Penyertaan Modal Negara
A
A
A
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Persetujuan DPR tentang penyertaan modal negara (PMN) dalam APBN Perubahan 2015 menyisakan banyak cerita.
Namun, sebuah proses melalui parlemen telah kita lalui dan semoga ini menjadi era baru bagi peremajaan BUMN Indonesia yang sudah lama kita tunggu. Di tangan mantan CEO Astra International yang sukses mengawal transformasi di masa sulit, saya yakin BUMN Indonesia bisa mengimbangi BUMN asing yang semakin bertaji.
Sebagai profesional, Rini M Soemarno bisa saja dimusuhi para politisi seperti yang pernah dialami Sri Mulyani di era SBY. Harap maklum, BUMN memang menarik untuk diperebutkan. Tetapi, spirit profesionalismenya saya kira tak perlu kita ragukan. Maka, menarik melihat bagaimana PMN kali ini bergulir untuk memperkuat pembangunan melalui BUMN.
Geliat BUMN ASEAN
Bukannya apa-apa, menyangkut soal daya saing bangsa kita ini termasuk yang paling lama merespons perubahan, bahkan paling kurang gebrakan. Bayangkan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ujung mata. Ingat ya, ini masyarakat ekonomi konsepnya, bukan sekadar AFTA atau kawasan perdagangan bebas. Artinya dibutuhkan sinkronisasi kelembagaan. Nah, berkaitan dengan itulah BUMN di ASEAN pun berubah. Itu bahkan sudah dilakukan tetangga kita sejak 1990-an.
Bayangkan Kementerian Keuangan Malaysia sudah dibentuk menjadi semacam PT sejak 1993. Ini berarti dari segi akuntansi keuangan negara, aset-aset yang dilimpahkan ke BUMN di sana menjadi tak serumit seperti di sini. Ini semua tentu amat tergantung pada wawasan dan kepentingan yang diemban para politisi: apakah rela membuat BUMN negerinya tumbuh besar dan lepas dari campur tangannya, atau masih ingin mencari celah untuk ”bermain”. Kedewasaan berpolitik, integritas, ditambah kemampuan berpikir strategis sangat menentukan pilihan yang diambil.
Dengan bekal itu para politisi Malaysia sepakat melepas badanbadan usaha yang tidak strategis dan menjadikan usaha-usaha strategis benar-benarprofesionaldenganaturan yang jelas. Mereka juga mengawal konsistensidantabumembiarkanbirokrasi mengelola BUMN. Hasilnya Anda lihat sendiri. Betapa powerful-nya Khazanah. Maka saya senang ketika mendengar salah satu program yang serius dikerjakan menteri BUMN saat ini adalah merampungkan RUU BUMN agar benar-benar mampu menjawab tantangan zaman.
Perkuat BUMN Keuangan
Ada tiga BUMN yang sama sekali tidak dapat jatah PMN, yakni PT Djakarta Lloyd, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan PT Bank Mandiri Tbk. Kalau Djakarta Lloyd saya bisa paham. BUMN itu sedang menghadapi masalah hukum akibat utangnya yangbertimbundisana-sini.
Saat ini status hukum Djakarta Lloyd dalam masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Saham pemerintah di sana sudah berkurang hingga 29%. Jadi pemberian PMN untuk perusahaan bermasalah sangat berisiko. Akan halnya RNI, Komisi VI DPR menilai usulan bisnisnya masih kurang jelas. Perlu lebih dipertajam. Mungkin yang agak menarik adalah Bank Mandiri. Ini karena pengajuan dana PMN untuk bank itu lumayan jumbo, mencapai Rp5,6 triliun.
Tapi, anggota DPR menilai PMN bagi Bank Mandiri belum menjadi prioritas. Setidaktidaknya untuk tahun ini. Dengan penolakan tersebut perjalanan perbankan Indonesia untuk menjadi agent of change dalam pembangunan ekonomi Indonesia jadi semakin panjang. Sejatinya penambahan modal itu menjadi penting agar Bank Mandiri semakin powerful dalam menghadapi era MEA. Di Indonesia, Bank Mandiri memang bank yang terbesar dari sisi modal.
Namun, ketika dijajarkan dengan bank-bank asal negara tetangga, Bank Mandiri belum ada apa-apanya. Coba saja Anda lihat daftarnya. Peringkat pertama bank dengan modal terbesar di ASEAN adalah Bank DBS (Singapura, USD26,3 miliar), lalu OCBC (Singapura, USD20,2 miliar), UOB (Singapura, USD18,4 miliar), Maybank (Malaysia, USD10,5 miliar), CIMB (Malaysia, USD8,7 miliar), Bangkok Bank (Thailand, USD7,8 miliar), dan baru Bank Mandiri (Indonesia, USD6,7 miliar).
Bagi perbankan, modal adalah otot. Makin besar modalnya, makin berotot bank tersebut, makin kuat pula tenaga yang dimiliki suatu bank untuk bertarung, berperan dalam perputaran ekonomi nasional. Dengan ditolaknya PMN oleh DPR, rasio kecukupan modal Bank Mandiri kini hanya sekitar 16,22% atau di bawah persyaratan kelayakan perbankan ASEAN (Qualified ASEAN Bank, QAB) yang pada tahun 2019 nilainya dipatok minimal 17,5%.
Jika dana PMN tadi masuk, modal Bank Mandiri akan mencapai lebih dari Rp100 triliun dan nilai QAB-nya menjadi lebih dari 17%. Ini membuat Bank Mandiri cukup leluasa untuk mengejar target QAB 17,5% pada 2019. Kini, dengan ditolaknya PMN oleh DPR, agar bisa bersaing dengan bank-bank se- ASEAN, Bank Mandiri mesti putar otak untuk memperbesar modalnya. Tapi bagi saya, kalau Indonesia mau maju dan menolong pengusaha domestik menjadi pemain yang kuat di dalam negeri dan berperan serta dalam industrialisasi yang dicanangkan pemerintahan baru, sektor keuangan harus diperkuat.
Mungkin kita juga tak cukup menyatukan semua bank BUMN dalam satu wadah, melainkan semua lembaga keuangan. Bukankah bank dan asuransi sudah banyak yang berjalan bersama-sama? Belum lagi modal ventura, dan sebagainya. Bayangkan kalau semua urusan regulasi bisa kita sederhanakan dan kekuatannya bisa kita padukan.
Kekuatan Ekonomi Yahudi
Saya ajak Anda sedikit keluar dari konteks. Kebetulan minggu lalu saya diminta berbicara di depan Dewan Analis Strategis Badan Intelijen Negara tentang kiprah multinational corporations (MNC). Ketika menelisik MNC, di situ mau tak mau saya menarik dua kekuatan, yaitu GAFA (MNC terbarukan yang terdiri atas Google, Apple, Facebook, dan Amazon) serta peran penting sektor keuangan.
Tapi baiklah kita pelajari bagaimana bangsabangsa besar tumbuh menjadi penguasa ekonomi global. Jawaban dari semua itu, perkuat lembaga keuangan dengan modal yang terus diperbesar. Karena lembaga keuangannya kuatlah maka GAFA juga tumbuh. Bayangkan dengan hanya total 252.000 pegawai, keempat perusahaan besar GAFA berhasil meraih revenue setara dengan GDP Denmark (USD330 miliar). Padahal GDP sebesar itu hasil dari penduduk yang jumlahnya 10 kali lipat karyawan GAFA.
Sekarang saya ajak Anda menelisik gurita ekonomi keuangan keluarga besar Yahudi. Mudahnya kita ambil saja jaringan usaha keluarga Rothschilds yang namanya populer belum lama ini. Bisnis keuangan keluarga Rothschilds dimulai abad pada ke-18 di Frankfurt, dan diteruskan oleh kelima penerusnya di lima kota keuangan penting di Eropa: Frankfurt, London, Viena, Paris, dan Naples.
Dari industri keuangan itu mereka menguasai jaringan perbankan di Swiss, asuransi dunia, pertambangan (Rio Tinto dan de Beers) dan industri-industri ternama dunia. Sektor keuangan yang kuat menjadikan jejak langkah keluarga Rothschilds sulit dihindari dari berbagai peristiwa penting dunia. Kekaisaran Jepang pun, misalnya, mendapatkan pembiayaan perang di awal abad 20 dari jaringan perbankan keluarga Rothschilds.
Mereka juga memiliki hubungan yang erat dengan tycoon minyak, Rockefeller yang juga menguasai sejumlah jaringan keuangan dunia. Singkat cerita, keluarga-keluarga ternama dunia adalah keluarga yang didukung oleh industri keuangan yang canggih dan modern. Anda mungkin masih ingat hampir semua konglomerat dunia apakah di Jepang, Korea, maupun di sini menjadi besar berkat dukungan industri keuangan.
Maka dari itu, wajar saja kalau ASEAN pun meraih pertumbuhan melalui dukungan sektor keuangan yang kuat. Sekali lagi, bukan industri yang dimulai, melainkan prudential banking industry. Ya, banking diperkuat untuk memperkuat industri. Ini tampaknya masih berkebalikan dengan cara berpikir sebagian besar politisi kita.
Jangan Ulang Masa Lalu
Buat saya, penolakan DPR untuk PMN bagi Bank Mandiri memang agak mengherankan. Apalagi dengan alasan itu belum menjadi prioritas. Bukankah sejak dulu kita sudah mewacanakan perlunya memiliki bank yang besar—termasuk modalnya. Bayangan saya begini. Kalau Bank Mandiri dan bank BUMN lain mendapatkan kucuran dana PMN, modal mereka akan bertambah. Itu artinya mereka akan mempunyai modal yang cukup untuk me-leverage kredit dalam jumlah besar.
Buat saya, dalam masa sekarang, hal ini menjadi penting karena di era pemerintahan SBY kita lihat kerja pemerintah boleh dibilang lambat. Itu setidaktidaknya tecermin dari serapan dana APBN. Untuk tahun lalu, misalnya, sampai kuartal I- 2014, serapan anggarannya baru mencapai Rp7,8 triliun dari total yang tersedia Rp184,2 triliun. Jumlah tersebut tak sampai 5%-nya. Kinerja tersebut malah lebih buruk dibandingkan dengan serapan anggaran untuk tahun 2013 yang masih bisa hampir mencapai 6%.
Jadi, alokasi PMN ke bankbank BUMN bisa menjadi alternatif lain dari seretnya penyerapan dana melalui mesin birokrasi. Kalau dana tak mengucur ke bawah, dalam bentuk berbagai proyek, bukankah itu sama saja tak ada lapangan pekerjaan di masyarakat. Kita tentu tak mau kondisi semacam ini terjadi.
Kalau modal bank-bank kita bertambah berkat kucuran dana PMN, itu artinya bankbank tersebut akan semakin mampu membiayai proyekproyek bersifat jangka panjang. Di antaranya dalam bentuk proyek- proyek infrastruktur. Bagi saya, kemampuan semacam ini menjadi penting. Saya tidak ingin kejadian di masa lalu berulang kembali. Dulu banyak proyek infrastruktur kita didanai pihak asing.
Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga keuangan asing yang bertindak sebagai kreditur kemudian menetapkan sejumlah persyaratan. Misalnya kontraktornya harus dari negara asal bank kreditur. Begitu pula dengan konsultan proyeknya. Bahkan bukan hanya itu. Mesin-mesin dan berbagai produk teknologi yang terkait dengan pembangunan proyek tersebut juga kerap kali ditentukan oleh pihak kreditur. Maka, jadilah kontraktorkontraktor kita hanya menjadi subkontraktor.
Bahkan mungkin sub dari subkontraktor. Konsultan atau tenaga ahli kita pun tidak kebagian peran. Kalaupun ada porsi kita, mungkin itu hanya untuk pekerjaan kasar. Kita tentu tak mau kondisi semacam itu berulang.
Tapi, entah mengapa aspirasi kita kerap kali tidak nyambung dengan keputusan wakil-wakil kita yang ada di DPR. Salah siapa ya? Saya berharap di tahun mendatang putusan penting itu justru diberikan ke lembaga perbankan, untuk menjadi motor bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Persetujuan DPR tentang penyertaan modal negara (PMN) dalam APBN Perubahan 2015 menyisakan banyak cerita.
Namun, sebuah proses melalui parlemen telah kita lalui dan semoga ini menjadi era baru bagi peremajaan BUMN Indonesia yang sudah lama kita tunggu. Di tangan mantan CEO Astra International yang sukses mengawal transformasi di masa sulit, saya yakin BUMN Indonesia bisa mengimbangi BUMN asing yang semakin bertaji.
Sebagai profesional, Rini M Soemarno bisa saja dimusuhi para politisi seperti yang pernah dialami Sri Mulyani di era SBY. Harap maklum, BUMN memang menarik untuk diperebutkan. Tetapi, spirit profesionalismenya saya kira tak perlu kita ragukan. Maka, menarik melihat bagaimana PMN kali ini bergulir untuk memperkuat pembangunan melalui BUMN.
Geliat BUMN ASEAN
Bukannya apa-apa, menyangkut soal daya saing bangsa kita ini termasuk yang paling lama merespons perubahan, bahkan paling kurang gebrakan. Bayangkan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ujung mata. Ingat ya, ini masyarakat ekonomi konsepnya, bukan sekadar AFTA atau kawasan perdagangan bebas. Artinya dibutuhkan sinkronisasi kelembagaan. Nah, berkaitan dengan itulah BUMN di ASEAN pun berubah. Itu bahkan sudah dilakukan tetangga kita sejak 1990-an.
Bayangkan Kementerian Keuangan Malaysia sudah dibentuk menjadi semacam PT sejak 1993. Ini berarti dari segi akuntansi keuangan negara, aset-aset yang dilimpahkan ke BUMN di sana menjadi tak serumit seperti di sini. Ini semua tentu amat tergantung pada wawasan dan kepentingan yang diemban para politisi: apakah rela membuat BUMN negerinya tumbuh besar dan lepas dari campur tangannya, atau masih ingin mencari celah untuk ”bermain”. Kedewasaan berpolitik, integritas, ditambah kemampuan berpikir strategis sangat menentukan pilihan yang diambil.
Dengan bekal itu para politisi Malaysia sepakat melepas badanbadan usaha yang tidak strategis dan menjadikan usaha-usaha strategis benar-benarprofesionaldenganaturan yang jelas. Mereka juga mengawal konsistensidantabumembiarkanbirokrasi mengelola BUMN. Hasilnya Anda lihat sendiri. Betapa powerful-nya Khazanah. Maka saya senang ketika mendengar salah satu program yang serius dikerjakan menteri BUMN saat ini adalah merampungkan RUU BUMN agar benar-benar mampu menjawab tantangan zaman.
Perkuat BUMN Keuangan
Ada tiga BUMN yang sama sekali tidak dapat jatah PMN, yakni PT Djakarta Lloyd, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan PT Bank Mandiri Tbk. Kalau Djakarta Lloyd saya bisa paham. BUMN itu sedang menghadapi masalah hukum akibat utangnya yangbertimbundisana-sini.
Saat ini status hukum Djakarta Lloyd dalam masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Saham pemerintah di sana sudah berkurang hingga 29%. Jadi pemberian PMN untuk perusahaan bermasalah sangat berisiko. Akan halnya RNI, Komisi VI DPR menilai usulan bisnisnya masih kurang jelas. Perlu lebih dipertajam. Mungkin yang agak menarik adalah Bank Mandiri. Ini karena pengajuan dana PMN untuk bank itu lumayan jumbo, mencapai Rp5,6 triliun.
Tapi, anggota DPR menilai PMN bagi Bank Mandiri belum menjadi prioritas. Setidaktidaknya untuk tahun ini. Dengan penolakan tersebut perjalanan perbankan Indonesia untuk menjadi agent of change dalam pembangunan ekonomi Indonesia jadi semakin panjang. Sejatinya penambahan modal itu menjadi penting agar Bank Mandiri semakin powerful dalam menghadapi era MEA. Di Indonesia, Bank Mandiri memang bank yang terbesar dari sisi modal.
Namun, ketika dijajarkan dengan bank-bank asal negara tetangga, Bank Mandiri belum ada apa-apanya. Coba saja Anda lihat daftarnya. Peringkat pertama bank dengan modal terbesar di ASEAN adalah Bank DBS (Singapura, USD26,3 miliar), lalu OCBC (Singapura, USD20,2 miliar), UOB (Singapura, USD18,4 miliar), Maybank (Malaysia, USD10,5 miliar), CIMB (Malaysia, USD8,7 miliar), Bangkok Bank (Thailand, USD7,8 miliar), dan baru Bank Mandiri (Indonesia, USD6,7 miliar).
Bagi perbankan, modal adalah otot. Makin besar modalnya, makin berotot bank tersebut, makin kuat pula tenaga yang dimiliki suatu bank untuk bertarung, berperan dalam perputaran ekonomi nasional. Dengan ditolaknya PMN oleh DPR, rasio kecukupan modal Bank Mandiri kini hanya sekitar 16,22% atau di bawah persyaratan kelayakan perbankan ASEAN (Qualified ASEAN Bank, QAB) yang pada tahun 2019 nilainya dipatok minimal 17,5%.
Jika dana PMN tadi masuk, modal Bank Mandiri akan mencapai lebih dari Rp100 triliun dan nilai QAB-nya menjadi lebih dari 17%. Ini membuat Bank Mandiri cukup leluasa untuk mengejar target QAB 17,5% pada 2019. Kini, dengan ditolaknya PMN oleh DPR, agar bisa bersaing dengan bank-bank se- ASEAN, Bank Mandiri mesti putar otak untuk memperbesar modalnya. Tapi bagi saya, kalau Indonesia mau maju dan menolong pengusaha domestik menjadi pemain yang kuat di dalam negeri dan berperan serta dalam industrialisasi yang dicanangkan pemerintahan baru, sektor keuangan harus diperkuat.
Mungkin kita juga tak cukup menyatukan semua bank BUMN dalam satu wadah, melainkan semua lembaga keuangan. Bukankah bank dan asuransi sudah banyak yang berjalan bersama-sama? Belum lagi modal ventura, dan sebagainya. Bayangkan kalau semua urusan regulasi bisa kita sederhanakan dan kekuatannya bisa kita padukan.
Kekuatan Ekonomi Yahudi
Saya ajak Anda sedikit keluar dari konteks. Kebetulan minggu lalu saya diminta berbicara di depan Dewan Analis Strategis Badan Intelijen Negara tentang kiprah multinational corporations (MNC). Ketika menelisik MNC, di situ mau tak mau saya menarik dua kekuatan, yaitu GAFA (MNC terbarukan yang terdiri atas Google, Apple, Facebook, dan Amazon) serta peran penting sektor keuangan.
Tapi baiklah kita pelajari bagaimana bangsabangsa besar tumbuh menjadi penguasa ekonomi global. Jawaban dari semua itu, perkuat lembaga keuangan dengan modal yang terus diperbesar. Karena lembaga keuangannya kuatlah maka GAFA juga tumbuh. Bayangkan dengan hanya total 252.000 pegawai, keempat perusahaan besar GAFA berhasil meraih revenue setara dengan GDP Denmark (USD330 miliar). Padahal GDP sebesar itu hasil dari penduduk yang jumlahnya 10 kali lipat karyawan GAFA.
Sekarang saya ajak Anda menelisik gurita ekonomi keuangan keluarga besar Yahudi. Mudahnya kita ambil saja jaringan usaha keluarga Rothschilds yang namanya populer belum lama ini. Bisnis keuangan keluarga Rothschilds dimulai abad pada ke-18 di Frankfurt, dan diteruskan oleh kelima penerusnya di lima kota keuangan penting di Eropa: Frankfurt, London, Viena, Paris, dan Naples.
Dari industri keuangan itu mereka menguasai jaringan perbankan di Swiss, asuransi dunia, pertambangan (Rio Tinto dan de Beers) dan industri-industri ternama dunia. Sektor keuangan yang kuat menjadikan jejak langkah keluarga Rothschilds sulit dihindari dari berbagai peristiwa penting dunia. Kekaisaran Jepang pun, misalnya, mendapatkan pembiayaan perang di awal abad 20 dari jaringan perbankan keluarga Rothschilds.
Mereka juga memiliki hubungan yang erat dengan tycoon minyak, Rockefeller yang juga menguasai sejumlah jaringan keuangan dunia. Singkat cerita, keluarga-keluarga ternama dunia adalah keluarga yang didukung oleh industri keuangan yang canggih dan modern. Anda mungkin masih ingat hampir semua konglomerat dunia apakah di Jepang, Korea, maupun di sini menjadi besar berkat dukungan industri keuangan.
Maka dari itu, wajar saja kalau ASEAN pun meraih pertumbuhan melalui dukungan sektor keuangan yang kuat. Sekali lagi, bukan industri yang dimulai, melainkan prudential banking industry. Ya, banking diperkuat untuk memperkuat industri. Ini tampaknya masih berkebalikan dengan cara berpikir sebagian besar politisi kita.
Jangan Ulang Masa Lalu
Buat saya, penolakan DPR untuk PMN bagi Bank Mandiri memang agak mengherankan. Apalagi dengan alasan itu belum menjadi prioritas. Bukankah sejak dulu kita sudah mewacanakan perlunya memiliki bank yang besar—termasuk modalnya. Bayangan saya begini. Kalau Bank Mandiri dan bank BUMN lain mendapatkan kucuran dana PMN, modal mereka akan bertambah. Itu artinya mereka akan mempunyai modal yang cukup untuk me-leverage kredit dalam jumlah besar.
Buat saya, dalam masa sekarang, hal ini menjadi penting karena di era pemerintahan SBY kita lihat kerja pemerintah boleh dibilang lambat. Itu setidaktidaknya tecermin dari serapan dana APBN. Untuk tahun lalu, misalnya, sampai kuartal I- 2014, serapan anggarannya baru mencapai Rp7,8 triliun dari total yang tersedia Rp184,2 triliun. Jumlah tersebut tak sampai 5%-nya. Kinerja tersebut malah lebih buruk dibandingkan dengan serapan anggaran untuk tahun 2013 yang masih bisa hampir mencapai 6%.
Jadi, alokasi PMN ke bankbank BUMN bisa menjadi alternatif lain dari seretnya penyerapan dana melalui mesin birokrasi. Kalau dana tak mengucur ke bawah, dalam bentuk berbagai proyek, bukankah itu sama saja tak ada lapangan pekerjaan di masyarakat. Kita tentu tak mau kondisi semacam ini terjadi.
Kalau modal bank-bank kita bertambah berkat kucuran dana PMN, itu artinya bankbank tersebut akan semakin mampu membiayai proyekproyek bersifat jangka panjang. Di antaranya dalam bentuk proyek- proyek infrastruktur. Bagi saya, kemampuan semacam ini menjadi penting. Saya tidak ingin kejadian di masa lalu berulang kembali. Dulu banyak proyek infrastruktur kita didanai pihak asing.
Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga keuangan asing yang bertindak sebagai kreditur kemudian menetapkan sejumlah persyaratan. Misalnya kontraktornya harus dari negara asal bank kreditur. Begitu pula dengan konsultan proyeknya. Bahkan bukan hanya itu. Mesin-mesin dan berbagai produk teknologi yang terkait dengan pembangunan proyek tersebut juga kerap kali ditentukan oleh pihak kreditur. Maka, jadilah kontraktorkontraktor kita hanya menjadi subkontraktor.
Bahkan mungkin sub dari subkontraktor. Konsultan atau tenaga ahli kita pun tidak kebagian peran. Kalaupun ada porsi kita, mungkin itu hanya untuk pekerjaan kasar. Kita tentu tak mau kondisi semacam itu berulang.
Tapi, entah mengapa aspirasi kita kerap kali tidak nyambung dengan keputusan wakil-wakil kita yang ada di DPR. Salah siapa ya? Saya berharap di tahun mendatang putusan penting itu justru diberikan ke lembaga perbankan, untuk menjadi motor bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
(ars)