Tiada Hari Tanpa (Urusan) Sepakbola
Rabu, 22 Februari 2023 - 05:57 WIB
Telah banyak dibuktikan di Eropa terutama, sepakbola memang sudah menjadi sebentuk industri raksasa yang menggurita mengikat kepentingan umum dan kesejahteraan kolektif yang sistemik. Bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak dan menjadi instrumen perwujudan aspirasi tuntutan publik. Artinya, sepakbola tidak saja memiliki keseksian secara ekonomi, tetapi juga pasti secara politis.
Transformasi Sepakbola Nasional
Pertama, transformasi sepakbola berarti mengubah sudut pandang tata kelola sepakbola nasional. Dalam catatan sejarah kepengurusan PSSI acapkali mengalami dinamika yang “selalu memanas”.
Lembaran perjalanan pada 2011 misalnya, kala itu PSSI lebih nyaman kiprahnya memosisikan diri sebagai anak FIFA, mengalami persoalan tata kelola internal, dan muncul dualisme kepengurusan. Seiring dengan semakin terdegrasinya prestasi sepakbola nasional, PSSI harus dibekukan oleh pemerintah.
Kedua, PSSI tak boleh secara eksklusif dalam menangani sepakbola nasional. Di luar langkah memfokusan kinerja PSSI, terdapat peran pentahelix sepakbola yang wajib dimainkan perannya dalam proses transformasi.
Dari aspek regulasi, pemerintah sebagai helix birokrat telah menunjukkan langkah yang sangat serius, terutama dengan telah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Sebuah instruksi dari Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara, bahwa sepakbola kini menjadi urusan setidaknya 12 Kementerian, Kapolri, 34 gubernur, dan sekitar 500-an bupati/wali kota seluruh Indonesia. Sebuah “formula” sangat dahsyat berenergi untuk mengakselerasi sepakbola di masa depan.
Ketiga, menghindari pengulangan trauma buruk sejarah kepengurusan PSSI. Trauma sejarah kepengurusan PSSI terutama terjadi pada 2014-2015. Perseteruan terburuk dalam sejarah saat itu adalah "perang besar" antara waketum PSSI dengan pemerintah.
PSSI sebagai induk organisasi cabang olahraga (IOCO) merasa memiliki posisi yang sangat kuat dan bersikukuh sebagai "anak kandung FIFA". PSSI menganggap pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan internal PSSI. Pemerintah saat itu membentuk tim normalisasasi yakni Tim Sembilan dan terpaksa membekukan PSSI.
Kata kuncinya adalah disharmonisasi merupakan virus berbahaya yang harus ditangkal dalam transformasi PSSI ke depan. Apakah kesediaan Menpora jadi waketum PSSI kali ini terdorong oleh trauma sejarah itu? Kita tidak tahu persis yang sebenarnya, karena berbicara transformasi sepakbola memang sah-sah saja jika penetrasi politis ditempuh, apalagi sekarang ini memang tahun politik.
Transformasi Sepakbola Nasional
Pertama, transformasi sepakbola berarti mengubah sudut pandang tata kelola sepakbola nasional. Dalam catatan sejarah kepengurusan PSSI acapkali mengalami dinamika yang “selalu memanas”.
Lembaran perjalanan pada 2011 misalnya, kala itu PSSI lebih nyaman kiprahnya memosisikan diri sebagai anak FIFA, mengalami persoalan tata kelola internal, dan muncul dualisme kepengurusan. Seiring dengan semakin terdegrasinya prestasi sepakbola nasional, PSSI harus dibekukan oleh pemerintah.
Kedua, PSSI tak boleh secara eksklusif dalam menangani sepakbola nasional. Di luar langkah memfokusan kinerja PSSI, terdapat peran pentahelix sepakbola yang wajib dimainkan perannya dalam proses transformasi.
Dari aspek regulasi, pemerintah sebagai helix birokrat telah menunjukkan langkah yang sangat serius, terutama dengan telah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Sebuah instruksi dari Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara, bahwa sepakbola kini menjadi urusan setidaknya 12 Kementerian, Kapolri, 34 gubernur, dan sekitar 500-an bupati/wali kota seluruh Indonesia. Sebuah “formula” sangat dahsyat berenergi untuk mengakselerasi sepakbola di masa depan.
Ketiga, menghindari pengulangan trauma buruk sejarah kepengurusan PSSI. Trauma sejarah kepengurusan PSSI terutama terjadi pada 2014-2015. Perseteruan terburuk dalam sejarah saat itu adalah "perang besar" antara waketum PSSI dengan pemerintah.
PSSI sebagai induk organisasi cabang olahraga (IOCO) merasa memiliki posisi yang sangat kuat dan bersikukuh sebagai "anak kandung FIFA". PSSI menganggap pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan internal PSSI. Pemerintah saat itu membentuk tim normalisasasi yakni Tim Sembilan dan terpaksa membekukan PSSI.
Kata kuncinya adalah disharmonisasi merupakan virus berbahaya yang harus ditangkal dalam transformasi PSSI ke depan. Apakah kesediaan Menpora jadi waketum PSSI kali ini terdorong oleh trauma sejarah itu? Kita tidak tahu persis yang sebenarnya, karena berbicara transformasi sepakbola memang sah-sah saja jika penetrasi politis ditempuh, apalagi sekarang ini memang tahun politik.
tulis komentar anda