Puasa dan Keberagamaan Autentik
Sabtu, 25 Maret 2023 - 17:22 WIB
Ruang-ruang itu menjadi arena kontestasi di atas semangat komunalisme dalam satu aliran atau paham. Sementara substansi agama yang tertuju pada transendensi spiritualitas dan perbaikan akhlak kerapkali terabaikan begitu saja.
Inilah pemicu menguatnya komunalisme agama disertai pemahaman keagamaan yang tidak substansial, bahkan cenderung dangkal dan parsial. Beragama sebatas ritus yang penuh seremoni dan aksesoris. Dalam seremoni itu, elite agama dianggap sebagai pemegang otoritas kebenaran doktrinal yang menentukan rule of law dan rule of game beragama.
Umat menjadi gagap tatkala diseru menghadap Tuhannya secara personal karena pengalaman keberagamaannya terbiasa bergantung pada the others (elite agama, kumpulan jemaah) dan things (identitas, aksesoris). Ia tidak memiliki pengalaman keberagamaan autentik karena relasinya dengan Tuhan terhijab oleh simbol-simbol religi, kolektivitas, dan figur-figur yang diikutinya. Persis seperti disinyalir Thomas dan Pekerti (2003), Indonesian people are a society that embraces a culture of collectivism.
Dalam konteks inilah, kita perlu mengasah kembali spiritualitas keberagamaan personal. Penulis menggunakan istilah personal, bukan individual, agar tidak jumbuh dengan paham individualisme yang menjurus pada egoisme dan liberalisme beragama. Keberagamaan personal hendak menemukan kembali substansi beragama yang hakiki melalui penghayatan di balik ritual. Ia tidak menafikan aspek peribadatan formal (syariat). Namun, formalitas bukanlah tujuan melainkan sarana untuk sampai pada substansi.
Keberagamaan personal adalah upaya masing-masing pribadi melalui spiritualitasnya untuk menjalin relasi yang intens dengan Tuhan sehingga tercapai pengalaman beragama yang autentik. Proses ini dimulai dengan penyucian diri (tazkiah an-nafs) dari berbagai barrier yang menyelimuti hati, berupa sifat-sifat negatif (hawa-nafsu) dan ketergantungan pada liyan. Jika proses penyucian ini berhasil, ia akan merasakan kedamaian tatkala ruhani dekat dengan Tuhannya.
Keberagamaan personal menggeser orientasi beragama dari model ekstrinsik ke arah intrinsik (Allport & Ross, 1967). Orientasi intrinsik menempatkan agama sebagai penghayatan dan cari hidup yang bernilai bagi diri dan lingkungannya.
Sedangkan orientasi ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan. Orang dengan ciri orientasi ekstrinsik menggunakan agama sebagai penunjang motif-motif lain seperti kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri.
Pribadi yang mampu mencapai pengalaman keberagamaan autentik akan merasakan universalitas keilahian dalam memandang manusia. Ia tidak lagi terjebak pada sekat-sekat manusia secara teologis, antropologis, sosiologis, psikis, biologis dan aspek lainnya. Ia tidak akan mudah menyalahkan, apalagi mengkafirkan orang lain, hanya karena perbedaan paham.
Keberagamaan autentik termanifestasi dalam bentuk dorongan perbuatan ihsan pada semua manusia tanpa kecuali. Perbuatan baik atas dasar kemanusiaan yang tulus tanpa embel-embel karena agama, ras, suku, kelompok, atau aliran tertentu.
Sebagaimana Tuhan memberikan karunia pada seluruh ciptaan-Nya tanpa terkecuali. Sebab dalam pandangan Tuhan, manusia hakikatnya adalah umat yang satu, Tuhannya satu, seperti difirmankan dalam QS. Al-Anbiya’ (21):92 dan Al-Mu’minun (23):52.
Inilah pemicu menguatnya komunalisme agama disertai pemahaman keagamaan yang tidak substansial, bahkan cenderung dangkal dan parsial. Beragama sebatas ritus yang penuh seremoni dan aksesoris. Dalam seremoni itu, elite agama dianggap sebagai pemegang otoritas kebenaran doktrinal yang menentukan rule of law dan rule of game beragama.
Umat menjadi gagap tatkala diseru menghadap Tuhannya secara personal karena pengalaman keberagamaannya terbiasa bergantung pada the others (elite agama, kumpulan jemaah) dan things (identitas, aksesoris). Ia tidak memiliki pengalaman keberagamaan autentik karena relasinya dengan Tuhan terhijab oleh simbol-simbol religi, kolektivitas, dan figur-figur yang diikutinya. Persis seperti disinyalir Thomas dan Pekerti (2003), Indonesian people are a society that embraces a culture of collectivism.
Dalam konteks inilah, kita perlu mengasah kembali spiritualitas keberagamaan personal. Penulis menggunakan istilah personal, bukan individual, agar tidak jumbuh dengan paham individualisme yang menjurus pada egoisme dan liberalisme beragama. Keberagamaan personal hendak menemukan kembali substansi beragama yang hakiki melalui penghayatan di balik ritual. Ia tidak menafikan aspek peribadatan formal (syariat). Namun, formalitas bukanlah tujuan melainkan sarana untuk sampai pada substansi.
Keberagamaan personal adalah upaya masing-masing pribadi melalui spiritualitasnya untuk menjalin relasi yang intens dengan Tuhan sehingga tercapai pengalaman beragama yang autentik. Proses ini dimulai dengan penyucian diri (tazkiah an-nafs) dari berbagai barrier yang menyelimuti hati, berupa sifat-sifat negatif (hawa-nafsu) dan ketergantungan pada liyan. Jika proses penyucian ini berhasil, ia akan merasakan kedamaian tatkala ruhani dekat dengan Tuhannya.
Keberagamaan personal menggeser orientasi beragama dari model ekstrinsik ke arah intrinsik (Allport & Ross, 1967). Orientasi intrinsik menempatkan agama sebagai penghayatan dan cari hidup yang bernilai bagi diri dan lingkungannya.
Sedangkan orientasi ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan. Orang dengan ciri orientasi ekstrinsik menggunakan agama sebagai penunjang motif-motif lain seperti kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri.
Pribadi yang mampu mencapai pengalaman keberagamaan autentik akan merasakan universalitas keilahian dalam memandang manusia. Ia tidak lagi terjebak pada sekat-sekat manusia secara teologis, antropologis, sosiologis, psikis, biologis dan aspek lainnya. Ia tidak akan mudah menyalahkan, apalagi mengkafirkan orang lain, hanya karena perbedaan paham.
Keberagamaan autentik termanifestasi dalam bentuk dorongan perbuatan ihsan pada semua manusia tanpa kecuali. Perbuatan baik atas dasar kemanusiaan yang tulus tanpa embel-embel karena agama, ras, suku, kelompok, atau aliran tertentu.
Sebagaimana Tuhan memberikan karunia pada seluruh ciptaan-Nya tanpa terkecuali. Sebab dalam pandangan Tuhan, manusia hakikatnya adalah umat yang satu, Tuhannya satu, seperti difirmankan dalam QS. Al-Anbiya’ (21):92 dan Al-Mu’minun (23):52.
Lihat Juga :
tulis komentar anda