Pemimpin Nasional untuk Bangsa, Bukan Partai, apalagi Keluarga

Selasa, 05 Mei 2015 - 08:24 WIB
Pemimpin Nasional untuk...
Pemimpin Nasional untuk Bangsa, Bukan Partai, apalagi Keluarga
A A A
Hendrik Kawilarang Luntungan
Wakil Sekjen DPP Partai Perindo, Alumnus The Australian National University


Pemimpin dan teladan, dua hal yang makin langka di negeri ini. Pemimpin berdiri di atas semua golongan, mengutamakan kepentingan semua lapis warganya.

Tak lagi memikirkan kepentingan partai, jabatan, kelompok, apalagi keluarganya. Tindakan seorang pemimpin semestinya menunjukkan prinsip-prinsip tersebut. Pemimpin dibebankan sejarah untuk memberi kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya rakyat yang dipimpinnya. Kemaslahatan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Bukan kemaslahatan partainya, bukan pula keluarganya.

Karena itu, tindakan seorang pemimpin– yang genuine leader–otomatis akan menjadi teladan di masyarakat. Pemimpin lahir dan hadir dari kebutuhan bangsanya yang selalu mendengar dan merasakan hati nurani bangsa. UUD 1945 dan Pancasila menjadi landasan pikir dan tindakannya. Sejarah Indonesia banyak memberi contoh. Soekarno, M Hatta, Sutan Sjahrir, Sam Ratulangi (Gerungan Saul Samuel Jozias Ratulangi) dan masih banyak lagi tokoh Indonesia tempo ”doeloe” yang menunjukkan kualitas sebagai pemimpin.

Impian para pemimpin pendiri bangsa itu sederhana, Indonesia berdaulat dan mandiri. Tanah Air yang amat kaya dan indah ini harus menjadi sarana serta dimanfaatkan semaksimal mungkin secara bijaksana bagi sepenuhnya kemakmuran bangsa. Soal ini, jelas-jelas tertuang dalam landasan negara kita. Kini 15 tahun setelah Reformasi Mei 1998, Indonesia malah makin jauh dari kemandirian dan kedaulatan. Apa sebab? Banyak faktor.

Salah satunya karena sedikitnya pemimpin yang muncul. Kebebasan politik malah menyebabkan sendi-sendi kedaulatan bangsa rapuh. Selain itu, intervensi asing bertopeng globalisasi sedikit demi sedikit namun pasti, menggerogoti banyak aset sumber daya alam negeri ini. Pada 2010 Badan Intelijen Negara (BIN) menemukan sedikitnya 76 rancangan undangundang yang diintervensi asing. Inti dari intervensi ini adalah upaya meliberalisasi sektorsektor vital di Indonesia.

Contohnya, Undang-Undang (UU) Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, serta Sumber Daya Air. Semua usulan UU itu berasal dari pemerintah. Sangat disesalkan mengapa pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan asing dalam UU tersebut. Padahal, pemerintah telah berpengalaman selama 67 tahun kemerdekaan. Intervensi kepentingan asing ini dilakukan dengan cara yang cukup lembut, bukan dengan kekuatan militer atau embargo ekonomi.

Wakil-wakil asing itu cukup menjadi konsultan pengambil kebijakan. Mereka kemudian memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Maka itu, mereka bisa menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan UU di bidang-bidang tersebut.

Bank Dunia antara lain terlibat sebagai konsultan dalam sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, dan pembangunan berbasis masyarakat. Akibat keterlibatan itu, pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional, UU Kesehatan, UU Kelistrikan, dan UU Sumber Daya Air.

Dalam UU Sumber Daya Air, penyusupan kepentingan asing adalah dalam bentuk pemberian izin kepada pihak asing untuk menjadi operator atau pengelola. Pemberian izin tersebut secara otomatis telah mematikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di bidang kelistrikan juga hampir sama. Pada UU Kelistrikan, Bank Dunia mengarahkan pengelolaan listrik oleh pihak swasta atau dikelola masing-masing daerah.

Asing juga menyusupkan kepentingannya dalam UU BUMN dan UU Penanaman Modal Asing. Dengan menerima bantuan IMF, secara otomatis pemerintah pasti harus mengikuti ketentuan IMF. Misalnya, privatisasi BUMN dan membuka kesempatan penanaman modal asing di usaha strategis yang seharusnya dikuasai negara. Intinya, menyusupnya kepentingan asing pada sejumlah UU telah merusak tatanan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Meski berbeda lembaga, syarat- syarat yang diajukan lembaga internasional itu secara substansi sama.

Syaratnya, membuka pasar bebas, tidak boleh ada proteksi, pemain lokal dirugikan, free competitions, dan membuat standardisasi yang membebani petani dan rakyat kecil. Akibat intervensi itu, telah dirasakan masyarakat saat ini. Contohnya, dalam industri perbankan dan pertanian. Di industri perbankan, aset bank nasional masih miskin. Pada bidang pertanian, nasib petani makin rentan. Kini kita menjadi sangat tergantung pada impor akibat liberalisasi yang dilakukan.

Dari berbagai literatur seperti karya Anthony Sampson, Joseph E Stiglitz, Noam Chomsky, Sritua Arief, Sri Edi Swasono, dan lainnya, suatu perekonomian disebut terjajah ditunjukkan dalam lima indikator. Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi, dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur.

Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimanasumbersumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hakhak ekonomi sosial-budaya.

Akibat liberalisasi ini, kedaulatan energi kita pun tergadai. Hampir 95% sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia dikuasai korporasi asing. Chevron menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia yang mengambil porsi 44%. Berikutnya Total E&P (10%), Conoco Phillips (8%), Medco Energy (6%), China National Offshore Oil Corporation (5%), China National Petroleum Corporations (2%), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masingnya 1%.

Sedangkan Pertamina yang notabene asli Indonesia hanya mendapatkan porsi 16%. Kenyataan ini sangat bertentangan denganamanat UUD1945. Energi bukan lagi komoditas strategis bangsa, melainkantelahmenjadi komoditas komersial semata. Jikasektorenergi menjadikomoditaskomersial, ituberartisemua orang boleh menguasainya. Undang-Undang Penanaman Modal dan anak peraturannya mengatakan, sektor migas dapat dikuasai asing 95%. Sedangkan sektor tambang 90%.

Padahal, jika porsi energi yang begitu besar dititipkan ke perusahaan BUMN yang jelasjelas milik negara, BUMN dipastikan mampu mengambil perannya menjadi pilar utama sektor perekonomian. Kehancuran kedaulatan energi bersumber dari Undang-Undang Migas yang merugikan negara secara finansial. Hasil survei teknologi global menunjukkan, dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia.

Di Oceania, pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste. Para pengamat ekonomi dan energi meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mengganti UU Migas yang masih berlaku saat ini. Jika pada era Orde Baru liberalisasi perekonomian masih malu-malu, setelah reformasi Konsensus Washington malah menjadi sumber utama inspirasi kebijakan. Kini kita tak patut meratap jika ternyata kita memang belum berdaulat secara ekonomi.

Yang dibutuhkan justru kerja sama masyarakat guna mengembalikan modal sosial yang telah diluluhlantakkan. Itu berarti kita membutuhkan pemimpin yang menjalankan komitmennya menegakkan UUD 1945, baik pemimpin-pemimpin di legislatif maupun eksekutif.

(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0747 seconds (0.1#10.140)