Pilkada Spesial Anak Presiden
Selasa, 21 Juli 2020 - 17:53 WIB
Adi Prayitno
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
PILKADA Solo paling banyak membetot perhatian. Padahal ada 270 daerah yang pilkada serentak. Faktornya tentu karena anak presiden ikutan bertanding. Gaduh tak bisa dibendung. Jagat politik kembali bising meski wabah korona semakin ganas. Tudingan munculnya dinasti politik baru hingga pilkada rasa presiden mulai bermunculan. Peristiwa ini yang pertama dalam sejarah politik tanah air. Anak presiden yang sedang berkuasa turun ke gelanggang pilkada.
Tak ada kejutan ketika rekomendasi PDIP jatuh ke tangan Gibran Rakabuming Raka. Publik sudah bisa menerka kemana restu partai akan berlabuh. Tak perlu ahli politik menebak arah angin politik berhembus. Posisi Gibran sebagai anak presiden menjadi spesial (privilege) yang memudahkan dirinya mendapat rekomendasi partai.
Andai Gibran bukan anak presiden, mungkin PDIP sudah lama mengunci rapat pintu untuk kader lain. Segera menetapkan Achmad Purnomo maju di Kota Solo. Tak perlu ada akrobat politik seperti pertunjukan belakangan ini. Konstelasi politik internal partai berlogo moncong putih itu seketika berubah total. Keseriusan sang putra mahkota maju pilkada berbuah manis. Meski pintu pencalonan digembok rapat, namun manuver Gibran yang mendaftar lewat jalur DPD PDIP Jateng mendobrak keputusan yang sudah ada.
Posisi Gibran sebagai anak presiden Jokowi tentu saja memudahkan segalanya. Mudah mendapat rekomendasi partai sekaligus memuluskan pertarungan. Keistimewaan sebagai anak presiden menjadi pembeda dengan yang lain. Hal itu terungkap dari pernyataan Purnomo sesaat setelah rekom partai ke luar. Wakil walikota Solo ini sudah menduga jika rekomendasi partai bukan ke dirinya, tapi ke Gibran. Katanya, karena faktor usia dan anak presiden.
Purnomo kurang apa. Prestasi bagus. Totalitas dan loyalitasnya kepada partai tak ada bandingnya. Namanya diusulkan dari ranting level terbawah suara kader. Sosoknya mengakar dan bersahaja. Tapi ada daya, apes bagi Purnomo karena harus vis a vis dengan putra mahkota presiden. Tahu lawannya tak mungkin dikalahkan, Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Ia tahu persis siapa yang sedang dihadapi. Ya, anak orang nomor satu di republik ini.
Purnomo menghadapi kenyataan pahit nan getir. Keangkuhan hukum besi oligarki partai telah menghancurkan mimpi indahnya menjadi penguasa Solo. Arogansi kekuasaan memaksa pria yang mulai menua ini harus mengubur hasratnya lebih cepat. Inilah realitas politik sesungguhnya. Tak seindah yang dibayangkan. Dalam batas tertentu, politik macam ini menyebalkan.
Tanpa Lawan
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
PILKADA Solo paling banyak membetot perhatian. Padahal ada 270 daerah yang pilkada serentak. Faktornya tentu karena anak presiden ikutan bertanding. Gaduh tak bisa dibendung. Jagat politik kembali bising meski wabah korona semakin ganas. Tudingan munculnya dinasti politik baru hingga pilkada rasa presiden mulai bermunculan. Peristiwa ini yang pertama dalam sejarah politik tanah air. Anak presiden yang sedang berkuasa turun ke gelanggang pilkada.
Tak ada kejutan ketika rekomendasi PDIP jatuh ke tangan Gibran Rakabuming Raka. Publik sudah bisa menerka kemana restu partai akan berlabuh. Tak perlu ahli politik menebak arah angin politik berhembus. Posisi Gibran sebagai anak presiden menjadi spesial (privilege) yang memudahkan dirinya mendapat rekomendasi partai.
Andai Gibran bukan anak presiden, mungkin PDIP sudah lama mengunci rapat pintu untuk kader lain. Segera menetapkan Achmad Purnomo maju di Kota Solo. Tak perlu ada akrobat politik seperti pertunjukan belakangan ini. Konstelasi politik internal partai berlogo moncong putih itu seketika berubah total. Keseriusan sang putra mahkota maju pilkada berbuah manis. Meski pintu pencalonan digembok rapat, namun manuver Gibran yang mendaftar lewat jalur DPD PDIP Jateng mendobrak keputusan yang sudah ada.
Posisi Gibran sebagai anak presiden Jokowi tentu saja memudahkan segalanya. Mudah mendapat rekomendasi partai sekaligus memuluskan pertarungan. Keistimewaan sebagai anak presiden menjadi pembeda dengan yang lain. Hal itu terungkap dari pernyataan Purnomo sesaat setelah rekom partai ke luar. Wakil walikota Solo ini sudah menduga jika rekomendasi partai bukan ke dirinya, tapi ke Gibran. Katanya, karena faktor usia dan anak presiden.
Purnomo kurang apa. Prestasi bagus. Totalitas dan loyalitasnya kepada partai tak ada bandingnya. Namanya diusulkan dari ranting level terbawah suara kader. Sosoknya mengakar dan bersahaja. Tapi ada daya, apes bagi Purnomo karena harus vis a vis dengan putra mahkota presiden. Tahu lawannya tak mungkin dikalahkan, Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Ia tahu persis siapa yang sedang dihadapi. Ya, anak orang nomor satu di republik ini.
Purnomo menghadapi kenyataan pahit nan getir. Keangkuhan hukum besi oligarki partai telah menghancurkan mimpi indahnya menjadi penguasa Solo. Arogansi kekuasaan memaksa pria yang mulai menua ini harus mengubur hasratnya lebih cepat. Inilah realitas politik sesungguhnya. Tak seindah yang dibayangkan. Dalam batas tertentu, politik macam ini menyebalkan.
Tanpa Lawan
Lihat Juga :
tulis komentar anda