KPK vs Polri Pascavonis Praperadilan
A
A
A
Hiruk-pikuk polemik KPK vs Polri yang dalam beberapa waktu belakangan ini menjadi “tren” dan topik hangat di semua kalangan telah menemui babak akhir ketika gugatan praperadilan yang diajukan oleh kandidat “terkuat” kepala Polri, Komjen Pol Budi Gunawan (BG), dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan.
Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan tersebut telah menganulir penetapan status tersangka kepada BG yang dilakukan oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening gendut” yang dimiliki oleh BG ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode 2003-2006.
Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis praperadilan tersebut, banyak pro dan kontra yang merespons vonis tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam melihat realitas yang muncul atas vonis gugatan praperadilan itu. Salah satu isu yang cukup krusial dan esensial pascavonis praperadilan tersebut ialah adanya dorongan dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan dan melantik BG secara definitif sebagai kepala Polri.
Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak BG, terlepas dari pro dan kontra yang ada, tetaplah harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang rasional dan objektif. Penulis juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi dari vonis praperadilan ini.
Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan kontra terkait objek praperadilan sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 KUHAP, memang pada hakikatnya materi penetapan status tersangka di dalam hukum acara pidana tidaklah menjadi bagian objek dari praperadilan.
Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal ihwal pokok di dalam hukum acara pidana; dalam arti bahwa objek praperadilan, yakni penangkapan, penahanan, serta penghentian penuntutan atau penyidikan hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari hal ihwal pokok tersebut.
Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari proses hukum acara pidana, sedangkan penetapan status tersangka merupakan arus hulu dari rangkaian proses di dalam hukum acara pidana tersebut.Kerangka pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan ide pembaruan dan pembahasan RUUKUHAP diDPRperiodelalu.
Pada saat pembahasan memang telah diinisiasi untuk memperluas objek praperadilan, yang memang di dalam RUU KUHAP mekanisme yang ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk memperluas objek praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih menjamin pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana di dalam sistem peradilan pidana.
Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan kerangka pemikiran dan rasionalitas berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak diatur secara jelas di dalam KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka terhadap seseorang tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.
Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden, memiliki hak prerogatif di dalam polemik penetapan status definitif kepala Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat dimaknai sebagai hak mutlak yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon kepala Polri. Artinya, hak prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal seleksi penentuan nama-nama calon kepala Polri yang akan diajukan kepada DPR (lihat Pasal 11 UU Kepolisian).
Dalam konteks polemik BG, Presiden telah menggunakanhakprerogatiftersebut secara penuh ketika justru hanya mengirimkan satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang selanjutnya akan mengikuti fit and proper test di parlemen. Secara logis, hak prerogatif tersebut tidak serta-merta memiliki standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di parlemen (DPR); sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif (presiden).
Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil persetujuan DPR, seketika setelah DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala Polri yang diajukan oleh Presiden, maka Presiden tinggal melantik kandidat yang telah disetujui oleh DPR tersebut (lihat Pasal 11 angka (2), (3), dan (4) UU Kepolisian).
Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait pelantikan BG sebagai kepala Polri secara rasional dapat dimaknai bukan didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis, tetapi dapat dilihat dan dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian apabila mau dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas penetapan status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak (imparsial).
Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi kondisi yang dapat membenarkan penundaan ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai Kepala Polri. Dalam hal ini tentu jikalau menggunakan rasionalitas berpikir yang objektif, semua pihak tidaklah dapat meragukan ataupun menyanggah keputusan dari pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan peradilan yang dilakukan oleh pihak BG.
Sebab, lembaga peradilan merupakan lembaga yang independen, bebas, dan tidak memihak (imparsial)–sehingga produk pengadilan sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan tersebut haruslah dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun bersesuaian dengan asas res judicata pro veritate habetur yangberartibahwa putusan hakim (vonis pengadilan) haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkan putusan tersebut.
Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas antara penundaan pelantikan BG dengan vonis akhir dari putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka dengan dianulirnya status tersangka kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan praperadilan yang diajukan terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan atau pun batu ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.
Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk pengadilan sebagaimana diuraikan sebelumnya memiliki poin penting guna memenuhi stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan. Catatan penting bagi pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera melantik BG sebagai kepala Polri (definitif ) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang terjadi dan resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.
Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat segera mengembalikan stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan yang mana cukup terganggu atas polemik yang terjadi antara KPK dan Polri.
AHMAD YANI
Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B)
Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan tersebut telah menganulir penetapan status tersangka kepada BG yang dilakukan oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening gendut” yang dimiliki oleh BG ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode 2003-2006.
Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis praperadilan tersebut, banyak pro dan kontra yang merespons vonis tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam melihat realitas yang muncul atas vonis gugatan praperadilan itu. Salah satu isu yang cukup krusial dan esensial pascavonis praperadilan tersebut ialah adanya dorongan dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan dan melantik BG secara definitif sebagai kepala Polri.
Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak BG, terlepas dari pro dan kontra yang ada, tetaplah harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang rasional dan objektif. Penulis juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi dari vonis praperadilan ini.
Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan kontra terkait objek praperadilan sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 KUHAP, memang pada hakikatnya materi penetapan status tersangka di dalam hukum acara pidana tidaklah menjadi bagian objek dari praperadilan.
Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal ihwal pokok di dalam hukum acara pidana; dalam arti bahwa objek praperadilan, yakni penangkapan, penahanan, serta penghentian penuntutan atau penyidikan hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari hal ihwal pokok tersebut.
Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari proses hukum acara pidana, sedangkan penetapan status tersangka merupakan arus hulu dari rangkaian proses di dalam hukum acara pidana tersebut.Kerangka pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan ide pembaruan dan pembahasan RUUKUHAP diDPRperiodelalu.
Pada saat pembahasan memang telah diinisiasi untuk memperluas objek praperadilan, yang memang di dalam RUU KUHAP mekanisme yang ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk memperluas objek praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih menjamin pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana di dalam sistem peradilan pidana.
Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan kerangka pemikiran dan rasionalitas berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak diatur secara jelas di dalam KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka terhadap seseorang tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.
Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden, memiliki hak prerogatif di dalam polemik penetapan status definitif kepala Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat dimaknai sebagai hak mutlak yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon kepala Polri. Artinya, hak prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal seleksi penentuan nama-nama calon kepala Polri yang akan diajukan kepada DPR (lihat Pasal 11 UU Kepolisian).
Dalam konteks polemik BG, Presiden telah menggunakanhakprerogatiftersebut secara penuh ketika justru hanya mengirimkan satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang selanjutnya akan mengikuti fit and proper test di parlemen. Secara logis, hak prerogatif tersebut tidak serta-merta memiliki standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di parlemen (DPR); sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif (presiden).
Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil persetujuan DPR, seketika setelah DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala Polri yang diajukan oleh Presiden, maka Presiden tinggal melantik kandidat yang telah disetujui oleh DPR tersebut (lihat Pasal 11 angka (2), (3), dan (4) UU Kepolisian).
Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait pelantikan BG sebagai kepala Polri secara rasional dapat dimaknai bukan didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis, tetapi dapat dilihat dan dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian apabila mau dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas penetapan status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak (imparsial).
Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi kondisi yang dapat membenarkan penundaan ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai Kepala Polri. Dalam hal ini tentu jikalau menggunakan rasionalitas berpikir yang objektif, semua pihak tidaklah dapat meragukan ataupun menyanggah keputusan dari pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan peradilan yang dilakukan oleh pihak BG.
Sebab, lembaga peradilan merupakan lembaga yang independen, bebas, dan tidak memihak (imparsial)–sehingga produk pengadilan sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan tersebut haruslah dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun bersesuaian dengan asas res judicata pro veritate habetur yangberartibahwa putusan hakim (vonis pengadilan) haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkan putusan tersebut.
Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas antara penundaan pelantikan BG dengan vonis akhir dari putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka dengan dianulirnya status tersangka kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan praperadilan yang diajukan terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan atau pun batu ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.
Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk pengadilan sebagaimana diuraikan sebelumnya memiliki poin penting guna memenuhi stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan. Catatan penting bagi pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera melantik BG sebagai kepala Polri (definitif ) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang terjadi dan resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.
Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat segera mengembalikan stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan yang mana cukup terganggu atas polemik yang terjadi antara KPK dan Polri.
AHMAD YANI
Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B)
(bhr)