Teka-teki di Balik Sikap Presiden
A
A
A
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik Budi Gunawan menjadi kepala Polri, disertai pengajuan calon kepala Polri lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap demikian diprediksi tidak akan menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu meningkatkan kualitas penyelenggaraan negara hukum.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus berkelanjutan. Mungkin dalam intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan panas, setiap komponen bangsa wajib terus waspada. Dalam terminologi akademis, sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya tentang konsep bernegara hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah dari politik, dan masingmasing berdiri sendiri.
(2) Penegakanhukumditumpukan kepada hukum positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi sosial, sehingga legalitas dipandang penting, sementara legitimitas dikesampingkan. (3) Moralitas berbangsa dipisahkan dari praktik penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya sebagian besar politikus dan penegak hukum di negeri ini memiliki pandangan serupa dan mengamini sikap Presiden tersebut.
Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan praktik politik, terasa adanya kejanggalan dengan sikap dan pandangan tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting dan mendasar, sebagai sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana ajaran hukum klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.
Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu memperkaya ilmu hukum secara utuh dan memadukannya dengan nilai-nilai moral Pancasila untuk penyelenggaraan negara hukum, sangat dikhawatirkan jurang pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat semakin lebar, dan citacita bernegara pun semakin jauh dari harapan.
Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap KPK dan penggiat antikorupsi, sementara Presiden tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya? Publik mendukung sikap Presiden tidak melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik mengecam sikap Presiden tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.
Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo sebagai petugas partai begitu menonjol, sementara posisi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan begitu lemah? Mengapa pula, wawasan kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik? Pertanyaan senada tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait dengan persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan Presiden?
Sungguh amat disayangkan bila manuver politik hanya demi kepentingan partai, dalam rangka bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang diperoleh, ujungujungnya duit, tetapi melalaikan kepentingan bangsa. Aneh dan terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis seorang hakim praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis.
Benarkah hakim praperadilan netral, mampu menjaga moralitas dan profesionalitas, imun dari tekanan politik dan teror? Rakyat sangat khawatir mengenai hal ini, jangan- jangan vonis kontroversial, lahir dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial hendaknya mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim praperadilan tersebut. Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.
Sekadar berbagi pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK, terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam ber-negara hukum, maka perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat dianalogikan sebagai benalu pada dahan atau ranting, sementara kanker pada pohon dan akar tidak disentuh untuk diobati.
Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya persoalan atap bocor, sementara fondasi dan pilarpilar rumah begitu rapuh, lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh sistem kenegaraan, apa pun keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan terhadap perbaikan negara hukum.
Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan bernegara hukum karena keterjebakan penyelenggara negara pada legalisme liberal. Apa itu? Paham yang meyakini bahwa keadilan, ketertiban, keteraturan dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui pembuatan dan penyelenggaraan sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached), independen, impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).
Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya Eropa barat dan cenderung individual-imperialistik itu, tidak match (cocok) dengan sistem hukum yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, seperti keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik religius. Kita insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai konsep bernegara hukum.
Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara negara mempelajari konsep legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di negeri sendiri. Akan tetapi, amat disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam pembelajaran tersebut. Budaya Barat, yang oleh sosiolog Belanda Bart van Steenbergen (1953) dikatakan memiliki kecenderungan memandang realitas secara dikotomis,
parsialistis, dan berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan, ternyata di-copy-paste dan dipraktikan dalam bernegara hukum di negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan, perseteruan antarkoalisi partai, Polri versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecahbelah. Di Amerika Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum, seperti: American concept, American doctrines, American approach, etc.
Amerika berani melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang seperti sekarang itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan, khususnya Supreme Court, antara lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang berwawasan kebangsaan.
Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi politik? Penyelesaian konflik Polri versus KPK dan pembenahan sistem bernegara hukum mestinya dilakukan segera secara holistis, mempertimbangkan aspek hukum, politik, sosial, dan moral kebangsaan secara utuh, dalam bingkai dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.
Guru Besar Ilmu Hukum dan
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik Budi Gunawan menjadi kepala Polri, disertai pengajuan calon kepala Polri lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap demikian diprediksi tidak akan menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu meningkatkan kualitas penyelenggaraan negara hukum.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus berkelanjutan. Mungkin dalam intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan panas, setiap komponen bangsa wajib terus waspada. Dalam terminologi akademis, sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya tentang konsep bernegara hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah dari politik, dan masingmasing berdiri sendiri.
(2) Penegakanhukumditumpukan kepada hukum positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi sosial, sehingga legalitas dipandang penting, sementara legitimitas dikesampingkan. (3) Moralitas berbangsa dipisahkan dari praktik penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya sebagian besar politikus dan penegak hukum di negeri ini memiliki pandangan serupa dan mengamini sikap Presiden tersebut.
Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan praktik politik, terasa adanya kejanggalan dengan sikap dan pandangan tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting dan mendasar, sebagai sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana ajaran hukum klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.
Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu memperkaya ilmu hukum secara utuh dan memadukannya dengan nilai-nilai moral Pancasila untuk penyelenggaraan negara hukum, sangat dikhawatirkan jurang pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat semakin lebar, dan citacita bernegara pun semakin jauh dari harapan.
Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap KPK dan penggiat antikorupsi, sementara Presiden tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya? Publik mendukung sikap Presiden tidak melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik mengecam sikap Presiden tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.
Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo sebagai petugas partai begitu menonjol, sementara posisi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan begitu lemah? Mengapa pula, wawasan kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik? Pertanyaan senada tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait dengan persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan Presiden?
Sungguh amat disayangkan bila manuver politik hanya demi kepentingan partai, dalam rangka bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang diperoleh, ujungujungnya duit, tetapi melalaikan kepentingan bangsa. Aneh dan terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis seorang hakim praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis.
Benarkah hakim praperadilan netral, mampu menjaga moralitas dan profesionalitas, imun dari tekanan politik dan teror? Rakyat sangat khawatir mengenai hal ini, jangan- jangan vonis kontroversial, lahir dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial hendaknya mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim praperadilan tersebut. Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.
Sekadar berbagi pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK, terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam ber-negara hukum, maka perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat dianalogikan sebagai benalu pada dahan atau ranting, sementara kanker pada pohon dan akar tidak disentuh untuk diobati.
Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya persoalan atap bocor, sementara fondasi dan pilarpilar rumah begitu rapuh, lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh sistem kenegaraan, apa pun keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan terhadap perbaikan negara hukum.
Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan bernegara hukum karena keterjebakan penyelenggara negara pada legalisme liberal. Apa itu? Paham yang meyakini bahwa keadilan, ketertiban, keteraturan dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui pembuatan dan penyelenggaraan sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached), independen, impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).
Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya Eropa barat dan cenderung individual-imperialistik itu, tidak match (cocok) dengan sistem hukum yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, seperti keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik religius. Kita insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai konsep bernegara hukum.
Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara negara mempelajari konsep legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di negeri sendiri. Akan tetapi, amat disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam pembelajaran tersebut. Budaya Barat, yang oleh sosiolog Belanda Bart van Steenbergen (1953) dikatakan memiliki kecenderungan memandang realitas secara dikotomis,
parsialistis, dan berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan, ternyata di-copy-paste dan dipraktikan dalam bernegara hukum di negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan, perseteruan antarkoalisi partai, Polri versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecahbelah. Di Amerika Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum, seperti: American concept, American doctrines, American approach, etc.
Amerika berani melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang seperti sekarang itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan, khususnya Supreme Court, antara lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang berwawasan kebangsaan.
Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi politik? Penyelesaian konflik Polri versus KPK dan pembenahan sistem bernegara hukum mestinya dilakukan segera secara holistis, mempertimbangkan aspek hukum, politik, sosial, dan moral kebangsaan secara utuh, dalam bingkai dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.
(bbg)