Aji Mumpung Anak Mahkota di Pilkada
Kamis, 16 Juli 2020 - 08:04 WIB
Dari Sinjunjung, Sumatera Barat, bakal maju Benny Dwifa Yuswir putra mahkota Bupati Yuswir Arifin. Di Jawa Tengah, adik ipar Gubernur Ganjar Pranowo Zaini Makarim Suprayitno dipastikan akan maju sebagai calon Wakil Bupati Purbalingga. Pria yang akrab disapa Jeni itu akan berpasangan dengan calon bupati Muhammad Sulhan Fauzi. Keduanya telah mengantongi rekomendasi dari PKB. “Pasangan Muhammad Sulhan Fauzi dan Zaini Makarim Supriyatno merupakan kader dari ormas Nahdlatul Ulama (NU). Saya yakin, keduanya akan menyatukan warga NU dalam satu gerbong besar menuju kemenangan dalam Pilkada 2020,” ujar Ketua DPW PKB Jawa Tengah KH Yusuf Chuldori.
Pengaruh Feodalisme
Pakar politik dari Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam menuturkan, fenomena politik dinasti dan politik kekerabatan dalam struktur kekuasaan masyarakat memang masih menjadi tren di Indonesia. Budaya patronase memang menjadi tradisi dan sulit dihindari di ruang-ruang politik. “Apalagi jika itu dilakukan secara absah melalui penguasaan struktur lembaga formal, maka bisa dipastikan akan dominan dan bertambah kuat,” kata Surokim, kemarin. (Baca juga: AS Tidak Tutup Kemungkinan Sanksi China Terkait Laut China Selatan)
Ia mengatakan, efektivitas politik dinasti lebih masif ketika para tokoh patron yang menjadi pengendali utama dalam kekerabatan itu masih beredar dan eksis sehingga sulit dihindari adanya kemunculan kuasa oligarki. “Ya, itu tantangan sulit untuk dieliminasi. Karena struktur makro kekuasaan kita memang masih mementingkan aspek kekerabatan daripada merit sistem,” ucapnya.
Peneliti Surabaya Survey Center itu menambahkan, struktur masyarakat kita masih dominan dari kelas bawah tradisional dan emosional jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat kelas menengah rasional. Dalam struktur masyarakat yang dominan kelas bawah seperti itu, sulit menghindari munculnya fenomena politik dinasti. “Apalagi jika dipelihara terus menerus oleh elite, di sisi lain struktur politik arus bawah kita masih anut grubyuk. Rasanya sulit berubah dalam jangka pendek ini. Karena dalam konteks masyarakat kritis yang didominasi oleh struktur kelas menengah otonom yang bisa mengubah situasi itu,” katanya.
Semua ini memang terasa sulit ketika struktur masyarakat di Indonesia masih ada relasi. Jalannya komunikasi bisa simbiosis mutualisme di antara aktor-aktor yang melanggengkan struktur kuasa itu. Realitas ini harus diterima sebagai fakta politik negara berkembang. Pasalnya, regulasi di Indonesia juga belum progresif untuk bisa menghadangnya. “Saya pikir, masih sulit sepanjang perangkat regulasi tidak progresif membatasi hal itu dalam format politik kita,” katanya. (Lihat videonya: Viral, Janda di Bangka Belitung Jual Rumah Beserta Pemilik)
Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Budaya Universitas Trunojoyo itu menambahkan, harus ada regulasi progresif yang bisa membatasi dan mengeliminasi politik dinasti serta kekerabatan dalam struktur politik di Indonesia. Dengan begitu, ada regenerasi politik yang membawa kesetaraan dan fungsional untuk tumbuhnya partisipasi masif publik, serta tidak menjadi dominasi beberapa kelompok orang saja. Jika tidak dibatasi oleh regulasi yang progresif, katanya, akan potensial membuat struktur politik oligarki masif. Semua itu jelas disfungsional terhadap demokrasi politik kekuasaan di berbagai daerah di Indonesia. (Aan Haryono)
Pengaruh Feodalisme
Pakar politik dari Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam menuturkan, fenomena politik dinasti dan politik kekerabatan dalam struktur kekuasaan masyarakat memang masih menjadi tren di Indonesia. Budaya patronase memang menjadi tradisi dan sulit dihindari di ruang-ruang politik. “Apalagi jika itu dilakukan secara absah melalui penguasaan struktur lembaga formal, maka bisa dipastikan akan dominan dan bertambah kuat,” kata Surokim, kemarin. (Baca juga: AS Tidak Tutup Kemungkinan Sanksi China Terkait Laut China Selatan)
Ia mengatakan, efektivitas politik dinasti lebih masif ketika para tokoh patron yang menjadi pengendali utama dalam kekerabatan itu masih beredar dan eksis sehingga sulit dihindari adanya kemunculan kuasa oligarki. “Ya, itu tantangan sulit untuk dieliminasi. Karena struktur makro kekuasaan kita memang masih mementingkan aspek kekerabatan daripada merit sistem,” ucapnya.
Peneliti Surabaya Survey Center itu menambahkan, struktur masyarakat kita masih dominan dari kelas bawah tradisional dan emosional jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat kelas menengah rasional. Dalam struktur masyarakat yang dominan kelas bawah seperti itu, sulit menghindari munculnya fenomena politik dinasti. “Apalagi jika dipelihara terus menerus oleh elite, di sisi lain struktur politik arus bawah kita masih anut grubyuk. Rasanya sulit berubah dalam jangka pendek ini. Karena dalam konteks masyarakat kritis yang didominasi oleh struktur kelas menengah otonom yang bisa mengubah situasi itu,” katanya.
Semua ini memang terasa sulit ketika struktur masyarakat di Indonesia masih ada relasi. Jalannya komunikasi bisa simbiosis mutualisme di antara aktor-aktor yang melanggengkan struktur kuasa itu. Realitas ini harus diterima sebagai fakta politik negara berkembang. Pasalnya, regulasi di Indonesia juga belum progresif untuk bisa menghadangnya. “Saya pikir, masih sulit sepanjang perangkat regulasi tidak progresif membatasi hal itu dalam format politik kita,” katanya. (Lihat videonya: Viral, Janda di Bangka Belitung Jual Rumah Beserta Pemilik)
Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Budaya Universitas Trunojoyo itu menambahkan, harus ada regulasi progresif yang bisa membatasi dan mengeliminasi politik dinasti serta kekerabatan dalam struktur politik di Indonesia. Dengan begitu, ada regenerasi politik yang membawa kesetaraan dan fungsional untuk tumbuhnya partisipasi masif publik, serta tidak menjadi dominasi beberapa kelompok orang saja. Jika tidak dibatasi oleh regulasi yang progresif, katanya, akan potensial membuat struktur politik oligarki masif. Semua itu jelas disfungsional terhadap demokrasi politik kekuasaan di berbagai daerah di Indonesia. (Aan Haryono)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda