Reposisi Alquran dalam Kehidupan

Senin, 10 April 2023 - 09:15 WIB
loading...
Reposisi Alquran dalam Kehidupan
Mohammad Affan. FOTO/DOK SINDO
A A A
Mohammad Affan
Dosen STAI Darul Ulum, Kandidat Doktor Studi Islam UIN Yogyakarta

14 abad yang lalu, tepatnya 17 Ramadan sekitar tahun 610 M, Alquran pertama kali turun melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Lima ayat pertama dari Surat Al-‘Alaq disampaikan Nabi kepada istrinya, Khadijah, seusai bertemu Jibril di Gua Hira. Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai Nuzululqur’an.

Seturut dengan itu, secara berangsur-angsur ayat Alquran turun berdialog langsung dengan realitas selama kurang lebih 23 tahun. Alquran betul-betul hadir di tengah masyarakat (the living Alquran) dalam bentuk oral, mengenalkan nilai-nilai baru berbasis pada ketuhanan (akidah), mengajarkan tatacara peribadatan (syariat), mengatur cara hidup yang benar (muamalah), dan membangun mental yang bermoral (akhlak).

Butuh 20 tahun lebih bagi Muhammad dengan bermodal Alquran untuk mentransformasikan tatanan sosial masyarakat Arab dari struktur fanatisme kesukuan (asabiah) menjadi solidaritas keumatan (ukhuwah islamiah). Nabi juga berhasil mengubah mental bangsa Arab yang sebelumnya berkarakter jahiliah menjadi muslim bermoral.

Setelah Nabi meninggal, Alquran tidak lagi turun melalui lisan Muhammad. Para generasi penerus Nabi mengandalkan hafalan ayat-ayat Alquran yang telah mereka terima sebelumnya dan mencoba meniru sedekat mungkin segala perilaku Nabi sebagai role model dalam memecahkan setiap persoalan.

Selang tidak lama, kitab Alquran dikodifikasi dalam bentuk mushaf. Alquran tidak lagi ditransmisikan hanya secara lisan dari hafalan para sahabat pada generasi berikutnya, tapi juga melalui teks tertulis. Alquran masih tetap menjadi rujukan dan pedoman dalam memandu kehidupan, namun mulai bergeser dari the living Alquran menjadi the living text.

Jarak sejarah dari masa turunnya Alquran yang kian panjang, sementara persoalan kehidupan makin kompleks, memunculkan masalah konteks dan kontekstualisasi dalam memahami teks kitab suci ini. Pada tahap awal, para ulama menyusun perangkat ‘ulum Alquran yang berbasis bahasa Arab. Ulama juga menyusun syarat dan kriteria ketat orang yang boleh menafsirkan Alquran .

Memasuki masa modern, pada sarjana mulai mengembangkan berbagai teori dan metodologi untuk mendekati teks Alquran. Pengkaji teks Alquran tidak terbatas pada ilmuwan muslim, tapi terbuka lebar bagi siapa saja yang meminati Quranic Studies. Muncullah berbagai produk tafsir baru dengan metode dan corak pemahaman yang beragam.

Sebagai produk keilmuan, munculnya berbagai teori, metodologi, dan tafsir baru dalam Quranic Studies patut diapresiasi. Hanya saja, semua itu tampaknya tidak cukup memberikan kontribusi bagi penyelesaian persoalan kehidupan umat. Dengan kata lain, ada gap yang lebar antara misi Alquran yang hendak menjadi problem solver kehidupan (das sollen) dengan melimpahnya tafsir-tafsir baru atas teks Alquran (das sein).

Survei global yang dilakukan Ronald F. Inglehart, Direktur World Values Survey (WVS), menjadi indikator masalah kehidupan umat yang akut. Survei ini mencakup lebih dari 100 negara yang terdiri dari 90% populasi dunia sejak 1981-2020. Menurut survei ini, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim umumnya setidaknya menghadapi dua persoalan utama.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1151 seconds (0.1#10.140)