Pemilih Jokowi yang Mulai Kecewa
A
A
A
Jokowi memang layak disebut tokoh fenomenal sebelum dan setelah Pemilihan Presiden 2014. Mantan Wali Kota Solo itu kariernya melejit.
Sebelum menang sebagai presiden, ia terlebih dahulu menjadi pemenang Pemilihan Gubernur DKI-Jakarta berpasangan dengan Ahok. Berbekal popularitas saat memimpin Solo dan DKI, Jokowi ”naik kelas,” menjadi calon presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Harapan publik sebelum pilpres begitu besar terhadap sosok Jokowi untuk memimpin Indonesia.
Salam dua jari sebagai ikon para pendukung Jokowi terus berkibar didunia maya dan dalam setiap perhelatan akbar kampanye yang mereka lakukan. Para pendukung Jokowi dengan suka rela membentuk ”organisasi” relawan untuk mendukung sang calon Presiden. Para relawan tumbuh seiring cita-cita dan harapannya masingmasing.
Harapan mereka begitu besar bahkan sangat muluk bahwa sosok Jokowi akan dapat mengatasi pelbagai persoalan yang sedang dihadapi Indonesia. Setelah Jokowi- JK resmi dilantik menjadi presiden, sorot mata rakyat dengan berjuta perasaan dan harapan terpahat saat mereka turut mengiringi sang Presiden dengan kereta kuda hingga pintu Istana.
Sejumlah media nasional dan internasional juga mengungkapkan hal yang sama. Majalah Time membuat cover khusus dengan judul A New Hope (Harapan Baru). Media-media di Tanah Air pun memuat headline yang hampir mirip, harapan baru kepemimpinan Jokowi di panggung politik nasional. Itulah politik.
Politik sebagai seni memoles citra dan elektabilitas. Dalam politik akan selalu muncul fenomena silih berganti ”pemimpin yang disanjung dan pemimpin yang junjung”. Tapi, jangan lupa, sejarah politik juga memperlihatkan banyak pemimpin yang disanjung dan dijunjung, berubah dengan cara yang sebaliknya.
Mereka yang Mulai Kecewa
Hasil survei Indo Barometer terbaru yang dirilis 5 April menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi rendah. Hanya sekitar 57,5% masyarakat puas terhadap kinerja Presiden Jokowi. Survei ini dapat dimaknai sebagai peringatan dini (early warning) bagi pemerintahan Jokowi sebab pemerintahan baru berjalan enam bulan.
Ketidakpuasan para pendukung Jokowi dan sebagian rakyat lainnya dimulai dari sejumlah kebijakan Presiden yang kontroversial. Respons publik tidak terlalu bergairah saat Presiden mengumumkan susunan Kabinet Kerja. Nuansa politik balas budi masih terasa begitu kental ketimbang kabinet kerja dan profesional yang dijanjikan.
Drama politik Teuku Umar yang begitu kental, begitu telanjang di mata publik seluruh Indonesia. Reaksi publik yang ”diam” satu bulan setelah Presiden Jokowi- JK dilantik dengan menaikkan sekaligus mencabut subsidi premium telah membuat rakyat kecil ”terdiam.” Turun-naik harga BBM telah membuat perasaan dan hati rakyat terkoyak.
Memang benar, inflasi turun bahkan mendekati nol koma sekian persen, tetapi rakyat kecil tidak mengerti logika ekonomi, yang mereka rasakan ialah apa-apa naik dan harga tidak menentu. Semua jenis subsidi dikurangi dan bahkan dihilangkan. Saat publik sedang depresi seperti itu, riuh rendah politik kembali terjadi.
Presiden Jokowi membuat sejumlah kebijakan politik yang kurang tepat. Gagasan penentuan pejabat publik dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK saat menetapkan menteri-menteri justru tidak berlaku saat pengangkatan calon jaksa agung dan terakhir yang membuat gempar adalah kasus calon Kapolri Budi Gunawan.
Kasus tersebut telah ”meluas,” bahkan melebar menjadi senjata untuk melemahkan KPK. KisruhantaraKPKdanPolri bagaimanapun bukan kesalahan Budi Gunawan, tetapi bermula dari posisi dan sikap Presiden. Sikap Presiden yang tidak tegas, abu-abu, dan cenderung safety player , tampakpada kasuskasus politik dan kekuasaan yang bertalian dengan garis politik Teuku Umar dan garis politik partai pendukungnya.
Ikon bahwa Jokowi adalah sosok yang tegas, cepat, kerja dan kerja, mulai berbalik dengan sendirinya. Perjalanan waktu dalam berkuasa akan menentukan sejauh mana Presiden dapat lepas dari bayangbayang politik Megawati. Ungkapan ”petugas partai” yang waktu awal-awal pencalon Presiden tidak memiliki konotasi negatif, kembali menusuk perasaan.
Istilah itu disematkan pada sejumlah langkah kebijakan Presiden yang dianggap tidak mencerminkan garis politiknya, Nawacita atau sembilan cita-cita. Komentar keras Rizal Ramli di sejumlah media massa bahwa pemerintahan Jokowi menyengsarakan rakyat hanyalah satu contoh kecil. Rizal Ramli— yang belakangan diangkat menjadi komisaris utama BNI— menyebut bahwa menurunkan kepercayaan publik disebabkan kinerja menteri ekonomi yang tidak maksimal.
Menteri ekonomi di kabinet Jokowi-JK hanya menaikkan harga untuk menyelesaikan masalah, bukan mencari jalan keluar lain yang lebih berpihak terhadap rakyat. Reproduksi Nawacita sebagai sebuah visi atau misi sudah dilakukan. Masalahnya, rakyat menanti kebijakan Presiden yang sesuai dengan Nawacita itu. Itulah yang sedang diuji oleh rakyat Indonesia, apakah langkah dan kebijakan Presiden sesuai atau bertentangan dengan Nawacita.
Sebagai ilustrasi, tak satu pun kata keluar dari Presiden mengenai begal yang sedang marak terjadi. Padahal pada Nawacita 1 menyebutkan ”Kami akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.”
Jangan Ada Dusta
Meredupnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintahan Jokowi jangan dianggap remeh. Logika pemerintah yang menganggap bahwa dukungan rakyat tidak penting justru akan menimbulkan prahara politik yang lain.
Argumen aji mumpung sebagai ”penguasa” lalu melakukan laku-laku politik despotik justru akan melahirkan beragam kekecewaan politik lainnya. Sama halnya dengan itu, laku dan tindakan politik pemerintahan Jokowi yang mulai meninggalkan rakyat sebagai basis pemilihnya melalui mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat justru bertentangan dengan garis politiknya.
Banyaknya publik yang menyindir dengan ucapan, ”Untung saya tidak memilih Jokowi,” merupakan variasi yang paling sering dikemukakan rakyat sebagai ekspresi kekecewaan mereka. Salah satu langkah untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi ialah dengan mendengar suara rakyat.
Suara rakyat sering disebut sebagai suara Tuhan, vox populi-vox dei , bukan hanya saat mereka dibutuhkan untuk memberikan dukungan politik elektoral. Dalam memerintah dan membuat kebijakan pun mereka wajib didengar.
Mochnurh Asim
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
Sebelum menang sebagai presiden, ia terlebih dahulu menjadi pemenang Pemilihan Gubernur DKI-Jakarta berpasangan dengan Ahok. Berbekal popularitas saat memimpin Solo dan DKI, Jokowi ”naik kelas,” menjadi calon presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Harapan publik sebelum pilpres begitu besar terhadap sosok Jokowi untuk memimpin Indonesia.
Salam dua jari sebagai ikon para pendukung Jokowi terus berkibar didunia maya dan dalam setiap perhelatan akbar kampanye yang mereka lakukan. Para pendukung Jokowi dengan suka rela membentuk ”organisasi” relawan untuk mendukung sang calon Presiden. Para relawan tumbuh seiring cita-cita dan harapannya masingmasing.
Harapan mereka begitu besar bahkan sangat muluk bahwa sosok Jokowi akan dapat mengatasi pelbagai persoalan yang sedang dihadapi Indonesia. Setelah Jokowi- JK resmi dilantik menjadi presiden, sorot mata rakyat dengan berjuta perasaan dan harapan terpahat saat mereka turut mengiringi sang Presiden dengan kereta kuda hingga pintu Istana.
Sejumlah media nasional dan internasional juga mengungkapkan hal yang sama. Majalah Time membuat cover khusus dengan judul A New Hope (Harapan Baru). Media-media di Tanah Air pun memuat headline yang hampir mirip, harapan baru kepemimpinan Jokowi di panggung politik nasional. Itulah politik.
Politik sebagai seni memoles citra dan elektabilitas. Dalam politik akan selalu muncul fenomena silih berganti ”pemimpin yang disanjung dan pemimpin yang junjung”. Tapi, jangan lupa, sejarah politik juga memperlihatkan banyak pemimpin yang disanjung dan dijunjung, berubah dengan cara yang sebaliknya.
Mereka yang Mulai Kecewa
Hasil survei Indo Barometer terbaru yang dirilis 5 April menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi rendah. Hanya sekitar 57,5% masyarakat puas terhadap kinerja Presiden Jokowi. Survei ini dapat dimaknai sebagai peringatan dini (early warning) bagi pemerintahan Jokowi sebab pemerintahan baru berjalan enam bulan.
Ketidakpuasan para pendukung Jokowi dan sebagian rakyat lainnya dimulai dari sejumlah kebijakan Presiden yang kontroversial. Respons publik tidak terlalu bergairah saat Presiden mengumumkan susunan Kabinet Kerja. Nuansa politik balas budi masih terasa begitu kental ketimbang kabinet kerja dan profesional yang dijanjikan.
Drama politik Teuku Umar yang begitu kental, begitu telanjang di mata publik seluruh Indonesia. Reaksi publik yang ”diam” satu bulan setelah Presiden Jokowi- JK dilantik dengan menaikkan sekaligus mencabut subsidi premium telah membuat rakyat kecil ”terdiam.” Turun-naik harga BBM telah membuat perasaan dan hati rakyat terkoyak.
Memang benar, inflasi turun bahkan mendekati nol koma sekian persen, tetapi rakyat kecil tidak mengerti logika ekonomi, yang mereka rasakan ialah apa-apa naik dan harga tidak menentu. Semua jenis subsidi dikurangi dan bahkan dihilangkan. Saat publik sedang depresi seperti itu, riuh rendah politik kembali terjadi.
Presiden Jokowi membuat sejumlah kebijakan politik yang kurang tepat. Gagasan penentuan pejabat publik dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK saat menetapkan menteri-menteri justru tidak berlaku saat pengangkatan calon jaksa agung dan terakhir yang membuat gempar adalah kasus calon Kapolri Budi Gunawan.
Kasus tersebut telah ”meluas,” bahkan melebar menjadi senjata untuk melemahkan KPK. KisruhantaraKPKdanPolri bagaimanapun bukan kesalahan Budi Gunawan, tetapi bermula dari posisi dan sikap Presiden. Sikap Presiden yang tidak tegas, abu-abu, dan cenderung safety player , tampakpada kasuskasus politik dan kekuasaan yang bertalian dengan garis politik Teuku Umar dan garis politik partai pendukungnya.
Ikon bahwa Jokowi adalah sosok yang tegas, cepat, kerja dan kerja, mulai berbalik dengan sendirinya. Perjalanan waktu dalam berkuasa akan menentukan sejauh mana Presiden dapat lepas dari bayangbayang politik Megawati. Ungkapan ”petugas partai” yang waktu awal-awal pencalon Presiden tidak memiliki konotasi negatif, kembali menusuk perasaan.
Istilah itu disematkan pada sejumlah langkah kebijakan Presiden yang dianggap tidak mencerminkan garis politiknya, Nawacita atau sembilan cita-cita. Komentar keras Rizal Ramli di sejumlah media massa bahwa pemerintahan Jokowi menyengsarakan rakyat hanyalah satu contoh kecil. Rizal Ramli— yang belakangan diangkat menjadi komisaris utama BNI— menyebut bahwa menurunkan kepercayaan publik disebabkan kinerja menteri ekonomi yang tidak maksimal.
Menteri ekonomi di kabinet Jokowi-JK hanya menaikkan harga untuk menyelesaikan masalah, bukan mencari jalan keluar lain yang lebih berpihak terhadap rakyat. Reproduksi Nawacita sebagai sebuah visi atau misi sudah dilakukan. Masalahnya, rakyat menanti kebijakan Presiden yang sesuai dengan Nawacita itu. Itulah yang sedang diuji oleh rakyat Indonesia, apakah langkah dan kebijakan Presiden sesuai atau bertentangan dengan Nawacita.
Sebagai ilustrasi, tak satu pun kata keluar dari Presiden mengenai begal yang sedang marak terjadi. Padahal pada Nawacita 1 menyebutkan ”Kami akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.”
Jangan Ada Dusta
Meredupnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintahan Jokowi jangan dianggap remeh. Logika pemerintah yang menganggap bahwa dukungan rakyat tidak penting justru akan menimbulkan prahara politik yang lain.
Argumen aji mumpung sebagai ”penguasa” lalu melakukan laku-laku politik despotik justru akan melahirkan beragam kekecewaan politik lainnya. Sama halnya dengan itu, laku dan tindakan politik pemerintahan Jokowi yang mulai meninggalkan rakyat sebagai basis pemilihnya melalui mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat justru bertentangan dengan garis politiknya.
Banyaknya publik yang menyindir dengan ucapan, ”Untung saya tidak memilih Jokowi,” merupakan variasi yang paling sering dikemukakan rakyat sebagai ekspresi kekecewaan mereka. Salah satu langkah untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi ialah dengan mendengar suara rakyat.
Suara rakyat sering disebut sebagai suara Tuhan, vox populi-vox dei , bukan hanya saat mereka dibutuhkan untuk memberikan dukungan politik elektoral. Dalam memerintah dan membuat kebijakan pun mereka wajib didengar.
Mochnurh Asim
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
(ftr)