Momentum Revisi UU KPK
A
A
A
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK Jilid III dalam tindak pidana sebagaimana diungkap Bareskrim semakin mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan peristiwa kedua kali setelah peristiwa ”cicak versus buaya”.
Kendati demikian, mayoritas masyarakat khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi tidak percaya dan bahkan menuding sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK. Jika objektif dan jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS, penulis berpendapat bahwa ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang MK”, ketika dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara.
Sedangkan AS justru diduga telah menyuruh melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam posisi sebelum menjadi pimpinan KPK. Dari tempus delictikedua-duanya bukan pimpinan KPK sehingga tidaklah tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis mutandis pelemahan terhadap KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika tempus dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua pimpinan KPK Jilid III tersebut belum berstatus pimpinan KPK?
Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III saat ini telah memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan. Pertama, pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan komunikatif terhadap para ahli hukum pidana kecuali terhadap ahli hukum pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka tanpa reserve.
Kedua, penolakan permintaan audiensi para pengurus pusat Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah direspons dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan, sedangkan maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat membantu kinerja mereka.
Ketiga, pimpinan KPK telah buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur memperoleh sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM antikorupsi bahwa apa pun tindakan hukum yang dilakukannya telah ”on the right track” dan selalu benar. Sedangkan pihak-pihak yang berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke dalam kelompok anti-KPK dan antipemberantasan korupsi.
Keempat, pimpinan KPK dan kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari bahwatidakadamanusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka kelemahankelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki keimanan yang kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain, apalagi orang yang lebih tua dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dari mereka.
Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan bahwa hanya merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang lain sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri. Sedangkan tindakan hukum yang dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari sudut ahli hukum pidana ternyata tidak selamanya menaati asasasas hukum dan norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai yang berada di balik normanorma tersebut.
Keenam, ada pandangan keliru dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan hukum yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika benar dipahami) UU KPK hanyalah bersifat lex specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan semata-mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.
Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status ”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk pada Pasal 3 UU KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika disimak teliti Penjelasan Umum UU KPK khusus alinea pertama sampai alinea ketiga (halaman 26) antara lain dicantumkan,
”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi kepolisian dan kejaksaan menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada (kepolisian dan kejaksaan) sebagai ‘counterpartner’ yang kondusif; dan KPK tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.
Ketujuh, pimpinan KPK telah melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17 Oktober 2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur penegak hukum termasuk pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi ketentuan larangan penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).
Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai praperadilan yang terbatas pada lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan lima alasan permohonan praperadilan, di masa yang akan datang diselesaikan melalui sarana hukum peradilan administrasi negara sejalan dengan undang-undang tersebut.
Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan perlindungan hak asasi setiap orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan ketentuan Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Momentum peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari ”kriminalisasi” atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah dan DPR RI melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.
Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati pasal-pasal UU KPK yang rentan terhadap pelanggaran HAM dan memberikan rambu-rambu hukum yang dapat mempertahankan asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum penyelidikan dan penyidikan. Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan Dewan Pengawas untuk menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif sebagaimana diharapkan awal penyusunan UU KPK.
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK Jilid III dalam tindak pidana sebagaimana diungkap Bareskrim semakin mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan peristiwa kedua kali setelah peristiwa ”cicak versus buaya”.
Kendati demikian, mayoritas masyarakat khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi tidak percaya dan bahkan menuding sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK. Jika objektif dan jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS, penulis berpendapat bahwa ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang MK”, ketika dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara.
Sedangkan AS justru diduga telah menyuruh melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam posisi sebelum menjadi pimpinan KPK. Dari tempus delictikedua-duanya bukan pimpinan KPK sehingga tidaklah tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis mutandis pelemahan terhadap KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika tempus dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua pimpinan KPK Jilid III tersebut belum berstatus pimpinan KPK?
Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III saat ini telah memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan. Pertama, pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan komunikatif terhadap para ahli hukum pidana kecuali terhadap ahli hukum pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka tanpa reserve.
Kedua, penolakan permintaan audiensi para pengurus pusat Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah direspons dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan, sedangkan maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat membantu kinerja mereka.
Ketiga, pimpinan KPK telah buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur memperoleh sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM antikorupsi bahwa apa pun tindakan hukum yang dilakukannya telah ”on the right track” dan selalu benar. Sedangkan pihak-pihak yang berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke dalam kelompok anti-KPK dan antipemberantasan korupsi.
Keempat, pimpinan KPK dan kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari bahwatidakadamanusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka kelemahankelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki keimanan yang kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain, apalagi orang yang lebih tua dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dari mereka.
Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan bahwa hanya merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang lain sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri. Sedangkan tindakan hukum yang dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari sudut ahli hukum pidana ternyata tidak selamanya menaati asasasas hukum dan norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai yang berada di balik normanorma tersebut.
Keenam, ada pandangan keliru dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan hukum yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika benar dipahami) UU KPK hanyalah bersifat lex specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan semata-mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.
Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status ”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk pada Pasal 3 UU KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika disimak teliti Penjelasan Umum UU KPK khusus alinea pertama sampai alinea ketiga (halaman 26) antara lain dicantumkan,
”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi kepolisian dan kejaksaan menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada (kepolisian dan kejaksaan) sebagai ‘counterpartner’ yang kondusif; dan KPK tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.
Ketujuh, pimpinan KPK telah melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17 Oktober 2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur penegak hukum termasuk pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi ketentuan larangan penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).
Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai praperadilan yang terbatas pada lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan lima alasan permohonan praperadilan, di masa yang akan datang diselesaikan melalui sarana hukum peradilan administrasi negara sejalan dengan undang-undang tersebut.
Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan perlindungan hak asasi setiap orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan ketentuan Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Momentum peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari ”kriminalisasi” atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah dan DPR RI melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.
Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati pasal-pasal UU KPK yang rentan terhadap pelanggaran HAM dan memberikan rambu-rambu hukum yang dapat mempertahankan asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum penyelidikan dan penyidikan. Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan Dewan Pengawas untuk menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif sebagaimana diharapkan awal penyusunan UU KPK.
(bbg)