim konstitusi Arief, dalam persidangan sebelumnya MK juga telah mengingatkan kepada pemohon agar memperbaiki permohonan.
Nyatanya setelah perbaikan disampaikan, MK tetap menemukan ketidakjelasan terkait dalil-dalil yang diajukan dan petitum yang dimohonkan. Karenanya, hakim konstitusi Arief memastikan, permohonan yang diajukan Kivlan dinyatakan kabur.
"Oleh karena permohonan kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan pemohon lebih lanjut," ucapnya.
(nbs)
tulis komentar anda