Efek Putusan Hakim Sarpin dan Dampak Putusan MK
A
A
A
Belakangan ini telah terjadi kejutan signifikan dalam lapangan hukum pidana di Indonesia. Pertama, putusan hakim Sarpin dalam perkara praperadilan Budi Gunawan (BG) yang telah mengabulkan permohonan dan menetapkan KPK tidak berwenang memeriksa BG.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk objek praperadilan. Putusan MK tersebut telah membuktikan bahwa pertimbangan hakim Sarpin dalam memutus perkara praperadilan BG adalah benar adanya.
Bahkan putusan tersebut dikuatkan dengan pertimbangan yang sama yaitu demi menjaga dan memelihara marwah Bab XA UUD 1945 bagi setiap orang di dalam wilayah hukum RI. Saya sependapat sejak awal dengan hakim Sarpin. Alasannya karena pertimbangan praktik peradilan pidana sejak proses penyidikan sampai pada proses pemeriksaan di sidang peradilan sering terjadi ekses penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang di balik tafsir subjektif penyidik.
Sehingga, hak dan martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dirampas begitu saja tanpa ada pertimbangan kemanusiaan sedikit pun hanya dengan dalih telah dipenuhinya unsur dua alat bukti permulaan yang cukup. Pada kondisi tersebut tak ada kesempatan untuk menguji tafsir subjektif penyidik sejak awal sehingga seorang tersangka dalam praktik sering telah mengalami ”kematian perdata” tanpa daya dan upaya untuk memulihkannya.
Bahkan telah terjadi stigmatisasi dan labelisasi sebagai koruptor yang tidak memiliki hak sosial dan ekonomi lagi di hadapan masyarakat. Tak tanggung- tanggung salah satu pimpinan KPK pernah menyatakan bahwa tersangka koruptor adalah sampah masyarakat dan ada tokoh masyarakat/intelektual yang mengklaim mayat seorang koruptor tidak perlu disembahyangkan. Audzubillahi Minzalik! ***
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dihormati karena ia lembaga di dalam Konstitusi sekaligus menentukan arah politik perundang-undangan yang telah diuji dan diselaraskan dengan Konstitusi UUD 1945.
Putusan MK tersebut melengkapi putusan hakim Sarpin yang mengembalikan marwah pembentukan UU KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 yang mengedepankan prinsip ”due process of law”, bukan ”the law of oppression” dengan tujuan menjaga dan memelihara hak asasi setiap tersangka/ terdakwa dan terpidana dari kekuasaan yang represif yang dapat terjadi karena kekuasaan yang eksesif atau melampaui batas wewenang atau mencampuradukkanwewenang atau bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 UU AP 2014).
Ketika warga negara berhadapan dengan kekuasaan (negara) maka yang harus dikedepankan bukan hanya kepentingan negara an sich, melainkan keseimbangan dan kesetaraan yang berdasarkan prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas dalam memperlakukan setiap perkara pidana tanpa dilatarbelakangi oleh status sosial, etnis, agama, dan politik golongan.
Efek putusan hakim Sarpin dan putusan MK dalam proses beracara perkara pidana adalah setiap langkah penyidik harus sangat ekstrahati-hati dalam menetapkan perubahan status setiap orang menjadi tersangka, dalam melaksanakan penggeledahan dan penyitaan, dan juga keempat alasan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP.
Negara modern termasuk di negara penganut sistem hukum common law, hak asasi tersangka sangat dilindungi terlepas dari keluhan penyidik yang selalu beranggapan sebagai hambatan penegakan hukum. Bahkan sanksi pelanggaran kode etik dan pemecatan menanti terhadap penyidik yang telah melanggar hakhak asasi setiap warga dalam proses penegakan hukum. ***
Putusan MK tak pelak mengundang berbagai ragam pendapat dan termasuk dari KPK yang menyatakan menghormati putusan tersebut. Ada juga beberapa ahli hukum di media sosial yang mengkritik putusan tersebut dan tidak puas dengan alasan dapat menghambat proses penegakan hukum dan ”menguntungkan koruptor”(?).
Apa pun keluhan, kritik, dan ketidakpuasan terhadap putusan MK tersebut, kenyataan putusan bersifat final dan mengikat dan terlepas dari alasan tersebut harus dilaksanakan dan ditaati oleh setiap hakim praperadilan. Putusan MK tersebut mengakhiri perdebatan dan kritik terhadap putusan hakim Sarpin yang dinilai bodoh dan sesat oleh beberapa kalangan ahli hukum.
Tentunya dengan tujuh hakim, termasuk satu hakim konkuren dan dua hakim MK dissenting, semakin terbukti bahwa telah delapan hakim (termasuk hakim Sarpin) yang membenarkan dan menguatkan putusan praperadilan dalam perkara BG. Lalu pertanyaannya, di mana letak kebodohan dan penyesatan putusan Hakim Sarpin? ***
Kehidupan hukum di suatu negara selalu mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi, bahkan teknologi sehingga teramat naif jika kalangan ahli hukum selalu apriori dan memegang teguh ajaran legalisme abad ke-18 yang disebut sinis oleh John Henry Merryman (2007) sebagai aliran fundamentalisme hukum pidana.
Sejak awal mempelajari pengantar ilmu hukum telah diajarkan bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakatnya sehingga nilai keadilan di balik hukum juga mengalami perkembangan.
Jika pada abad ke-18 nilai keadilan hukum pidana terletak pada asas Talionis yang bersumber pada pandangan felific-calculus Bentham, pasca-Deklarasi PBB tentang HAM Universal (1948) dan perubahan keempat UUD 1945 d Indonesia, nilai keadilan seharusnya berdasarkan nilai HAM itu bukan yang abad ke-18 sana.
Nilai keadilan hukum dalam sistem hukum di dalam sistem hukum di mana pun terletak pada pundak hakim; diakui dalam sistem kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial vide Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman.
Jika para intelektual hukum mengikuti perkembangan zaman dan memahami mengapa dan untuk tujuan apa terjadinya perkembangan pergeseran nilai di balik perkembangan hukum pidana, tentunya putusan hakim Sarpin yang dikuatkan oleh putusan MK merupakan satusatunya jawaban atas pengelolaan kekuasaan (negara) di lapangan hukum pidana terhadap ekses penyalahgunaan kekuasaan negara di masa yang akan datang.
Semua orang akan semakin terlindungi dari penyalahgunaan wewenang oleh kekuasaan.
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk objek praperadilan. Putusan MK tersebut telah membuktikan bahwa pertimbangan hakim Sarpin dalam memutus perkara praperadilan BG adalah benar adanya.
Bahkan putusan tersebut dikuatkan dengan pertimbangan yang sama yaitu demi menjaga dan memelihara marwah Bab XA UUD 1945 bagi setiap orang di dalam wilayah hukum RI. Saya sependapat sejak awal dengan hakim Sarpin. Alasannya karena pertimbangan praktik peradilan pidana sejak proses penyidikan sampai pada proses pemeriksaan di sidang peradilan sering terjadi ekses penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang di balik tafsir subjektif penyidik.
Sehingga, hak dan martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dirampas begitu saja tanpa ada pertimbangan kemanusiaan sedikit pun hanya dengan dalih telah dipenuhinya unsur dua alat bukti permulaan yang cukup. Pada kondisi tersebut tak ada kesempatan untuk menguji tafsir subjektif penyidik sejak awal sehingga seorang tersangka dalam praktik sering telah mengalami ”kematian perdata” tanpa daya dan upaya untuk memulihkannya.
Bahkan telah terjadi stigmatisasi dan labelisasi sebagai koruptor yang tidak memiliki hak sosial dan ekonomi lagi di hadapan masyarakat. Tak tanggung- tanggung salah satu pimpinan KPK pernah menyatakan bahwa tersangka koruptor adalah sampah masyarakat dan ada tokoh masyarakat/intelektual yang mengklaim mayat seorang koruptor tidak perlu disembahyangkan. Audzubillahi Minzalik! ***
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dihormati karena ia lembaga di dalam Konstitusi sekaligus menentukan arah politik perundang-undangan yang telah diuji dan diselaraskan dengan Konstitusi UUD 1945.
Putusan MK tersebut melengkapi putusan hakim Sarpin yang mengembalikan marwah pembentukan UU KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 yang mengedepankan prinsip ”due process of law”, bukan ”the law of oppression” dengan tujuan menjaga dan memelihara hak asasi setiap tersangka/ terdakwa dan terpidana dari kekuasaan yang represif yang dapat terjadi karena kekuasaan yang eksesif atau melampaui batas wewenang atau mencampuradukkanwewenang atau bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 UU AP 2014).
Ketika warga negara berhadapan dengan kekuasaan (negara) maka yang harus dikedepankan bukan hanya kepentingan negara an sich, melainkan keseimbangan dan kesetaraan yang berdasarkan prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas dalam memperlakukan setiap perkara pidana tanpa dilatarbelakangi oleh status sosial, etnis, agama, dan politik golongan.
Efek putusan hakim Sarpin dan putusan MK dalam proses beracara perkara pidana adalah setiap langkah penyidik harus sangat ekstrahati-hati dalam menetapkan perubahan status setiap orang menjadi tersangka, dalam melaksanakan penggeledahan dan penyitaan, dan juga keempat alasan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP.
Negara modern termasuk di negara penganut sistem hukum common law, hak asasi tersangka sangat dilindungi terlepas dari keluhan penyidik yang selalu beranggapan sebagai hambatan penegakan hukum. Bahkan sanksi pelanggaran kode etik dan pemecatan menanti terhadap penyidik yang telah melanggar hakhak asasi setiap warga dalam proses penegakan hukum. ***
Putusan MK tak pelak mengundang berbagai ragam pendapat dan termasuk dari KPK yang menyatakan menghormati putusan tersebut. Ada juga beberapa ahli hukum di media sosial yang mengkritik putusan tersebut dan tidak puas dengan alasan dapat menghambat proses penegakan hukum dan ”menguntungkan koruptor”(?).
Apa pun keluhan, kritik, dan ketidakpuasan terhadap putusan MK tersebut, kenyataan putusan bersifat final dan mengikat dan terlepas dari alasan tersebut harus dilaksanakan dan ditaati oleh setiap hakim praperadilan. Putusan MK tersebut mengakhiri perdebatan dan kritik terhadap putusan hakim Sarpin yang dinilai bodoh dan sesat oleh beberapa kalangan ahli hukum.
Tentunya dengan tujuh hakim, termasuk satu hakim konkuren dan dua hakim MK dissenting, semakin terbukti bahwa telah delapan hakim (termasuk hakim Sarpin) yang membenarkan dan menguatkan putusan praperadilan dalam perkara BG. Lalu pertanyaannya, di mana letak kebodohan dan penyesatan putusan Hakim Sarpin? ***
Kehidupan hukum di suatu negara selalu mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi, bahkan teknologi sehingga teramat naif jika kalangan ahli hukum selalu apriori dan memegang teguh ajaran legalisme abad ke-18 yang disebut sinis oleh John Henry Merryman (2007) sebagai aliran fundamentalisme hukum pidana.
Sejak awal mempelajari pengantar ilmu hukum telah diajarkan bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakatnya sehingga nilai keadilan di balik hukum juga mengalami perkembangan.
Jika pada abad ke-18 nilai keadilan hukum pidana terletak pada asas Talionis yang bersumber pada pandangan felific-calculus Bentham, pasca-Deklarasi PBB tentang HAM Universal (1948) dan perubahan keempat UUD 1945 d Indonesia, nilai keadilan seharusnya berdasarkan nilai HAM itu bukan yang abad ke-18 sana.
Nilai keadilan hukum dalam sistem hukum di dalam sistem hukum di mana pun terletak pada pundak hakim; diakui dalam sistem kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial vide Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman.
Jika para intelektual hukum mengikuti perkembangan zaman dan memahami mengapa dan untuk tujuan apa terjadinya perkembangan pergeseran nilai di balik perkembangan hukum pidana, tentunya putusan hakim Sarpin yang dikuatkan oleh putusan MK merupakan satusatunya jawaban atas pengelolaan kekuasaan (negara) di lapangan hukum pidana terhadap ekses penyalahgunaan kekuasaan negara di masa yang akan datang.
Semua orang akan semakin terlindungi dari penyalahgunaan wewenang oleh kekuasaan.
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
(ftr)