Mendeteksi Sinyal Pemulihan Ekonomi
Selasa, 14 Februari 2023 - 11:36 WIB
Dalam koridor kebijakan suku bunga ke depan BI sebaiknya lebih hati-hati. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi global yang masih penuh dengan teka-teki dan tren inflasi domestik yang terus membaik.
Dilansir dari data BPS terbaru, inflasi diJanuari 2023 tercatat 5,28% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan Desember 2022 yakni 5,51% (yoy). Tren ini terus mengalami penurunan secara perlahan, terutama pada kelompok inflasi administred price yang turun menjadi 12,28% (yoy).
Secara teoritis, inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disumbang dari sisi penawaran, sehingga suku bunga sebetulnya tidak terlalu banyak memberikan kontribusi pada penurunan inflasi.
Mengacu koridor berpikir ekonomi Post Keynesian, bank sentral pada galibnya memiliki pengendalian yang terbatas dalam perekonomian. Lantaran, proses penciptaan uang dipercayai sebagai sesuatu yang endogen, sehingga permintaan kredit lebih banyak ditentukan oleh intermediasi perbankan.
Di sini, bank sentral dipercaya hanya mampu mengatur suku bunga jangka pendek untuk mengakomodasi permintaan cadangan minimum perbankan saja. Selain itu, inflasi tidak dipercayai sebagai fenomena moneter, tetapi konflik antara majikan dengan buruh yang berujung pada markup harga.
Di satu sisi, majikan ingin laba yang setinggi-tingginya, sedangkan buruh ingin upah yang setinggi-tingginya.Alhasil, dinamika upah menjadi faktor yang seharusnya diperhatikan dalam pengendalian inflasi. Kenaikan suku bunga acuan, bila tidak hati-hati, akan menaikkan biaya produksi yang nantinya diterjemahkan menjadi kenaikan harga.
Alih-alih menaikkan suku bunga yang bisa menggerus permintaan dan berpotensi menimbulkan cost-push inflation.
BI sebaiknya mempertahankan suku bunga acuannya untuk saat ini. Bila suku bunga dikerek kembali, ada risiko kenaikan cost of fund dan disrupsi pada permintaan kredit yang nantinya dapat berimplikasi buruk pada permintaan agregat.
Dilansir dari survei perbankan Triwulan IV 2022, penyaluran kredit yang tercermin dari SBT kredit baru masih tumbuh positif sebesar 86,3% walau lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 88,1%.
Dalam aras mitigasi resesi, lebih aman bila suku bunga tidak berubah atau dilonggarkan demi menjaga gairah ekonomi dalam negeri. Bisa jadi, kenaikan suku bunga yang terus berlanjut justru memberikan sinyalemen negatif pada kondisi ekonomi Indonesia ke depan dan menurunkan rangsangan investasi yang seyogianya mulai kembali digenjot oleh pemerintah.
Dilansir dari data BPS terbaru, inflasi diJanuari 2023 tercatat 5,28% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan Desember 2022 yakni 5,51% (yoy). Tren ini terus mengalami penurunan secara perlahan, terutama pada kelompok inflasi administred price yang turun menjadi 12,28% (yoy).
Secara teoritis, inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disumbang dari sisi penawaran, sehingga suku bunga sebetulnya tidak terlalu banyak memberikan kontribusi pada penurunan inflasi.
Mengacu koridor berpikir ekonomi Post Keynesian, bank sentral pada galibnya memiliki pengendalian yang terbatas dalam perekonomian. Lantaran, proses penciptaan uang dipercayai sebagai sesuatu yang endogen, sehingga permintaan kredit lebih banyak ditentukan oleh intermediasi perbankan.
Di sini, bank sentral dipercaya hanya mampu mengatur suku bunga jangka pendek untuk mengakomodasi permintaan cadangan minimum perbankan saja. Selain itu, inflasi tidak dipercayai sebagai fenomena moneter, tetapi konflik antara majikan dengan buruh yang berujung pada markup harga.
Di satu sisi, majikan ingin laba yang setinggi-tingginya, sedangkan buruh ingin upah yang setinggi-tingginya.Alhasil, dinamika upah menjadi faktor yang seharusnya diperhatikan dalam pengendalian inflasi. Kenaikan suku bunga acuan, bila tidak hati-hati, akan menaikkan biaya produksi yang nantinya diterjemahkan menjadi kenaikan harga.
Alih-alih menaikkan suku bunga yang bisa menggerus permintaan dan berpotensi menimbulkan cost-push inflation.
BI sebaiknya mempertahankan suku bunga acuannya untuk saat ini. Bila suku bunga dikerek kembali, ada risiko kenaikan cost of fund dan disrupsi pada permintaan kredit yang nantinya dapat berimplikasi buruk pada permintaan agregat.
Dilansir dari survei perbankan Triwulan IV 2022, penyaluran kredit yang tercermin dari SBT kredit baru masih tumbuh positif sebesar 86,3% walau lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 88,1%.
Dalam aras mitigasi resesi, lebih aman bila suku bunga tidak berubah atau dilonggarkan demi menjaga gairah ekonomi dalam negeri. Bisa jadi, kenaikan suku bunga yang terus berlanjut justru memberikan sinyalemen negatif pada kondisi ekonomi Indonesia ke depan dan menurunkan rangsangan investasi yang seyogianya mulai kembali digenjot oleh pemerintah.
tulis komentar anda