Bangsaku, Jangan Bunuh Diri!
A
A
A
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Bunuh diri itu hak ataukah perbuatan pidana? Itulah pertanyaan yang muncul dalam diskusi di kelas, pada kuliah Filsafat Hukum, Program Studi Ilmu Filsafat di UGM beberapa hari lalu.
Sebagai pengampu mata kuliah, penulis memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk berpendapat sesuai dengan aliran filsafat hukum yang diminatinya. Sungguh menarik. Tidak terbayang bahwa topik di diskusi itu ternyata menjadi peringatan tentang fenomena sosial yang sedang melanda negeri ini. Begitu banyak anak bangsa mengalami depresi kemudian bunuh diri.
Apakah, bangsa ini juga akan bunuh diri? Di Kediri, Jumat, 3 April 2015, satu keluarga (ayah, ibu, anak) bunuh diri. Dari sepucuk surat tulisan tangan yang ditemukan polisi di tempat kejadian diketahui bahwa keluarga itu merasa lelah, putus harapan, karena tekanan ekonomi. Di Subang, Jumat, 3 April 2015, ditemukan sosok pria tanpa identitas tewas tergantung di pohon mangga. Belum bisa dipastikan motif korban nekat mengakhiri hidupnya, diduga karena depresi.
Di Aceh, Jumat, 3 April 2015, seorang anggota Provost Polres Bireuen tewas diduga akibat bunuh diri dengan menggunakan senjata api miliknya sendiri jenis revolver. Sebelum tewas, korban sempat menunaikan ibadah salat Jumat dan menidurkan anak bungsunya. Di Makassar, 14 Maret 2015, seorang karyawan distributor kopi ditemukan tewas gantung diri di sebuah ruko, di Jalan Topaz Raya, Kecamatan Panakukkang.
Dari hasil olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan surat wasiat yang ditulis korban. Di Makassar pula, Sabtu 04 Maret 2015, anggota Provost Polsekta Manggala tewas bunuh diri, menembak kepala sendiri dengan pistol. Di Jakarta, Sabtu, 4 April 2015seorangpria berniatbunuh diri dengan cara meloncat dari jembatan penyeberangan orang di Semanggi. Banyak kasus bunuh diri lainnya, tidak mungkin seluruhnya dimuat dalam halaman terbatas ini.
Kasus-kasus bunuh diri tersebut membuka mata, betapa rapuhnya pertahanan diri saudarasaudara kita menghadapi gempuran masalah kehidupan, sekalipun kadang sepele misalnya karena beban ekonomi, cemburu, atau suatu penyakit. Kita iba, prihatin, dan perlu peduli. Sangat tidak tepat memahami bunuh diri (mati) sebagai hak, sebagaimana hak untuk hidup.
Hidup dan kehidupan adalah anugerah Tuhan. Perlu disyukuri, dinikmati, dan dimanfaatkan sebagai kesempatan beribadah. Bahwa dalam kehidupan tidak pernah sepi dari masalah telah menjadi keniscayaan. Masalah itu dapat dimaknakan sebagai ujian. Apabila lulus, derajat kehidupan, kebahagiaan, lebih meningkat. Ujian perlu dihadapi dengan kesiapan mental dan semangat juang. ”Dunia tidak sesempit daun kelor”.
Alkisah, diceritakan oleh ahli spiritual, suatu hari Nasrudin bertanya lembut kepada Tuhan: ”Kenapa saya diberi istri cantik?” Dengan sejuk Tuhan menjawab: ”Itu sebabnya kamu memilih dia.” ”Sudah cantik lembut lagi Tuhan,” kata Nasrudin. Lagi-lagi Tuhan menjawab dengan jawaban yang sama: ”Itulah sebabnya kamu memilih dia.” Sebelum pamitan sama Tuhan, dengan penuh permintaan maaf Nasrudin bertanya: ”Kenapa istri saya bodoh sekali?”
Dengan tenang Tuhan menjawab: ”Itulah sebabnya dia memilih kamu.” Saya mencoba merefleksikan kisah kocak di atas pada kehidupan bernegara. Pascareformasi 1998, begitu banyak harapan untuk hidup lebih demokratis, ada penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM). Para eksponen reformasi tidak mau hidup dalam suasana depresi karena tirani kekuasaan.
Muncullah banyak tokoh politik yang maunya hanya demokrasi dan HAM lebih baik. Noda kecil saja yang mengganggu demokrasi dan HAM dikritik habis-habisan. Mereka lupa bahwa konsep demokrasi dan HAM tidak tunggal, melainkan bersifat dinamiskontekstual. Itulah sebabnya, ketika ego (keakuan) dan kebodohan menyembul kuat, konflik berdemokrasi dan HAM sulit dicari dasar penyelesaiannya.
Kehidupan demokratis dan manusiawi dalam bernegara tidak muncul tiba-tiba, kecuali ada usaha sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa. Diibaratkan taman surga, bunga-bunga indah nan mewangi tidak tumbuh alamiah, melainkan ditanam dengan memilih bibit berkualitas terbaik, disiram secara ajek, diberi pupuk, dan diproteksi dengan obatobatan hama.
Bibit-bibit bunga indah itu sebenarnya ada di bumi pertiwi. Para founding fathers telah memberi contoh, bagaimana menggali nilai-nilai Pancasila untuk dirumuskan sebagai dasar negara. Perjuangan seperti itulah yang perlu dilakukan untuk mewujudkan demokrasi dan HAM yang cocok untuk Indonesia.
Sayangnya, amat langka eksponen reformasi yang paham tentang arti kepekaan filosofisideologis dalam rangka menyuburkan demokrasi dan HAM di Indonesia. Lihatlah, saling jegal antarpartai politik, saling sikut antarsesama pelaku bisnis, saling terkam antarsesama penegak hukum. Tidak ada niatan kerja sama, gotong-royong, bahu-membahu.
Orientasinya pada kemenangan, bukan pada keharmonisan. Wajar dan rasional, siapa pun dalam posisi lemah akan menjadi korban. Siapa pun yang kalah, menjadi korban, beban ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya semakin berat. Tak berdaya, frustrasi, dan ujungnya depresi. Maraknya kasus bunuh diri, dalam perspektif psikolog hukum, terjadi karena pelakunya mengidap depresi berat.
Sejujurnya, bangsa ini sedang mengidap depresi, ada yang pada tingkat rendah, sedang, maupun berat. Lilitan utang luar negeri, hilangnya kedaulatan atas penguasaan sumber daya alam, tekanan pasar bebas, maraknya korupsi, peredaran narkoba, menjadikan sebagian penyelenggara negara depresi. Ketika tekanan psikologis sedemikian kuat, sementara mentalitas filosofis-ideologis rapuh, saling menjegal, saling sikut, dan menindas rakyat dengan beban pajak menjadi pilihan.
Warga negara yangtakmampumenyiasati kehidupan yang serba hedonistik dan materialistik cenderung memilih bunuh diri. Selayaknya bangsa ini melakukan otokritik, dengan menjawab pertanyaan, ketika kasus bunuh diri semakin marak, ”Apa yang salah dengan bangsa ini, jangan-jangan dalam proses menuju kehancuran, bunuh diri?” Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Bunuh diri itu hak ataukah perbuatan pidana? Itulah pertanyaan yang muncul dalam diskusi di kelas, pada kuliah Filsafat Hukum, Program Studi Ilmu Filsafat di UGM beberapa hari lalu.
Sebagai pengampu mata kuliah, penulis memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk berpendapat sesuai dengan aliran filsafat hukum yang diminatinya. Sungguh menarik. Tidak terbayang bahwa topik di diskusi itu ternyata menjadi peringatan tentang fenomena sosial yang sedang melanda negeri ini. Begitu banyak anak bangsa mengalami depresi kemudian bunuh diri.
Apakah, bangsa ini juga akan bunuh diri? Di Kediri, Jumat, 3 April 2015, satu keluarga (ayah, ibu, anak) bunuh diri. Dari sepucuk surat tulisan tangan yang ditemukan polisi di tempat kejadian diketahui bahwa keluarga itu merasa lelah, putus harapan, karena tekanan ekonomi. Di Subang, Jumat, 3 April 2015, ditemukan sosok pria tanpa identitas tewas tergantung di pohon mangga. Belum bisa dipastikan motif korban nekat mengakhiri hidupnya, diduga karena depresi.
Di Aceh, Jumat, 3 April 2015, seorang anggota Provost Polres Bireuen tewas diduga akibat bunuh diri dengan menggunakan senjata api miliknya sendiri jenis revolver. Sebelum tewas, korban sempat menunaikan ibadah salat Jumat dan menidurkan anak bungsunya. Di Makassar, 14 Maret 2015, seorang karyawan distributor kopi ditemukan tewas gantung diri di sebuah ruko, di Jalan Topaz Raya, Kecamatan Panakukkang.
Dari hasil olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan surat wasiat yang ditulis korban. Di Makassar pula, Sabtu 04 Maret 2015, anggota Provost Polsekta Manggala tewas bunuh diri, menembak kepala sendiri dengan pistol. Di Jakarta, Sabtu, 4 April 2015seorangpria berniatbunuh diri dengan cara meloncat dari jembatan penyeberangan orang di Semanggi. Banyak kasus bunuh diri lainnya, tidak mungkin seluruhnya dimuat dalam halaman terbatas ini.
Kasus-kasus bunuh diri tersebut membuka mata, betapa rapuhnya pertahanan diri saudarasaudara kita menghadapi gempuran masalah kehidupan, sekalipun kadang sepele misalnya karena beban ekonomi, cemburu, atau suatu penyakit. Kita iba, prihatin, dan perlu peduli. Sangat tidak tepat memahami bunuh diri (mati) sebagai hak, sebagaimana hak untuk hidup.
Hidup dan kehidupan adalah anugerah Tuhan. Perlu disyukuri, dinikmati, dan dimanfaatkan sebagai kesempatan beribadah. Bahwa dalam kehidupan tidak pernah sepi dari masalah telah menjadi keniscayaan. Masalah itu dapat dimaknakan sebagai ujian. Apabila lulus, derajat kehidupan, kebahagiaan, lebih meningkat. Ujian perlu dihadapi dengan kesiapan mental dan semangat juang. ”Dunia tidak sesempit daun kelor”.
Alkisah, diceritakan oleh ahli spiritual, suatu hari Nasrudin bertanya lembut kepada Tuhan: ”Kenapa saya diberi istri cantik?” Dengan sejuk Tuhan menjawab: ”Itu sebabnya kamu memilih dia.” ”Sudah cantik lembut lagi Tuhan,” kata Nasrudin. Lagi-lagi Tuhan menjawab dengan jawaban yang sama: ”Itulah sebabnya kamu memilih dia.” Sebelum pamitan sama Tuhan, dengan penuh permintaan maaf Nasrudin bertanya: ”Kenapa istri saya bodoh sekali?”
Dengan tenang Tuhan menjawab: ”Itulah sebabnya dia memilih kamu.” Saya mencoba merefleksikan kisah kocak di atas pada kehidupan bernegara. Pascareformasi 1998, begitu banyak harapan untuk hidup lebih demokratis, ada penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM). Para eksponen reformasi tidak mau hidup dalam suasana depresi karena tirani kekuasaan.
Muncullah banyak tokoh politik yang maunya hanya demokrasi dan HAM lebih baik. Noda kecil saja yang mengganggu demokrasi dan HAM dikritik habis-habisan. Mereka lupa bahwa konsep demokrasi dan HAM tidak tunggal, melainkan bersifat dinamiskontekstual. Itulah sebabnya, ketika ego (keakuan) dan kebodohan menyembul kuat, konflik berdemokrasi dan HAM sulit dicari dasar penyelesaiannya.
Kehidupan demokratis dan manusiawi dalam bernegara tidak muncul tiba-tiba, kecuali ada usaha sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa. Diibaratkan taman surga, bunga-bunga indah nan mewangi tidak tumbuh alamiah, melainkan ditanam dengan memilih bibit berkualitas terbaik, disiram secara ajek, diberi pupuk, dan diproteksi dengan obatobatan hama.
Bibit-bibit bunga indah itu sebenarnya ada di bumi pertiwi. Para founding fathers telah memberi contoh, bagaimana menggali nilai-nilai Pancasila untuk dirumuskan sebagai dasar negara. Perjuangan seperti itulah yang perlu dilakukan untuk mewujudkan demokrasi dan HAM yang cocok untuk Indonesia.
Sayangnya, amat langka eksponen reformasi yang paham tentang arti kepekaan filosofisideologis dalam rangka menyuburkan demokrasi dan HAM di Indonesia. Lihatlah, saling jegal antarpartai politik, saling sikut antarsesama pelaku bisnis, saling terkam antarsesama penegak hukum. Tidak ada niatan kerja sama, gotong-royong, bahu-membahu.
Orientasinya pada kemenangan, bukan pada keharmonisan. Wajar dan rasional, siapa pun dalam posisi lemah akan menjadi korban. Siapa pun yang kalah, menjadi korban, beban ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya semakin berat. Tak berdaya, frustrasi, dan ujungnya depresi. Maraknya kasus bunuh diri, dalam perspektif psikolog hukum, terjadi karena pelakunya mengidap depresi berat.
Sejujurnya, bangsa ini sedang mengidap depresi, ada yang pada tingkat rendah, sedang, maupun berat. Lilitan utang luar negeri, hilangnya kedaulatan atas penguasaan sumber daya alam, tekanan pasar bebas, maraknya korupsi, peredaran narkoba, menjadikan sebagian penyelenggara negara depresi. Ketika tekanan psikologis sedemikian kuat, sementara mentalitas filosofis-ideologis rapuh, saling menjegal, saling sikut, dan menindas rakyat dengan beban pajak menjadi pilihan.
Warga negara yangtakmampumenyiasati kehidupan yang serba hedonistik dan materialistik cenderung memilih bunuh diri. Selayaknya bangsa ini melakukan otokritik, dengan menjawab pertanyaan, ketika kasus bunuh diri semakin marak, ”Apa yang salah dengan bangsa ini, jangan-jangan dalam proses menuju kehancuran, bunuh diri?” Wallahualam.
(bbg)