Pilkada Spesial Anak Presiden
Selasa, 21 Juli 2020 - 17:53 WIB
Tanpa mendahului kehendak Tuhan, pilkada Solo sejatinya sudah usai. Pemenangnya sudah terlihat Jelas, Gibran Rakabuming Raka. Parameternya mudah dideteksi. Pertama, semua partai hampir pasti mendukung putra mahkota. Hanya menyisakan PKS. Kedua, Solo merupakan basis merah PDIP. Pemilih tradisionalnya sangat kuat. Ketiga, penantangnya nyaris tak ada. PKS yang biasanya lantang tak bisa berbuat banyak. Selain tak ada figur kompetitif, kursinya juga tak cukup untuk mendaftar.
Gibran sangat potensial melawan kotak kosong. Makin melengkapi keistimewaannya sebagai anak presiden. Semua eksponen politik tiarap. Tunduk patuh di bawah jejaring gurita kekuasaan. Inilah wujud nyata bagaimana kekuasaan itu bekerja. Meski begitu, kemenangan yang didapat serba mudah biasanya tak meninggalkan legacy politik apapun. Tak ada dignity, tak ada nilai perjuangan, hambar serasa hadiah yang datang dari langit.
Kekuasaan politik menjadi nikmat jika didapat dengan cucuran keringat. Banting tulang memenangkan pertarungan. Bahkan harus berdarah-darah. Bukan dengan altar mewah yang sudah dibentangkan sedemikian rupa. Dalam konteks inilah kompetisi politik sangat penting. Sebab, hakikat politik adalah persaingan, bukan hadiah apalagi warisan.
Tentu saja sangat ironis. Makin maju demokrasi nyatanya tak berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Partai terus bertambah tapi miskin kader. Melawan ‘pendatang baru’ saja tak sanggup. Padahal parpol adalah tempat bersemainya calon pemimpin masa depan. Lalu apa yang bisa diharapkan dari demokrasi elektoral semacam ini. Kualitasnya makin memburuk. Menyedihkan memang.
Ke depan, pilkada Solo hanya menyisakan aktivitas politik seremonial. Semua tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran, masa kampanye, pencoblosan, hingga penetapan pemenang tak berarti lagi. Tak ada yang mesti ditunggu, tak lagi ada teka-teki. Sebab, aroma persaingan politik sudah selesai. Pemenangnya sudah ada dan nyata.
Dinasti Baru
Suka tak suka, majunya Gibran makin menambah daftar panjang catatan politik dinasti di Indonesia. Ini rekor karena baru pertama terjadi sepanjang politik tanah air. Anak presiden maju pilkada. Tak heran jika Jokowi belakangan dinilai berkontribusi atas tumbuh suburnya politik dinasti. Sesuatu yang dikecam kalangan aktivis dan pegiat demokrasi selama ini.
Publik melihat praktik politik dinasti masih sangat negatif. Banyak kasus politik dinasti hanya menyuburkan korupsi dan nepotisme. Banten dan Kutai di Kaltim menjadi bukti sahih buruknya kualitas kepemimpinan dinasti. Nyaris tak ada kepala daerah berprestasi yang lahir dari rahim dinasti politik. Persepsi publik terhadap dinasti mentok di dua hal. Yakni, korupsi dan kinerja buruk.
Nama-nama beken kepala daerah tidak lahir dari keluarga dinasti. Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Tri Rismaharini, Zulkieflimansyah, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan lainnya bukan keluarga dinasti. Tapi kerjanya layak diapresiasi. Populer, berdedikasi, dan sering menjadi diskursus publik. Sejauh ini, kepala daerah dari keluarga dinasti yang kerjanya moncer nyaris tak ada.
Secara umum, banyak orang berharap Jokowi bisa menjadi ‘elit pembeda’ dengan elit lainnya yang tidak menyertakan keluarga inti dalam pusaran politik elektoral. Tapi harapan tinggallah harapan, semua sudah terjadi. Jokowi menjadi bagian elit yang berada dalam aras diskursus politik dinasti saat ini. Maju pilkada menang hak politik demokratis semua orang. Namun, sekali lagi, stigma negatif serta trauma publik terhadap politik dinasi cukup kuat.
Gibran sangat potensial melawan kotak kosong. Makin melengkapi keistimewaannya sebagai anak presiden. Semua eksponen politik tiarap. Tunduk patuh di bawah jejaring gurita kekuasaan. Inilah wujud nyata bagaimana kekuasaan itu bekerja. Meski begitu, kemenangan yang didapat serba mudah biasanya tak meninggalkan legacy politik apapun. Tak ada dignity, tak ada nilai perjuangan, hambar serasa hadiah yang datang dari langit.
Kekuasaan politik menjadi nikmat jika didapat dengan cucuran keringat. Banting tulang memenangkan pertarungan. Bahkan harus berdarah-darah. Bukan dengan altar mewah yang sudah dibentangkan sedemikian rupa. Dalam konteks inilah kompetisi politik sangat penting. Sebab, hakikat politik adalah persaingan, bukan hadiah apalagi warisan.
Tentu saja sangat ironis. Makin maju demokrasi nyatanya tak berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Partai terus bertambah tapi miskin kader. Melawan ‘pendatang baru’ saja tak sanggup. Padahal parpol adalah tempat bersemainya calon pemimpin masa depan. Lalu apa yang bisa diharapkan dari demokrasi elektoral semacam ini. Kualitasnya makin memburuk. Menyedihkan memang.
Ke depan, pilkada Solo hanya menyisakan aktivitas politik seremonial. Semua tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran, masa kampanye, pencoblosan, hingga penetapan pemenang tak berarti lagi. Tak ada yang mesti ditunggu, tak lagi ada teka-teki. Sebab, aroma persaingan politik sudah selesai. Pemenangnya sudah ada dan nyata.
Dinasti Baru
Suka tak suka, majunya Gibran makin menambah daftar panjang catatan politik dinasti di Indonesia. Ini rekor karena baru pertama terjadi sepanjang politik tanah air. Anak presiden maju pilkada. Tak heran jika Jokowi belakangan dinilai berkontribusi atas tumbuh suburnya politik dinasti. Sesuatu yang dikecam kalangan aktivis dan pegiat demokrasi selama ini.
Publik melihat praktik politik dinasti masih sangat negatif. Banyak kasus politik dinasti hanya menyuburkan korupsi dan nepotisme. Banten dan Kutai di Kaltim menjadi bukti sahih buruknya kualitas kepemimpinan dinasti. Nyaris tak ada kepala daerah berprestasi yang lahir dari rahim dinasti politik. Persepsi publik terhadap dinasti mentok di dua hal. Yakni, korupsi dan kinerja buruk.
Nama-nama beken kepala daerah tidak lahir dari keluarga dinasti. Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Tri Rismaharini, Zulkieflimansyah, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan lainnya bukan keluarga dinasti. Tapi kerjanya layak diapresiasi. Populer, berdedikasi, dan sering menjadi diskursus publik. Sejauh ini, kepala daerah dari keluarga dinasti yang kerjanya moncer nyaris tak ada.
Secara umum, banyak orang berharap Jokowi bisa menjadi ‘elit pembeda’ dengan elit lainnya yang tidak menyertakan keluarga inti dalam pusaran politik elektoral. Tapi harapan tinggallah harapan, semua sudah terjadi. Jokowi menjadi bagian elit yang berada dalam aras diskursus politik dinasti saat ini. Maju pilkada menang hak politik demokratis semua orang. Namun, sekali lagi, stigma negatif serta trauma publik terhadap politik dinasi cukup kuat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda