Mendeteksi Sinyal Pemulihan Ekonomi

Selasa, 14 Februari 2023 - 11:36 WIB
loading...
Mendeteksi Sinyal Pemulihan...
Adhitya Wardhono (Foto: Ist)
A A A
Adhitya Wardhono
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly) Universitas Jember

KINERJA makroekonomi 2022 yang telah dirilis menunjukkan, perekonomian Indonesia terus tumbuh secara flamboyan. Ini tidak terlepas dari beragam upaya bauran kebijakan yang diguyurkan oleh pemerintah, satu di antaranya adalah pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Berbagai sektor khususnya transportasi serta pergudangan berhasil menghantarkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju titik tertingginya di triwulan IV.

Baca Juga: koran-sindo.com

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menginfokan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat. Triwulan IV 2022 tercatat tetap tinggi yakni 5,01% (yoy), di tengah melambatnya tren pertumbuhan ekonomi global. Perkembangan ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 tercatat 5,31% (yoy). Kondisi ini didukung oleh inflasi yang terkendali dan nilai tukar yang mulai kembali stabil.

Naiknya cadangan devisa dan surplus neraca transaksi berjalan juga membuat pertahanan ekonomi makin kuat. Untuk cadangan devisa per Januari 2023 naik USD139,4 miliar jika dibandingkan dengan posisi Desember 2022 yang hanya USD137,2 miliar.

Beberapa alasan peningkatannya dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa. Ini bermakna cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dan juga sudah berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Meski demikian kita masih mengandalkan determinan permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi sebagai penopang pertumbuhan.

Tradisi tahunan yang patut dicermati pada Maret mendatang adalah periode Ramadan dan Idul Fitri, karena potensi tingginya dinamika aktivitas bisnis di kurun waktu tersebut biasanya akan terjadi.

Namun, ada beberapa faktor yang perlu diwaspadai seperti transisi pada siklus commodity bust yang disinyalir oleh harga komoditas yang mulai terpangkas akibat resesi global, mahalnya komoditas pangan akibat rantai pasok global yang masih terdisrupsi, dan ketidakpastian kebijakan moneter di negara maju.

Kedalaman interkoneksi ekonomi global ini tentu sedikit banyak berpengaruh pada performa ekonomi ke depan.

Mengelola Suku Bunga Acuan
Langkah BI dalam menaikkan suku bunga pada Januari merupakan pilihan masuk akal. Pasalnya, kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed, walau tidak seagresif sebelumnya, sedikit banyak tentu memberikan tekanan pada nilai tukar yang baru saja stabil.

Selain itu, ada pula gonjang-ganjing resesi yang dikhawatirkan memicu capital outflow, sehingga ada benarnya suku bunga dinaikkan demi menjaga pesona rupiah dan imbal hasil yang menarik.

Menjelang akhir Januari lalu, rupiah berhasil mencetak angka Rp14.965 per dolar AS di pasar spot. Kendati inflasi di Amerika Serikat yang terus melandai, The Fed masih mengerek suku bunganya sebesar 25 bps di Februari. Alhasil, rupiah sempat tertekan kembali pada 7 Februari sebesar Rp 15.148 per dolar AS.

Pada 15 Desember 2022, tercatat capital outflow sebesar Rp132,69 triliun. Namun, pasar SBN masih kompetitif tercermin dari tingkat imbal hasil SBN tenor 10 tahun sebesar 6,86%. Angka ini masih lebih besar dibandingkan yield obligasi Amerika Serikat dengan tenor 10 tahun yang hanya 4,59%.

Dengan demikian, spread yang diberikan dari obligasi Indonesia masih menggiurkan dan menarik di mata investor. Sinyalemen ini membuat tren pertumbuhan ekonomi masih berangsur naik, tentu juga memberi rasa aman bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali mengerek suku bunga.

Menekan Inflasi
Dalam koridor kebijakan suku bunga ke depan BI sebaiknya lebih hati-hati. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi global yang masih penuh dengan teka-teki dan tren inflasi domestik yang terus membaik.

Dilansir dari data BPS terbaru, inflasi diJanuari 2023 tercatat 5,28% (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan Desember 2022 yakni 5,51% (yoy). Tren ini terus mengalami penurunan secara perlahan, terutama pada kelompok inflasi administred price yang turun menjadi 12,28% (yoy).

Secara teoritis, inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disumbang dari sisi penawaran, sehingga suku bunga sebetulnya tidak terlalu banyak memberikan kontribusi pada penurunan inflasi.

Mengacu koridor berpikir ekonomi Post Keynesian, bank sentral pada galibnya memiliki pengendalian yang terbatas dalam perekonomian. Lantaran, proses penciptaan uang dipercayai sebagai sesuatu yang endogen, sehingga permintaan kredit lebih banyak ditentukan oleh intermediasi perbankan.

Di sini, bank sentral dipercaya hanya mampu mengatur suku bunga jangka pendek untuk mengakomodasi permintaan cadangan minimum perbankan saja. Selain itu, inflasi tidak dipercayai sebagai fenomena moneter, tetapi konflik antara majikan dengan buruh yang berujung pada markup harga.

Di satu sisi, majikan ingin laba yang setinggi-tingginya, sedangkan buruh ingin upah yang setinggi-tingginya.Alhasil, dinamika upah menjadi faktor yang seharusnya diperhatikan dalam pengendalian inflasi. Kenaikan suku bunga acuan, bila tidak hati-hati, akan menaikkan biaya produksi yang nantinya diterjemahkan menjadi kenaikan harga.

Alih-alih menaikkan suku bunga yang bisa menggerus permintaan dan berpotensi menimbulkan cost-push inflation.

BI sebaiknya mempertahankan suku bunga acuannya untuk saat ini. Bila suku bunga dikerek kembali, ada risiko kenaikan cost of fund dan disrupsi pada permintaan kredit yang nantinya dapat berimplikasi buruk pada permintaan agregat.

Dilansir dari survei perbankan Triwulan IV 2022, penyaluran kredit yang tercermin dari SBT kredit baru masih tumbuh positif sebesar 86,3% walau lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 88,1%.

Dalam aras mitigasi resesi, lebih aman bila suku bunga tidak berubah atau dilonggarkan demi menjaga gairah ekonomi dalam negeri. Bisa jadi, kenaikan suku bunga yang terus berlanjut justru memberikan sinyalemen negatif pada kondisi ekonomi Indonesia ke depan dan menurunkan rangsangan investasi yang seyogianya mulai kembali digenjot oleh pemerintah.

Akhirnya menghela sinyal dan determinan besaran makro ekonomi dengan seksama bisa menuju pada sasaran pertumbuhan ekonomi meski dengan strategi yang konservatif.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1811 seconds (0.1#10.140)