Pelajaran dari Kisruh RAPBD DKI

Rabu, 18 Maret 2015 - 08:48 WIB
Pelajaran dari Kisruh RAPBD DKI
Pelajaran dari Kisruh RAPBD DKI
A A A
Konflik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masih berlangsung.

Konflik ini menyita perhatian khalayak luas. Secara opini timbul kesan kuat bahwa berbeda dengan Ahok yang di atas angin, pihak DPRD paling layak disorot dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2015. Opini demikian marak hingga ke ranah media sosial dan menjadikan DPRD sebagai semacam musuh bersama.

Tentu saja itu terlalu berlebihan, mengingat bagaimanapun, apa yang tengah terjadi merupakan bagian dari proses politik. Proses penentuan penyusunan dan penetapan anggaran memerlukan kerja sama yang baik antara gubernur dan DPRD. Gubernur tidak dapat jalan sendiri, demikian pula sebaliknya.

Dalam kisruh RAPBD DKI Jakarta, Ahok melakukan langkah kontroversial dengan menyerahkan RAPBD ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi bukan versi hasil rapat paripurna DPRD pada 27 Januari 2015. Ahok punya dalih bahwa RAPBD itu sarat dengan ”anggaran siluman”.

Langkah ini secara prosedural dipandang sangat bermasalah, di mana pihak DPRD menuduh Ahok telah melakukan pemalsuan dokumen. Mereka pun kompak melakukan hak angket. Konflik yang berpola konfrontatif pun tak terelakkan. Terkait dengan anggaran siluman, Ahok melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara DPRD tetap melanjutkan proses hak angket.

Pihak Kementerian Dalam Negeri mengusulkan jalan mediasi supaya mereka duduk kembali, tetapi tidak mudah dilakukan. Dalam perkembangannya, sebagai hasil evaluasi kementerian mencoret beberapa pos anggaran kegiatan operasional senilai Rp281,9 miliar.

Di sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan, bila gubernur dan DPRD tidak menindaklanjuti hasil evaluasi, akan dilakukan pembatalan sekaligus menyatakan berlakunya APBD 2014 (Koran Tempo, 16/3/2015). Perkembangan tersebut babak baru dari drama penyusunan RAPBD yang memaksa kedua belah pihak untuk kembali membahasnya.

Meminjam analisis pakar hukum Margarito Kamis, akan ada dua kemungkinan setelah ini. Pertama, akan terjadi kesepakatan antara keduanya, dan dengan demikian hak angket akan berhenti karena tidak lagi ada tujuan yang hendak dicapai.

Kedua, jika yang terjadi sebaliknya, Ahok akan terpojok karena harus mengakui kekeliruan dalam RAPBD 2015. Mungkin saja, manakala yang kedua ini yang terjadi, ujungnya adalah permakzulan Ahok sebagai gubernur.

Kemerosotan Politik

Apa pelajaran yang dapat kita petik dari kisruh ini? Kita dapat menimbangnya dari perspektif pembangunan politik (political development ) sebagai lawan dari kemerosotan politik (political decay ). Intinya, dalam pembangunan politik, konflik dan konsensus merupakan dua hal yang penting.

Konflik merupakan hal yang lazim dalam kehidupan politik, yang penting ia terkelola dengan baik. Pembangunan politik membutuhkan konsensus yang berkualitas. Nah, dalam konteks ini, kisruh RAPBD DKI Jakarta mencerminkan ada konflik yang berdampak pada menguatnya kemerosotan politik.

Kemerosotan politik tentu akan berimbas pada ihwal yang terkait perikehidupan warga yang menjadi sasaran pembangunan. Konflik bisa berdampak pada defisit pelayanan publik dan optimalisasi fungsi-fungsi politik baik gubernur maupun DPRD. Berlarut-larut konflik hanya akan membuat kondisi kehidupan politik dan pela-yanan publik semakin memburuk.

Sejak awal konflik RAPBD juga mencerminkan terdapat masalah komunikasi politik yang serius. Dalam konteks ini, Ahok tidak sepenuhnya nol masalah. Ahok yang memiliki karakter komunikasi yang meledak- ledak dan konfrontatif, mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi pola konfrontatifnya tidak terlalu baik dalam pembangunan politik. Ia perlu memperbaiki cara dan gaya komunikasinya, terutama dalam menghadapi DPRD.

Di sisi lain, ada persoalan yang harus dicamkan oleh Ahok yakni konteks prosedural politik. Barangkali Ahok ingin melakukan terobosan, tetapi ia diperhadapkan dengan persoalan legal-prosedural. Dalam perspektif ini, DPRD tidak boleh sertamerta dipojokkan, mengingat ada kewenangan yang melekat kepadanya.

Perlu dicatat juga bahwa dalam konflik politik DPRD-Ahok, seyogianya masing-masing tidak melibatkan kekuatan di luar mereka. Memang dalam konteks ini, publik terus mengikuti perkembangannya. Tetapi, memancing dan memanfaatkan emosi publik dalam konflik terbatas ”dalam ruangan” dapat menimbulkan risiko ke arah konflik politik yang meluas ke ”luar ruangan”.

Kalau demikian, fungsi kelembagaan politik sebagai manajemen konflik tidak ada artinya lagi. Sebab itulah, baik Ahok maupun para elite politik DPRD sama-sama punya tanggung jawab untuk tidak memainkan massa publik untuk kepentingan masing-masing. Ahok bahkan turut bertanggung jawab memperkuat institusi DPRD, ketimbang melemahkannya.

Lebih baik Ahok menampilkan dirinya sebagai ahli strategi yang mampu mengelola konflik yang ada tetap sebagai konflik terbatas di lingkungan DPRD dalam kerangka ”checks and balances” dan menghindari keterlibatan massa publik. Demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun DPRD adalah institusi yang memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas.

Demikian pula gubernur sebagai representasi pemerintahan atau eksekutif di daerah. Dua lembaga ini harus kuat, mampu berjalan secara sinergis dalam kerangka ”checks and balances”. Karena itu, harmonisasi dan sinergisasilah yang harus diutamakan.

Kalaupun ada persoalan yang terkait kejanggalan anggaran, pekerjaan untuk mengatasi ihwal sedemikian merupakan pekerjaan bersama. Karena itu, pola konfrontatif sebagaimana yang dilancarkan Ahok dalam batas-batas tertentu malah kontraproduktif.

Penguatan Kelembagaan

Orientasi penguatan kelembagaan bagaimanapun merupakan jalan keluar yang elegan. Artinya, masing-masing harus berkaca diri dan kembali ke fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan. Dalam konteks ini idealnya gubernur memperoleh dukungan politik yang kuat dari DPRD.

Memang tidak semua gubernur punya basis dukungan partai politik dan ini artinya di atas kertas dukungan formalnya di DPRD lemah. Realitas demikian semestinya dijawab dengan mengoptimalkan kemampuan komunikasi yang integratif, bukan konfrontatif. Dalam kasus Ahok yang terjadi sebaliknya.

Ahok tidak punya basis dukungan yang kuat di DPRD, tetapi justru memakai pola konfrontatif. Dalam kasus kisruh RAPBD ini, Ahok menemukan tema yang diyakininya didukung oleh publik dan dengan demikian risikonya adalah membenturkan DPRD dengan massa publik, baik nyata maupun maya.

Dalam batas-batas tertentu mungkin pendekatan demikian efektif, setidaknya memaksa DPRD mengacadiri. Tetapi, lamalama ia akan menjadi kontra produktif karena membiarkan ruang konflik terus melebar.

Kita berharap kisruh RAPBD 2015 berujung pada ada jalan keluar yang baik dan konstruktif dalam perspektif pembangunan politik. Sebaliknya, kemerosotan politik yang lebih parah jangan dibiarkan terjadi. Ahok dan DPRD harus samasama berkaca diri.

M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5605 seconds (0.1#10.140)