Desain Produk dan Value-Based-Economy
A
A
A
Pencetus gagasan value-based economy dapat kita telusuri dari pemikir-pemikir ekonomi yang tergabung dalam Austrian School pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sejumlah nama seperti Carl Menger, Friedrich von Wieser, Ludwig von Mises, Friedrich von Hayek, bahkan sampai Joseph Schumpeter secara kolektif menggagas pentingnya nilai (value) dalam sistem perekonomian. Gagasan mereka sekaligus membedakan dalam perspektif neoklasik bahwa nilai suatu barang bersifat independen dari konsumen dan inheren dari karakteristik dasar material (bahan baku).
Menurut Austrian-School, nilai sebuah produk merupakan upaya engineering, perekayasaan dan inovasikreatif untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk atau jasa. Upaya ini sekaligus memberikan dasar filosofis konsep diferensiasi yang kita kenal saat ini. Di tengah kompetisi ekonomi yang semakin terbuka, baik di tingkat global maupunregional, strategidankebijakan nasional untuk meningkatkan nilai tambah (value-added) dari produk dan jasa yang dihasilkan menjadi semakin krusial.
Banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan kebijakan nasional dan industri untuk meningkatkan nilai tambah merupakan sumber dari keunggulan bersaing suatu negara (competitive-advantage). Negara-negara di Skandinavia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat, India, dan China seriusmeningkatkannilaitambah produk atau jasa yang dihasilkan. Salah satu kebijakan unggulan yang mereka lakukan adalah menjadikan sekaligus mendorong “desain-produk” dan “desain-industri” bagian penting dan strategis dalam sistem rantai produksi.
Misalnya saja pada 2003 Pemerintah Selandia Baru menginvestasikan tidak kurang dari 10 juta dolar Selandia Baru selama lima tahun untuk diseminasi informasi tentang desain sekaligus membantu banyak perusahaan Selandia Baru untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. India pada 2007 juga meluncurkan program yang disebut National Design Strategy untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, penggunaan desain untuk UMKM, intellectual property, national branding, dan memperbaiki desain produk ekspor mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Taiwan melalui Cultural and Creative Industries Development Plan untuk meningkatkan kualitas produk industri melalui serangkaian aktivitas dari mulai inovasi, desain, dan branding . Di kawasan ASEAN, sejak 2003 Pemerintah Singapura juga telah meluncurkan program yang dikenal sebagai Design Singapore Initiative. Inisiatif yang diambil oleh Pemerintah Singapura ditujukan utamanya untuk meningkatkan kualitas desain produk dan industri sehingga aktivitas ini menjadi budaya masyarakat Singapura.
Bila produk dan merek Korea Selatan saat ini memiliki reputasi unggul dan menjadi standar industri global (misalnya Samsung, KIA, Daewoo, Hyundai), tidaklah mengherankan karena Pemerintah Korea Selatan telah lama mengampanyekan sebuah program terintegrasi tentang pentingnya desain bagi industri. Rencana lima tahunan tentang desain telah dilakukan oleh Korea Selatan sejak 1993 untuk meningkatkan kesadaran dan manfaat akan desain terhadap daya saing produk mereka.
Banyak studi ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka yang menguasai desain dalam rantai produksi akan mengambil bagian profit yang paling besar. Misalnya studi yang dilakukan Dedrick et al (2008) menunjukkan, dalam porsi pembagian keuntungan yang diterima oleh pihak yang terlibat dalam iPod dan notebook , Apple mendapatkan keuntungan terbesar dibandingkan dengan pemasok, distributor, perakit (assembler) dan peritel.
Salah satu faktor yang menjelaskan ini adalah kemampuan Apple me-redesign produk secara inovatif menyesuaikan seiring pergeseran kebutuhan masyarakat akan perangkat musik portabel. Kompetensi inilah yang membuat bargaining power Apple jauh lebih kuat dibandingkan dengan pihakpihak yang terlibat dalam pembuatan perangkat tersebut.
Belajar dari pengalaman sejumlah negara dan perusahaan multinasional, sudah saatnya Indonesia melihat lebih serius peran “desain” terhadap penciptaan daya saing produk dan industri nasional. Realitas saat ini menunjukkan bahwa untuk industri automotif nasional, sebagian besar produk yang dihasilkan masih menggantungkan pada “design product “ dari negara lain.
Fenomena yang sama juga kita temui di sejumlah produk elektronik, sepatu, consumers-product, dan produk tekstil. Sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia memosisikan diri sebagai unit produksi dan perakitan. Sehingga, tidaklah mengherankan bila margin keuntungan dalam rantai produksi terhadap produk tersebut relatif kecil yang diterima oleh pihak Indonesia dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki hak paten dan desain produk tersebut.
Selain itu juga, kurang berkembangnya “design-product “ di Indonesia membuat terbatasnya munculnya produk dan merek asli Indonesia. Padahal bakat-bakat kreatif dan inovatif yang dimiliki putra-putri Indonesia sangatlah luar biasa. Sejumlah sektor seperti industri kreatif misalnya batik dan tenun telah memunculkan produk dan brand asli Indonesia.
Namun, dalam industri lainnya seperti automotif, elektronik, sepatu, tekstil, dan consumersproduct masih membutuhkan dukungan dan dorongan dari Pemerintah Indonesia untuk bisa berkembang. Dukungan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan desain dalam proses produksi industri UMKM, menengah, dan besar akan meningkatkan daya saing produk nasional di tengah persaingan regional dan global.
Untuk mewujudkan sistem ekonomi berbasis nilai (value based economy), sudah saatnya kita beralih dari slogan “made in Indonesia “ menjadi “designed by Indonesia “ dan bahkan menjadi “brand of Indonesia“. Dari strategi yang menekankan hanya pada aspek produksi dan assembly menjadi negara yang juga memiliki kemampuan mengembangkan desain produk yang unggul, menarik, dan berdaya saing.
Seringkali ketika negara sudah mampu mengembangkan “design product “ secara komprehensif dan terpadu, fasilitas produksinya juga akan berkembang. Bahkan besar kemungkinan bila kemampuan “design-product “ dikuasai, akan semakin banyak perusahaan nasional yang memiliki fasilitas produksi di negara lain.
Dengan kata lain, perusahaan nasional naik kelas menjadi perusahaan regional atau multinasional. Namun, tidak sebaliknya, ketika suatu negara hanya fokus pada produksi dan perakitan, bukan berarti lantas negara tersebut akan maju dalam “design-product“.
Perusahaan multinasional biasanya akan tetap mempertahankan “desain” berada di headquarter dan menjadikan subsidiary di banyak negara sebagai unit produksi atau pemasaran. ?
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar FEB Universitas Indonesia
Sejumlah nama seperti Carl Menger, Friedrich von Wieser, Ludwig von Mises, Friedrich von Hayek, bahkan sampai Joseph Schumpeter secara kolektif menggagas pentingnya nilai (value) dalam sistem perekonomian. Gagasan mereka sekaligus membedakan dalam perspektif neoklasik bahwa nilai suatu barang bersifat independen dari konsumen dan inheren dari karakteristik dasar material (bahan baku).
Menurut Austrian-School, nilai sebuah produk merupakan upaya engineering, perekayasaan dan inovasikreatif untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk atau jasa. Upaya ini sekaligus memberikan dasar filosofis konsep diferensiasi yang kita kenal saat ini. Di tengah kompetisi ekonomi yang semakin terbuka, baik di tingkat global maupunregional, strategidankebijakan nasional untuk meningkatkan nilai tambah (value-added) dari produk dan jasa yang dihasilkan menjadi semakin krusial.
Banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan kebijakan nasional dan industri untuk meningkatkan nilai tambah merupakan sumber dari keunggulan bersaing suatu negara (competitive-advantage). Negara-negara di Skandinavia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat, India, dan China seriusmeningkatkannilaitambah produk atau jasa yang dihasilkan. Salah satu kebijakan unggulan yang mereka lakukan adalah menjadikan sekaligus mendorong “desain-produk” dan “desain-industri” bagian penting dan strategis dalam sistem rantai produksi.
Misalnya saja pada 2003 Pemerintah Selandia Baru menginvestasikan tidak kurang dari 10 juta dolar Selandia Baru selama lima tahun untuk diseminasi informasi tentang desain sekaligus membantu banyak perusahaan Selandia Baru untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. India pada 2007 juga meluncurkan program yang disebut National Design Strategy untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, penggunaan desain untuk UMKM, intellectual property, national branding, dan memperbaiki desain produk ekspor mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Taiwan melalui Cultural and Creative Industries Development Plan untuk meningkatkan kualitas produk industri melalui serangkaian aktivitas dari mulai inovasi, desain, dan branding . Di kawasan ASEAN, sejak 2003 Pemerintah Singapura juga telah meluncurkan program yang dikenal sebagai Design Singapore Initiative. Inisiatif yang diambil oleh Pemerintah Singapura ditujukan utamanya untuk meningkatkan kualitas desain produk dan industri sehingga aktivitas ini menjadi budaya masyarakat Singapura.
Bila produk dan merek Korea Selatan saat ini memiliki reputasi unggul dan menjadi standar industri global (misalnya Samsung, KIA, Daewoo, Hyundai), tidaklah mengherankan karena Pemerintah Korea Selatan telah lama mengampanyekan sebuah program terintegrasi tentang pentingnya desain bagi industri. Rencana lima tahunan tentang desain telah dilakukan oleh Korea Selatan sejak 1993 untuk meningkatkan kesadaran dan manfaat akan desain terhadap daya saing produk mereka.
Banyak studi ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka yang menguasai desain dalam rantai produksi akan mengambil bagian profit yang paling besar. Misalnya studi yang dilakukan Dedrick et al (2008) menunjukkan, dalam porsi pembagian keuntungan yang diterima oleh pihak yang terlibat dalam iPod dan notebook , Apple mendapatkan keuntungan terbesar dibandingkan dengan pemasok, distributor, perakit (assembler) dan peritel.
Salah satu faktor yang menjelaskan ini adalah kemampuan Apple me-redesign produk secara inovatif menyesuaikan seiring pergeseran kebutuhan masyarakat akan perangkat musik portabel. Kompetensi inilah yang membuat bargaining power Apple jauh lebih kuat dibandingkan dengan pihakpihak yang terlibat dalam pembuatan perangkat tersebut.
Belajar dari pengalaman sejumlah negara dan perusahaan multinasional, sudah saatnya Indonesia melihat lebih serius peran “desain” terhadap penciptaan daya saing produk dan industri nasional. Realitas saat ini menunjukkan bahwa untuk industri automotif nasional, sebagian besar produk yang dihasilkan masih menggantungkan pada “design product “ dari negara lain.
Fenomena yang sama juga kita temui di sejumlah produk elektronik, sepatu, consumers-product, dan produk tekstil. Sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia memosisikan diri sebagai unit produksi dan perakitan. Sehingga, tidaklah mengherankan bila margin keuntungan dalam rantai produksi terhadap produk tersebut relatif kecil yang diterima oleh pihak Indonesia dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki hak paten dan desain produk tersebut.
Selain itu juga, kurang berkembangnya “design-product “ di Indonesia membuat terbatasnya munculnya produk dan merek asli Indonesia. Padahal bakat-bakat kreatif dan inovatif yang dimiliki putra-putri Indonesia sangatlah luar biasa. Sejumlah sektor seperti industri kreatif misalnya batik dan tenun telah memunculkan produk dan brand asli Indonesia.
Namun, dalam industri lainnya seperti automotif, elektronik, sepatu, tekstil, dan consumersproduct masih membutuhkan dukungan dan dorongan dari Pemerintah Indonesia untuk bisa berkembang. Dukungan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan desain dalam proses produksi industri UMKM, menengah, dan besar akan meningkatkan daya saing produk nasional di tengah persaingan regional dan global.
Untuk mewujudkan sistem ekonomi berbasis nilai (value based economy), sudah saatnya kita beralih dari slogan “made in Indonesia “ menjadi “designed by Indonesia “ dan bahkan menjadi “brand of Indonesia“. Dari strategi yang menekankan hanya pada aspek produksi dan assembly menjadi negara yang juga memiliki kemampuan mengembangkan desain produk yang unggul, menarik, dan berdaya saing.
Seringkali ketika negara sudah mampu mengembangkan “design product “ secara komprehensif dan terpadu, fasilitas produksinya juga akan berkembang. Bahkan besar kemungkinan bila kemampuan “design-product “ dikuasai, akan semakin banyak perusahaan nasional yang memiliki fasilitas produksi di negara lain.
Dengan kata lain, perusahaan nasional naik kelas menjadi perusahaan regional atau multinasional. Namun, tidak sebaliknya, ketika suatu negara hanya fokus pada produksi dan perakitan, bukan berarti lantas negara tersebut akan maju dalam “design-product“.
Perusahaan multinasional biasanya akan tetap mempertahankan “desain” berada di headquarter dan menjadikan subsidiary di banyak negara sebagai unit produksi atau pemasaran. ?
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar FEB Universitas Indonesia
(ftr)