Puasa dan Keberagamaan Autentik

Sabtu, 25 Maret 2023 - 17:22 WIB
loading...
Puasa dan Keberagamaan...
Mohammad Affan (Foto; Ist)
A A A
Mohammad Affan
Dosen STAI Darul Ulum, Kandidat Doktor Studi Islam UIN Yogyakarta

SUDAH menjadi fenomena umum yang terus berulang, tiap memasuki awal Ramadan masjid-masjid dan musala penuh, pengeras suara ramai dengan tadarus Alquran, sedekah takjil melimpah ruah di berbagai tempat.

Sebaliknya, memasuki akhir Ramadan keramaain mulai bergeser ke mal dan pusat-pusat perbelanjaan, sedang masjid dan musala kian surut. Inilah indikasi penghayatan keagamaan yang tidak lebih sebatas ritual komunal.

Sejatinya, Tuhan telah mengistimewakan Ramadan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman “Sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku akan memberikan balasannya.” Hadis ini memaklumkan bahwa puasa sesungguhnya adalah ibadah yang sangat personal. Tuhan hendak mengajak hamba-hamba-Nya untuk mengakrabkan diri dengan-Nya melalui ibadah dan amal saleh.

Baca Juga: koran-sindo.com

Membangun keakraban dengan Tuhan sangat penting untuk mentransformasikan diri dari keberagamaan komunal menuju pengalaman personal yang autentik sekaligus substantif. Banyak ritual dan praktik keagamaan selama ini hanya menonjolkan aspek komunalnya, sementara dimensi personalitasnya terabaikan.

Sebuah potret keberagamaan yang cenderung hanya ikut-ikutan, menonjolkan identitas tertentu, bersifat transaksional (kalkulasi pahala), bahkan sebatas pencitraan. Keberagamaan komunal juga mengarah pada egoisme kelompok. Sementara penghayatan substansi ibadah tidak menjadi perhatian.

Ironisnya, pendidikan agama selama ini kian jarang menyentuh aspek substansi. Alih-alih, pendidikan agama justru makin kental dengan persoalan ritual dan komunal an sich. Ruang-ruang pendidikan agama baik di dunia nyata maupun maya ingar-bingar dengan pembahasan seputar halal-haram, sah-tidak sah.

Ruang-ruang itu menjadi arena kontestasi di atas semangat komunalisme dalam satu aliran atau paham. Sementara substansi agama yang tertuju pada transendensi spiritualitas dan perbaikan akhlak kerapkali terabaikan begitu saja.

Inilah pemicu menguatnya komunalisme agama disertai pemahaman keagamaan yang tidak substansial, bahkan cenderung dangkal dan parsial. Beragama sebatas ritus yang penuh seremoni dan aksesoris. Dalam seremoni itu, elite agama dianggap sebagai pemegang otoritas kebenaran doktrinal yang menentukan rule of law dan rule of game beragama.

Umat menjadi gagap tatkala diseru menghadap Tuhannya secara personal karena pengalaman keberagamaannya terbiasa bergantung pada the others (elite agama, kumpulan jemaah) dan things (identitas, aksesoris). Ia tidak memiliki pengalaman keberagamaan autentik karena relasinya dengan Tuhan terhijab oleh simbol-simbol religi, kolektivitas, dan figur-figur yang diikutinya. Persis seperti disinyalir Thomas dan Pekerti (2003), Indonesian people are a society that embraces a culture of collectivism.

Dalam konteks inilah, kita perlu mengasah kembali spiritualitas keberagamaan personal. Penulis menggunakan istilah personal, bukan individual, agar tidak jumbuh dengan paham individualisme yang menjurus pada egoisme dan liberalisme beragama. Keberagamaan personal hendak menemukan kembali substansi beragama yang hakiki melalui penghayatan di balik ritual. Ia tidak menafikan aspek peribadatan formal (syariat). Namun, formalitas bukanlah tujuan melainkan sarana untuk sampai pada substansi.

Keberagamaan personal adalah upaya masing-masing pribadi melalui spiritualitasnya untuk menjalin relasi yang intens dengan Tuhan sehingga tercapai pengalaman beragama yang autentik. Proses ini dimulai dengan penyucian diri (tazkiah an-nafs) dari berbagai barrier yang menyelimuti hati, berupa sifat-sifat negatif (hawa-nafsu) dan ketergantungan pada liyan. Jika proses penyucian ini berhasil, ia akan merasakan kedamaian tatkala ruhani dekat dengan Tuhannya.

Keberagamaan personal menggeser orientasi beragama dari model ekstrinsik ke arah intrinsik (Allport & Ross, 1967). Orientasi intrinsik menempatkan agama sebagai penghayatan dan cari hidup yang bernilai bagi diri dan lingkungannya.

Sedangkan orientasi ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan. Orang dengan ciri orientasi ekstrinsik menggunakan agama sebagai penunjang motif-motif lain seperti kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri.

Pribadi yang mampu mencapai pengalaman keberagamaan autentik akan merasakan universalitas keilahian dalam memandang manusia. Ia tidak lagi terjebak pada sekat-sekat manusia secara teologis, antropologis, sosiologis, psikis, biologis dan aspek lainnya. Ia tidak akan mudah menyalahkan, apalagi mengkafirkan orang lain, hanya karena perbedaan paham.

Keberagamaan autentik termanifestasi dalam bentuk dorongan perbuatan ihsan pada semua manusia tanpa kecuali. Perbuatan baik atas dasar kemanusiaan yang tulus tanpa embel-embel karena agama, ras, suku, kelompok, atau aliran tertentu.

Sebagaimana Tuhan memberikan karunia pada seluruh ciptaan-Nya tanpa terkecuali. Sebab dalam pandangan Tuhan, manusia hakikatnya adalah umat yang satu, Tuhannya satu, seperti difirmankan dalam QS. Al-Anbiya’ (21):92 dan Al-Mu’minun (23):52.

Ramadan adalah momentum tepat untuk mengasah dan menguatkan kembali keberagamaan autentik melalui puasa. Proses penyucian diri melalui puasa akan mengekstrak spiritualitas yang telah lama terbelenggu komunalisme dan materialisme.

Kedekatan dengan Tuhan melalui muraqabah akan memberikan kekuatan pengendalian diri (self control) dari berbagai perilaku negatif. Dengan demikian, misi puasa untuk mentransformasikan diri menjadi orang bertakwa dan menggapai kefitrahan hendaknya tercapai.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2480 seconds (0.1#10.140)