Diplomasi HAM Indonesia

Jum'at, 20 Januari 2023 - 16:50 WIB
Ada sejumlah konvensi yang memiliki risiko politik jika diratifikasi seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (CERD). Dibanding pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, HAM dianggap bukan prioritas saat itu. Bahkan, Indonesia banyak mengalami kejadian pelanggaran HAM berat. Akibatnya, kita sempat menerima berbagai tekanan bahkan sanksi internasional.

Di era Reformasi, HAM tidak lagi dianggap sebagai ancaman namun sesuatu yang sesuai dengan amanat UUD 1945, Pancasila, nilai social, budaya dan adat kita. Pandangan yang dominan bahkan menyebut standar HAM sangat diperlukan dan penting bagi pembangunan Indonesia di segala bidang. Ia juga penting untuk mempertahankan dan meningkatkan martabat, posisi, dan peran internasional Indonesia.

Pandangan itu terus berkembang hingga kini. Meskipun demikian, Indonesia tetap mempertahankan pandangan partikularisme bahwa dalam penerapannya, tetap disesuaikan dengan ideologi negara serta mempertimbangkan kekhasan nilai dan budaya bangsa.

Dampak Positif

Dalam kaitan itu, Indonesia kemudian melakukan serangkaian langkah penting pembangunan HAM. Pertama, lebih akomodatif, aktif, dan proaktif mangadopsi standar HAM internasional. Semua standar HAM internasional kita terima. Kedua, membentuk dan memperkuat lembaga yang berkaitan dengan penghormatan, perlindungan penindakan, dan pemenuhan, dan pemajuan HAM.

UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, Komnas Perempuan (1998), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2002), dan lainnya. Ketiga, berusaha mengimplementasikan berbagai peraturan perundangan HAM dalam kehidupan nyata baik melalui pengadilan pelanggaran HAM hingga kebijakan pemenuhan hak warga negara di berbagai bidang.

Langkah- langkah tersebut berdampak positif sehingga pada Januari 2006 kita mendapat pengakuan internasional sebagai negara demokratis setelah juga sukses menggelar pemilihan umum 2004 dan pemilihan kepala daerah 2005. Oleh karenanya, pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu diyakini juga berdampak positif pada kepentingan nasional, ke dalam dan luar negeri. Ke dalam, proses itu sangat diharap mampu membantu memutus siklus impunitas selama puluhan tahun, memajukan pemulihan nasional dan memperkuat demokrasi Indonesia.

Ke luar, citra positif kita akan makin kuat sehingga mempererat hubungan dan memajukan kepentingan. Sebagai terobosan penting ia menuai pujian dunia. Liz Throssell menyebutnya sebagai langkah menggembirakan menuju keadilan kepada para korban. Hanz Peter Schmitz dan Kathryn Sikkink (2013) menyebut bahwa penerimaan HAM oleh negara bisa dilakukan melalui jalur pemaksaan, proses resmi di tingkat domestik, penerimaan pasif, hingga penerimaan aktif. Indonesia lebih menunjukkan penerimaan aktif.

Selain itu, ia juga menjadi pengingat bagi kita bahwa mata dunia ada dan terus mengamati, membaca. Selain perbaikan ke dalam, diplomasi HAM Indonesia juga telah merambah ke tingkat global dengan menjadi anggota Dewan HAM PBB empat kali. Yakni pada periode 2006-2007 selaku founding member, terpilih kembali untuk masa jabatan 2007-2010, 2011-2014, 2015-2017, dan 2020-2022.

Menkopolhukam Mahfud MD telah menyatakan terima kasih pemerintah kepada semua pihak yang telah memahami dan memberi dukungan kepada pemerintah dalam membentuk Tim PPHAM tanpa menegasikan penyelesaian yudisial melalui Kepres No 17/22. Presiden Jokowi secara resmi juga akan terus menindaklanjuti (16/1), dan tidak sekadar retorika politik.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More