Pilkada Spesial Anak Presiden
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
PILKADA Solo paling banyak membetot perhatian. Padahal ada 270 daerah yang pilkada serentak. Faktornya tentu karena anak presiden ikutan bertanding. Gaduh tak bisa dibendung. Jagat politik kembali bising meski wabah korona semakin ganas. Tudingan munculnya dinasti politik baru hingga pilkada rasa presiden mulai bermunculan. Peristiwa ini yang pertama dalam sejarah politik tanah air. Anak presiden yang sedang berkuasa turun ke gelanggang pilkada.
Tak ada kejutan ketika rekomendasi PDIP jatuh ke tangan Gibran Rakabuming Raka. Publik sudah bisa menerka kemana restu partai akan berlabuh. Tak perlu ahli politik menebak arah angin politik berhembus. Posisi Gibran sebagai anak presiden menjadi spesial (privilege) yang memudahkan dirinya mendapat rekomendasi partai.
Andai Gibran bukan anak presiden, mungkin PDIP sudah lama mengunci rapat pintu untuk kader lain. Segera menetapkan Achmad Purnomo maju di Kota Solo. Tak perlu ada akrobat politik seperti pertunjukan belakangan ini. Konstelasi politik internal partai berlogo moncong putih itu seketika berubah total. Keseriusan sang putra mahkota maju pilkada berbuah manis. Meski pintu pencalonan digembok rapat, namun manuver Gibran yang mendaftar lewat jalur DPD PDIP Jateng mendobrak keputusan yang sudah ada.
Posisi Gibran sebagai anak presiden Jokowi tentu saja memudahkan segalanya. Mudah mendapat rekomendasi partai sekaligus memuluskan pertarungan. Keistimewaan sebagai anak presiden menjadi pembeda dengan yang lain. Hal itu terungkap dari pernyataan Purnomo sesaat setelah rekom partai ke luar. Wakil walikota Solo ini sudah menduga jika rekomendasi partai bukan ke dirinya, tapi ke Gibran. Katanya, karena faktor usia dan anak presiden.
Purnomo kurang apa. Prestasi bagus. Totalitas dan loyalitasnya kepada partai tak ada bandingnya. Namanya diusulkan dari ranting level terbawah suara kader. Sosoknya mengakar dan bersahaja. Tapi ada daya, apes bagi Purnomo karena harus vis a vis dengan putra mahkota presiden. Tahu lawannya tak mungkin dikalahkan, Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Ia tahu persis siapa yang sedang dihadapi. Ya, anak orang nomor satu di republik ini.
Purnomo menghadapi kenyataan pahit nan getir. Keangkuhan hukum besi oligarki partai telah menghancurkan mimpi indahnya menjadi penguasa Solo. Arogansi kekuasaan memaksa pria yang mulai menua ini harus mengubur hasratnya lebih cepat. Inilah realitas politik sesungguhnya. Tak seindah yang dibayangkan. Dalam batas tertentu, politik macam ini menyebalkan.
Tanpa Lawan
Tanpa mendahului kehendak Tuhan, pilkada Solo sejatinya sudah usai. Pemenangnya sudah terlihat Jelas, Gibran Rakabuming Raka. Parameternya mudah dideteksi. Pertama, semua partai hampir pasti mendukung putra mahkota. Hanya menyisakan PKS. Kedua, Solo merupakan basis merah PDIP. Pemilih tradisionalnya sangat kuat. Ketiga, penantangnya nyaris tak ada. PKS yang biasanya lantang tak bisa berbuat banyak. Selain tak ada figur kompetitif, kursinya juga tak cukup untuk mendaftar.
Gibran sangat potensial melawan kotak kosong. Makin melengkapi keistimewaannya sebagai anak presiden. Semua eksponen politik tiarap. Tunduk patuh di bawah jejaring gurita kekuasaan. Inilah wujud nyata bagaimana kekuasaan itu bekerja. Meski begitu, kemenangan yang didapat serba mudah biasanya tak meninggalkan legacy politik apapun. Tak ada dignity, tak ada nilai perjuangan, hambar serasa hadiah yang datang dari langit.
Kekuasaan politik menjadi nikmat jika didapat dengan cucuran keringat. Banting tulang memenangkan pertarungan. Bahkan harus berdarah-darah. Bukan dengan altar mewah yang sudah dibentangkan sedemikian rupa. Dalam konteks inilah kompetisi politik sangat penting. Sebab, hakikat politik adalah persaingan, bukan hadiah apalagi warisan.
Tentu saja sangat ironis. Makin maju demokrasi nyatanya tak berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Partai terus bertambah tapi miskin kader. Melawan ‘pendatang baru’ saja tak sanggup. Padahal parpol adalah tempat bersemainya calon pemimpin masa depan. Lalu apa yang bisa diharapkan dari demokrasi elektoral semacam ini. Kualitasnya makin memburuk. Menyedihkan memang.
Ke depan, pilkada Solo hanya menyisakan aktivitas politik seremonial. Semua tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran, masa kampanye, pencoblosan, hingga penetapan pemenang tak berarti lagi. Tak ada yang mesti ditunggu, tak lagi ada teka-teki. Sebab, aroma persaingan politik sudah selesai. Pemenangnya sudah ada dan nyata.
Dinasti Baru
Suka tak suka, majunya Gibran makin menambah daftar panjang catatan politik dinasti di Indonesia. Ini rekor karena baru pertama terjadi sepanjang politik tanah air. Anak presiden maju pilkada. Tak heran jika Jokowi belakangan dinilai berkontribusi atas tumbuh suburnya politik dinasti. Sesuatu yang dikecam kalangan aktivis dan pegiat demokrasi selama ini.
Publik melihat praktik politik dinasti masih sangat negatif. Banyak kasus politik dinasti hanya menyuburkan korupsi dan nepotisme. Banten dan Kutai di Kaltim menjadi bukti sahih buruknya kualitas kepemimpinan dinasti. Nyaris tak ada kepala daerah berprestasi yang lahir dari rahim dinasti politik. Persepsi publik terhadap dinasti mentok di dua hal. Yakni, korupsi dan kinerja buruk.
Nama-nama beken kepala daerah tidak lahir dari keluarga dinasti. Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Tri Rismaharini, Zulkieflimansyah, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan lainnya bukan keluarga dinasti. Tapi kerjanya layak diapresiasi. Populer, berdedikasi, dan sering menjadi diskursus publik. Sejauh ini, kepala daerah dari keluarga dinasti yang kerjanya moncer nyaris tak ada.
Secara umum, banyak orang berharap Jokowi bisa menjadi ‘elit pembeda’ dengan elit lainnya yang tidak menyertakan keluarga inti dalam pusaran politik elektoral. Tapi harapan tinggallah harapan, semua sudah terjadi. Jokowi menjadi bagian elit yang berada dalam aras diskursus politik dinasti saat ini. Maju pilkada menang hak politik demokratis semua orang. Namun, sekali lagi, stigma negatif serta trauma publik terhadap politik dinasi cukup kuat.
Pilkada serentak kali ini terasa berbeda. Sebab, menjadi berkah bagi suburnya politik dinasti di berbagai daerah. Dulu, cuma Banten dan Kutai di Kaltim yang paling banyak dipergunjingkan soal gurita politik dinasti. Kini, politik dinasti merata. Istana, ketua umum partai, dan menteri pun ramai-ramai ikut membangun politik dinasti. Selamat datang dinasti baru.
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik
PILKADA Solo paling banyak membetot perhatian. Padahal ada 270 daerah yang pilkada serentak. Faktornya tentu karena anak presiden ikutan bertanding. Gaduh tak bisa dibendung. Jagat politik kembali bising meski wabah korona semakin ganas. Tudingan munculnya dinasti politik baru hingga pilkada rasa presiden mulai bermunculan. Peristiwa ini yang pertama dalam sejarah politik tanah air. Anak presiden yang sedang berkuasa turun ke gelanggang pilkada.
Tak ada kejutan ketika rekomendasi PDIP jatuh ke tangan Gibran Rakabuming Raka. Publik sudah bisa menerka kemana restu partai akan berlabuh. Tak perlu ahli politik menebak arah angin politik berhembus. Posisi Gibran sebagai anak presiden menjadi spesial (privilege) yang memudahkan dirinya mendapat rekomendasi partai.
Andai Gibran bukan anak presiden, mungkin PDIP sudah lama mengunci rapat pintu untuk kader lain. Segera menetapkan Achmad Purnomo maju di Kota Solo. Tak perlu ada akrobat politik seperti pertunjukan belakangan ini. Konstelasi politik internal partai berlogo moncong putih itu seketika berubah total. Keseriusan sang putra mahkota maju pilkada berbuah manis. Meski pintu pencalonan digembok rapat, namun manuver Gibran yang mendaftar lewat jalur DPD PDIP Jateng mendobrak keputusan yang sudah ada.
Posisi Gibran sebagai anak presiden Jokowi tentu saja memudahkan segalanya. Mudah mendapat rekomendasi partai sekaligus memuluskan pertarungan. Keistimewaan sebagai anak presiden menjadi pembeda dengan yang lain. Hal itu terungkap dari pernyataan Purnomo sesaat setelah rekom partai ke luar. Wakil walikota Solo ini sudah menduga jika rekomendasi partai bukan ke dirinya, tapi ke Gibran. Katanya, karena faktor usia dan anak presiden.
Purnomo kurang apa. Prestasi bagus. Totalitas dan loyalitasnya kepada partai tak ada bandingnya. Namanya diusulkan dari ranting level terbawah suara kader. Sosoknya mengakar dan bersahaja. Tapi ada daya, apes bagi Purnomo karena harus vis a vis dengan putra mahkota presiden. Tahu lawannya tak mungkin dikalahkan, Purnomo sempat mengundurkan diri dari pencalonan. Ia tahu persis siapa yang sedang dihadapi. Ya, anak orang nomor satu di republik ini.
Purnomo menghadapi kenyataan pahit nan getir. Keangkuhan hukum besi oligarki partai telah menghancurkan mimpi indahnya menjadi penguasa Solo. Arogansi kekuasaan memaksa pria yang mulai menua ini harus mengubur hasratnya lebih cepat. Inilah realitas politik sesungguhnya. Tak seindah yang dibayangkan. Dalam batas tertentu, politik macam ini menyebalkan.
Tanpa Lawan
Tanpa mendahului kehendak Tuhan, pilkada Solo sejatinya sudah usai. Pemenangnya sudah terlihat Jelas, Gibran Rakabuming Raka. Parameternya mudah dideteksi. Pertama, semua partai hampir pasti mendukung putra mahkota. Hanya menyisakan PKS. Kedua, Solo merupakan basis merah PDIP. Pemilih tradisionalnya sangat kuat. Ketiga, penantangnya nyaris tak ada. PKS yang biasanya lantang tak bisa berbuat banyak. Selain tak ada figur kompetitif, kursinya juga tak cukup untuk mendaftar.
Gibran sangat potensial melawan kotak kosong. Makin melengkapi keistimewaannya sebagai anak presiden. Semua eksponen politik tiarap. Tunduk patuh di bawah jejaring gurita kekuasaan. Inilah wujud nyata bagaimana kekuasaan itu bekerja. Meski begitu, kemenangan yang didapat serba mudah biasanya tak meninggalkan legacy politik apapun. Tak ada dignity, tak ada nilai perjuangan, hambar serasa hadiah yang datang dari langit.
Kekuasaan politik menjadi nikmat jika didapat dengan cucuran keringat. Banting tulang memenangkan pertarungan. Bahkan harus berdarah-darah. Bukan dengan altar mewah yang sudah dibentangkan sedemikian rupa. Dalam konteks inilah kompetisi politik sangat penting. Sebab, hakikat politik adalah persaingan, bukan hadiah apalagi warisan.
Tentu saja sangat ironis. Makin maju demokrasi nyatanya tak berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Partai terus bertambah tapi miskin kader. Melawan ‘pendatang baru’ saja tak sanggup. Padahal parpol adalah tempat bersemainya calon pemimpin masa depan. Lalu apa yang bisa diharapkan dari demokrasi elektoral semacam ini. Kualitasnya makin memburuk. Menyedihkan memang.
Ke depan, pilkada Solo hanya menyisakan aktivitas politik seremonial. Semua tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran, masa kampanye, pencoblosan, hingga penetapan pemenang tak berarti lagi. Tak ada yang mesti ditunggu, tak lagi ada teka-teki. Sebab, aroma persaingan politik sudah selesai. Pemenangnya sudah ada dan nyata.
Dinasti Baru
Suka tak suka, majunya Gibran makin menambah daftar panjang catatan politik dinasti di Indonesia. Ini rekor karena baru pertama terjadi sepanjang politik tanah air. Anak presiden maju pilkada. Tak heran jika Jokowi belakangan dinilai berkontribusi atas tumbuh suburnya politik dinasti. Sesuatu yang dikecam kalangan aktivis dan pegiat demokrasi selama ini.
Publik melihat praktik politik dinasti masih sangat negatif. Banyak kasus politik dinasti hanya menyuburkan korupsi dan nepotisme. Banten dan Kutai di Kaltim menjadi bukti sahih buruknya kualitas kepemimpinan dinasti. Nyaris tak ada kepala daerah berprestasi yang lahir dari rahim dinasti politik. Persepsi publik terhadap dinasti mentok di dua hal. Yakni, korupsi dan kinerja buruk.
Nama-nama beken kepala daerah tidak lahir dari keluarga dinasti. Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Tri Rismaharini, Zulkieflimansyah, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, dan lainnya bukan keluarga dinasti. Tapi kerjanya layak diapresiasi. Populer, berdedikasi, dan sering menjadi diskursus publik. Sejauh ini, kepala daerah dari keluarga dinasti yang kerjanya moncer nyaris tak ada.
Secara umum, banyak orang berharap Jokowi bisa menjadi ‘elit pembeda’ dengan elit lainnya yang tidak menyertakan keluarga inti dalam pusaran politik elektoral. Tapi harapan tinggallah harapan, semua sudah terjadi. Jokowi menjadi bagian elit yang berada dalam aras diskursus politik dinasti saat ini. Maju pilkada menang hak politik demokratis semua orang. Namun, sekali lagi, stigma negatif serta trauma publik terhadap politik dinasi cukup kuat.
Pilkada serentak kali ini terasa berbeda. Sebab, menjadi berkah bagi suburnya politik dinasti di berbagai daerah. Dulu, cuma Banten dan Kutai di Kaltim yang paling banyak dipergunjingkan soal gurita politik dinasti. Kini, politik dinasti merata. Istana, ketua umum partai, dan menteri pun ramai-ramai ikut membangun politik dinasti. Selamat datang dinasti baru.
(ras)