Mendesak: Revisi UU Hak Cipta (1)
Selasa, 18 April 2023 - 12:53 WIB
Jadi, LMK ini badan nirlaba swasta. Bukam lembaga atau institusi negara. Hanya izin operasionalnya saja yang harus meminta kepada Menteri. Itu sebabnya saat ini ada beberapa LMK (tanpa “N” atau Nasional) yang eksis. LMK tanpa N ini hanya boleh managih Royalti dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dari anggotanya saja. Maka LMK bernama “Gembul Indonesia”, misalnya, hanya boleh menarik royalti dari anggota “Gembul Indonesia” itu saja. Dia tidak boleh menarik royalti dari anggota LMK “Soda Gembira”, misalnya. Sampai di sini soal LMK tanpa N sudah jelas atau harusnya jelas.
Nah, kebingungan mulai terjadi, terutama bagi masyarakat awam, ketika muncul Pasal 89. Dalam Ayat (1) disebutkan: “Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan “n” kecil--KA) yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: a. kepentingan Pencipta; dan b. Kepentingan pemilik Hak Terkait. Lalu Ayat (2) mengatakan: “Kedua Lembaga Manajemen Kolektif (masih tanpa N--KA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.
Pasal 89 Ayat (1) di atas menimbulkan dua pertanyaan. Pertanyaan pertama, apakah Pasal 89 tersebut sekadar ingin menegaskan bahwa ada 2 (dua) “jenis” LMK (tanpa N) yang akan dibentuk oleh swasta, yakni LMK yang mewakili kepentingan Pencipta; dan LMK yang mewakili kepentingan Hak Terkait?
Pertanyaan kedua apakah pasal 89 ini yang dimaksudkan sebagai landasan hukum (kewenangan atribusi) bagi Pemerintah untuk membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)? Kalau iya, kenapa tidak langsung saja disebutkan sebagai LMKN dengan “N” huruf besar. Dengan begitu akan lebih jelas bagi orang awam untuk membedakan dua lembaga yang ada (LMK dan LMKN). Kalau tidak, sebaiknya kementerian menunjukkan kepada publik, pasal mana dalam undang-undang yang memberi kewenangan atribusi pemerintah untuk membentuk LMKN.
Sebab, sebagai informasi, ada seorang ahli hukum hak cipta dalam buku karangannya dengan tegas mengatakan bahwa pasal itulah yang menjadi dasar pembentukan LMKN, yang menurut saya pandangan tersebut kurang tepat.
Menurut saya, Pasal 89 adalah sekadar untuk membedakan adanya 2 (dua) jenis LMK. Bukan sebagai dasar hukum pembentukan LMKN. Apalagi jika kita baca ayat berikutnya (Ayat 3) yang mewajibkan agar kedua LMK melakukan kordinasi dan menetapkan besaran Royalti sendiri. Pemerintah tinggal mengesahkan saja.
Nomenklatur Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tidak pernah disebut satu kali pun dalam UUHC. Lembaga ini baru muncul dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No. 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permnohonan dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam Pasal 7 Permenkumham tersebut disebutkan: “Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (dengan N –KA) Pencipta yang selanjutnya disebut LMK Nasional Pencipta adalah LMK yang merepresentasikan unsur LMK, pencipta, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak cipta untuk mengelola hak ekonomi Pencipta di bidang lagu dan/atau musik.” Kata kuncinya: “mengelola hak ekonomi Pencipta di bidang lagu dan/atau musik”. Pertanyaan yang muncul: Bukankah sudah ada LMK (tanpa N) yang diberi kewenangan untuk menarik dan mengelola royalti Pencipta di bidang lagu dan musik?
Kemudian dalam Angka (8) dikatakan: “Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait yang selanjutnya disebut LMK Nasional Hak Terkait adalah LMK yang merepresentasikan unsur LMK, pemilik Hak Terkait, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak cipta untuk mengelola hak ekonomi pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.” Demikian pula pertanyaan untuk angka (8) ini. Bukankah sudah ada LMK yang diberi kewenangan untuk menarik dan mengelola hak ekonomi pemilik Hak Terkait ini?
Masih di Permenkumhan No. 29 Tahun 2014, diuraikan lebih jauh mengenai LMKN ini, Dalam Bab III, Pasal 5, Ayat (1) dikatakan: (1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait.” Lalu dalam Ayat (2) dikatakan: “LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.”
Nah, kebingungan mulai terjadi, terutama bagi masyarakat awam, ketika muncul Pasal 89. Dalam Ayat (1) disebutkan: “Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan “n” kecil--KA) yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: a. kepentingan Pencipta; dan b. Kepentingan pemilik Hak Terkait. Lalu Ayat (2) mengatakan: “Kedua Lembaga Manajemen Kolektif (masih tanpa N--KA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.
Pasal 89 Ayat (1) di atas menimbulkan dua pertanyaan. Pertanyaan pertama, apakah Pasal 89 tersebut sekadar ingin menegaskan bahwa ada 2 (dua) “jenis” LMK (tanpa N) yang akan dibentuk oleh swasta, yakni LMK yang mewakili kepentingan Pencipta; dan LMK yang mewakili kepentingan Hak Terkait?
Pertanyaan kedua apakah pasal 89 ini yang dimaksudkan sebagai landasan hukum (kewenangan atribusi) bagi Pemerintah untuk membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)? Kalau iya, kenapa tidak langsung saja disebutkan sebagai LMKN dengan “N” huruf besar. Dengan begitu akan lebih jelas bagi orang awam untuk membedakan dua lembaga yang ada (LMK dan LMKN). Kalau tidak, sebaiknya kementerian menunjukkan kepada publik, pasal mana dalam undang-undang yang memberi kewenangan atribusi pemerintah untuk membentuk LMKN.
Sebab, sebagai informasi, ada seorang ahli hukum hak cipta dalam buku karangannya dengan tegas mengatakan bahwa pasal itulah yang menjadi dasar pembentukan LMKN, yang menurut saya pandangan tersebut kurang tepat.
Menurut saya, Pasal 89 adalah sekadar untuk membedakan adanya 2 (dua) jenis LMK. Bukan sebagai dasar hukum pembentukan LMKN. Apalagi jika kita baca ayat berikutnya (Ayat 3) yang mewajibkan agar kedua LMK melakukan kordinasi dan menetapkan besaran Royalti sendiri. Pemerintah tinggal mengesahkan saja.
Nomenklatur Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tidak pernah disebut satu kali pun dalam UUHC. Lembaga ini baru muncul dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No. 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permnohonan dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam Pasal 7 Permenkumham tersebut disebutkan: “Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (dengan N –KA) Pencipta yang selanjutnya disebut LMK Nasional Pencipta adalah LMK yang merepresentasikan unsur LMK, pencipta, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak cipta untuk mengelola hak ekonomi Pencipta di bidang lagu dan/atau musik.” Kata kuncinya: “mengelola hak ekonomi Pencipta di bidang lagu dan/atau musik”. Pertanyaan yang muncul: Bukankah sudah ada LMK (tanpa N) yang diberi kewenangan untuk menarik dan mengelola royalti Pencipta di bidang lagu dan musik?
Kemudian dalam Angka (8) dikatakan: “Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait yang selanjutnya disebut LMK Nasional Hak Terkait adalah LMK yang merepresentasikan unsur LMK, pemilik Hak Terkait, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak cipta untuk mengelola hak ekonomi pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.” Demikian pula pertanyaan untuk angka (8) ini. Bukankah sudah ada LMK yang diberi kewenangan untuk menarik dan mengelola hak ekonomi pemilik Hak Terkait ini?
Masih di Permenkumhan No. 29 Tahun 2014, diuraikan lebih jauh mengenai LMKN ini, Dalam Bab III, Pasal 5, Ayat (1) dikatakan: (1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait.” Lalu dalam Ayat (2) dikatakan: “LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.”
Lihat Juga :
tulis komentar anda