Refleksi Konflik di Timur Tengah

Rabu, 08 April 2015 - 09:21 WIB
Refleksi Konflik di...
Refleksi Konflik di Timur Tengah
A A A
Kawasan Timur Tengah mendapat perhatian dunia dalam beberapa pekan terakhir. Peristiwa pertama yang mengawali kejutan politik dari kawasan itu di tahun 2015 adalah kudeta yang dilakukan oleh pasukan Houthi terhadap Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.

Peristiwa itu kemudian membawa negara-negara Arab turut campur dan berbalik menyerang pemberontak Houthi di Yaman. Serangan bersama itu juga disinyalir sebagai balasan atas bantuan Iran kepada pemberontak Houthi yang dilakukan pada awal-awal serangan.

Beberapa pesawat yang diduga berasal dari Iran, tertangkap melintasi dan memberikan bantuan serangan udara ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Presiden Yaman. Peristiwa kedua yang juga penting adalah tercapainya kesepakatan antara P5+ 1 (yakni lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa: AS, Rusia, China, Inggris, Prancis ditambah Jerman) dengan pemerintah Iran.

Walaupun masing-masing pihak menyatakan yang disepakati tersebut adalah outline (garis besar) dan bukannya agreement (perjanjian) karena kesepakatan tersebut terbilang masih jauh dari harapan masing-masing pihak, setidaknya kesepakatan itu dapat dijadikan titik tolak untuk masuk ke dalam isu-isu lain yang lebih strategis.

Beberapa isu yang telah dinegosiasikan antara P5 + 1 dan Iran antara lain berkurangnya fasilitas pengayaan nuklir Iran dan kemampuannya untuk meningkatkan kualitas teknologi tersebut dalam kurun waktu 15 tahunan. Di sisi lain, Iran menunggu Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mencabut sanksi ekonomi atas Iran.

Selain dua peristiwa tersebut, ISIS juga mengalami popularitas cukup tinggi. Tidak hanya di Indonesia, ideologi ISIS juga menarik orang-orang muda di Eropa. Survei yang dilakukan oleh ICM untuk Kantor Berita Russian Rossiya Segodnya pada Agustus tahun lalu menyebutkan 16% dari anak muda Prancis menyokong ideologi ISIS.

Data itu menunjukkan ISIS semakin menyaingi Al-Qaeda yang umumnya hanya disokong oleh beberapa kelompok kuat di Pakistan dan Afghanistan. Kejadian-kejadian tersebut ada yang membawa kabar baik dan ada juga kabar buruk. Hal itu membuat kita menjadi sulit untuk menyimpulkan apakah sedang ada kecenderungan terjadinya perdamaian di Timur Tengah, atau justru situasi semakin memburuk, atau status quo (tidak maju dan tidak mundur).

Namun, pernyataan yang paling mengerikan adalah apabila kita mulai mempercayai bahwa kawasan tersebut tidak akan pernah damai dan mereka hidup dari pertikaian. Pertanyaan yang sering muncul di benak publik, apakah konflik dan ketegangan tersebut dilatarbelakangi oleh persaingan ideologi Sunni dan Syiah?

Media Al-Jazeera dalam konteks konflik di Yaman menyimpulkan konflik yang terjadi di Yaman adalah konflik berkepanjangan antara kelompok Syiah yang dipimpin oleh Abdulmalik al-Houthi melawan Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi dari kelompok Sunni. Kelompok Hadi ini didukung oleh kelompok Partai Islah Sunni.

Konflik ini dianggap sebagai buntut penggulingan mantan Presiden Ali Abdul Saleh yang telah memerintah Yaman sejak 1990 seiring protes publik pada masa Arab Springs tahun 2011. Tidak jelas juga dasar simpulan dari media tersebut karena mereka tidak menggali lebih dalam perihal konflik horizontal tersebut.

Masalahnya, seperti yang terjadi di beberapa negara Arab lain, transisi demokratis yang lahir dari gerakan Arab Springs memang tidak dibimbing oleh semangat kebangsaan dan gagasan negara demokratis ideal. Hanya beberapa negara yang berhasil melewati tahap yang kritis itu untuk berlalu dari sistem pemerintahan yang otoriter menuju menjadi pemerintahan yang demokratis.

Kita dapat menyebutkan sedikit di antaranya adalah Tunisia, walaupun itu sempat ternodai dengan aksi penyanderaan kelompok teroris tiga pekan lalu. Dalam kekosongan gagasan kebangsaan tersebut, politik identitas masuk mengisi dan mempertegas perbedaan antarkelompok.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana politik identitas itu menjadi pemicu atau yang memotivasi konflik? Ataukah politik identitas itu hanya dijadikan sebagai alat bagi sejumlah kelompok? Agak sulit tampaknya untuk mengurai kerumitan tersebut dan menentukan faktor apa yang menentukan. Apa yang dapat kita lihat bahwa politik identitas dan kepentingan kelompok adalah saling melengkapi dalam konteks di Timur Tengah.

Sejauh ini perjalanan sejarah transisi politik di negara-negara Arab yang kita pahami dari gerakan Arab Springs adalah dimotivasi oleh perubahan dan gagasan yang sekuler dan bukan dari gagasan yang sektarian. Masyarakat menghendaki berakhirnya pemerintahan otoriter yang telah menguasai negara selama lebih dari 20 atau 30 tahun.

Pemerintahan yang dibayangkan oleh gerakan masyarakat sipil pada saat itu adalah sebuah pemerintahan demokratis, dimana setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih. Ada kesadaran sebetulnya pada masa tersebut bahwa persaingan antarsuku untuk merebut kekuasaan adalah kesalahan yang harus dihindari.

Hal yang menarik kemudian adalah perjalanan fokus konflik yang berubah di Timur Tengah: dari konflik antara pemerintahan otoriter terhadap gerakan masyarakat prodemokrasi menjadi konflik antara kelompok dan suku, dan kemudian terakhir menjelma menjadi konflik antara Sunni dan Syiah.

Konflik itu mungkin sudah ada namun menguat dan menurun seiring dengan konflikkonflik internal yang ada di setiap negara. Kita masih ingat bagaimana delapan negara yang saat ini berada di bawah Operation Decisive Storm untuk menyerang Houtis (Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Yordania, Mesir, Maroko, dan Sudan) pernah berbeda pendapat tentang krisis yang terjadi di Mesir terkait dengan berkuasanya Jenderal Sisi dan dilarangnya organisasi Persaudaraan Muslimin di Mesir.

Pada saat itu, legitimasi Jenderal Sisi dipertanyakan oleh negara-negara sekutunya. Demikian pula ketika menanggapi posisi organisasi lain seperti Hammas. Dari jauh, yang dapat kita simpulkan, konflik yang terjadi di dalam negeri negara-negara di Timur Tengah dapat menarik intervensi negara lain baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Negara-negara tersebut sulit menahan diri untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Hal ini tidak terbatas hanya kepada negaranegara Arab. Israel juga merasa mereka harus turut campur walaupun mesti beraliansi dengan negara-negara Arab lain untuk menghadapi Iran.

Di sini kita menilai pentingnya norma dan etika dalam hubungan internasional. Norma dan etika bukan sesuatu yang mengikat seperti konvensi namun menjadi landasan dalam berkomunikasi dengan negaranegara lain. Norma dan etika dapat menjadi jalan keluar dari rasa curiga yang biasanya menjadi dasar interpretasi dalam menganalisa fakta di lapangan.

Apakah norma dan etika ini benar-benar hilang di Timur Tengah? Tampaknya tidak. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab lain seperti Yordania, Mesir, dan bahkan Arab Saudi. Ada sebuah kesepakatan tidak tertulis bahwa tidak mungkin di antara mereka akan saling serang, apalagi dalam konteks menghadapi Iran.

Pada hubungan inilah sering kali para analis menganggap bahwa sebetulnya yang terjadi bukanlah konflik sekterian, tetapi konflik untuk menjaga status quo kekuasaan yang selama ini berkuasa di Timur Tengah.

Dinna Wisnu, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0599 seconds (0.1#10.140)