Revolusi Mental Jokowi!
A
A
A
DR Mohammad Nasih MSI
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
Arena politik hampir tidak pernah sepi dari tarik menarik kepentingan. Sebab, politik memang merupakan medan untuk mentransformasikan kepentingan, baik yang bersifat ideologis maupun nonideologis.
Pihak yang paling kuat dalam mendesakkan kepentingannya akan memiliki pengaruh paling besar dalam menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mentransformasikan dan merealisasikan ideide atau kepentingannya. Apalagi, jika yang dianut adalah sistem multipartai. Tarikan kepentingan bisa datang dari berbagai penjuru dengan motif yang bisa sangat beragam.
Ketika kepentingan-kepentingan itu telah bercampur baur, sering kali kemudian menyebabkan rakyat kebingungan dan tidak mampu lagi menilai apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Terlebih jika dimasukkan unsur rekayasa tingkat tinggi kalangan elite politik dan dibantu oleh media massa yang kehilangan objektivitas dalam menyajikan informasi, maka pihak yang sesungguhnya benar bisa tampak salah, yang baik menjadi tampak buruk.
Sebaliknya, yang salah malah kelihatan tidak salah, dan yang buruk bisa jadi tampak baik. Untuk mencegah konflik politik berlanjut sampai pada taraf yang merugikan atau bahkan membahayakan kepentingan negara, keterlibatan pemimpin tertinggi negara sangat diperlukan. Untuk itu, konstitusi memberikan kewenangan yang besar kepada presiden sebagai kepala negara.
Karena itu, kecerdasan dan ketegasan presiden sangat diperlukan. Kecerdasan diperlukan untuk melihat secara jeli dan tepat tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan apa saja implikasi yang bisa terjadi dari sebuah kasus yang terjadi.
Sedangkan keberanian diperlukan untuk menentukan sikap secara tegas untuk memberikan keberpihakan kepada kebenaran, bebas dari intervensi pihak lain, yang tidak sesuai dengan kebenaran yang merupakan prasyarat dalam mewujudkan kebaikan bersama dalam negara.
*** Menjelang pilpres lalu Jokowi melontarkan jargon “Revolusi Mental” yang dianggap cukup monumental. Sebab, kenyataan memang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah yang sangat akut disebabkan oleh mentalitas negatif sebagian warga negaranya, baik yang menjadi rakyat jelata maupun yang menempati posisi-posisi strategis sebagai pemimpin di level masing-masing.
Karena itu, revolusi mental berlaku bukan hanya pada rakyat kebanyakan, tetapi sesungguhnya, yang bahkan lebih penting, adalah bagi para pemimpin. Sebab, dalam konteks Indonesia dengan masyarakat berkultur feodal, pemimpin sangat berpengaruh kepada cara berpikir, bersikap, dan berperilaku masyarakat luas.
Jika para pemimpin memiliki mentalitas positif, rakyat akan mengikuti mentalitas positif tersebut. Sama dengan jika mentalitas yang mereka saksikan dan rasakan adalah mentalitas negatif. Indonesia sudah sekian lama berada dalam kondisi tidak berdaya dalam tata pergaulan dunia.
Sebagai negara besar, Indonesia tidak disegani, bahkan sering dilecehkan. Jika dirunut dengan baik, pangkal penyebabnya adalah mentalitas korup di kalangan pejabat dan rendah diri di kalangan rakyat. Karena itu, jargon Jokowi tersebut disambut dengan sangat hangat oleh sebagian pemilih yang melihatnya sebagai jalan keluar dari keterpurukan.
Mereka berpandangan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani mengatakan tidak kepada korupsi, termasuk kepada pihak-pihak asing yang sering kali menawarkan imbalan besar agar pejabat negara menjual kekayaan negara atau membuat kebijakan yang menguntungkan mereka walaupun merugikan negara sendiri.
Jokowi diharapkan menjadi pemimpin dengan keberanian tinggi itu. Harapan besar itulah yang menyebabkannya– walaupun berasal dari daerah kecil di Jawa Tengah, tidak memiliki kekuasaan signifikan di dalam partai, dan belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam memimpin Jakarta–dipilih menjadi presiden.
Namun, setelah menjadi presiden, Jokowimengalamibanyak kesulitan dalam memenuhi janji-janji besar yang pernah dilontarkan pada saat kampanye. Bahkan, kian hari gaya kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa dia disandera dan dikendalikan oleh tidak hanya Megawati, tetapi juga pihak-pihak lain yang berasal dari parpol mitra koalisi.
Bukan koalisi yang menjadi oposisi di DPR yang mengganggunya, tetapi justru koalisi pendukungnya sendiri. Karena gangguan itulah Jokowi tidak mampu membuktikan berbagai janji yang diucapkan dan menjadi daya tariknya. Janji akan melantik kabinetnya paling lambat hanya dua hari ternyata melampaui batas hari yang dijanjikan itu.
Janji akan membuat kabinet ramping, kenyataannya kabinetnya hanya bedabeda tipis dengan postur kabinet sebelumnya. Janji akan mengangkat orang-orang yang profesional, ternyata beberapa figur dalam kabinetnya diberi jabatan lebih karena posisinya dalam partai, bukan karena rekam jejak yang meyakinkan sebelumnya untuk menjalankan amanat sebagai menteri dengan tanggung jawab yang sangat besar.
Penyanderaan terhadap Jokowi kembali tampak dengan sangat jelas pada kejadian kisruh antara Polri dan KPK. Jokowi tidak mampu menolak keinginan “irasional” dari Ketua Umum PDI Perjuangan untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Tampaknya karena ingin bermain aman dengan memanfaatkan kekuatan lain untuk menggagalkan Budi Gunawan dari posisi yang diplot oleh Megawati, maka kejadiannya justru menjadi semakin mengkhawatirkan. Dua lembaga negara yang sama bertugas menegakkan hukum itu malah saling serang dan menyebabkan sebagian masyarakat terbelah dalam memberikan dukungan.
Dalam keadaan yang sudah genting itu Jokowi ternyata hanya memberikan pernyataan sikap yang sangat normatif. Lalu mengangkat orang-orang yang dianggap kredibel untuk menyelesaikan masalah. Padahal, akar masalahnya sangat jelas, yakni kengototan untuk mengajukan orang dengan status tersangka.
Dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri, Jokowi tetap saja bersikap normatif dengan sekedar menyerukan agar pimpinan kedua lembaga penegak hukum tersebut melakukan langkah-langkah secara objektif.
Ini menunjukkan bahwa Jokowi berada pada posisi tidak berdaya menghadapi pesanan yang datang dari pihak lain. Padahal, seorang presiden memiliki kewajiban untuk hanya tunduk kepada konstitusi. Jika presiden bisa diintervensi oleh pihak-pihak lain untuk mengorbankan kepentingan negara, tentu akan sangat berbahaya.
Karena itu, Jokowi harus kembali mengingat jargon politiknya sendiri pada saat menghadapi kampanye. Revolusi mental itu harus diterapkan kepada dirinya sendiri, dengan cara mengubah sikap untuk hanya tunduk kepada konstitusi negara, bukan menuruti keinginan pihak-pihak tertentu, termasuk ketua umum partainya sendiri, atau partai lain yang memberikan dukungan signifikan– apabila itu merugikan kepentingan negara.
Apalagi saat kampanye dulu Jokowi menyatakan bahwa koalisi mereka adalah koalisi tanpa syarat. Jika Jokowi tidak merevolusi dirinya, kekhawatiran yang pernah disampaikan JK pada saat menjelang pilpres lalu bisa terbukti. Tentu saja sangat merugikan rakyat Indonesia. Tentu, kita semua tidak berharap itu terjadi. Wallahu alam bi al-shawab.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
Arena politik hampir tidak pernah sepi dari tarik menarik kepentingan. Sebab, politik memang merupakan medan untuk mentransformasikan kepentingan, baik yang bersifat ideologis maupun nonideologis.
Pihak yang paling kuat dalam mendesakkan kepentingannya akan memiliki pengaruh paling besar dalam menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mentransformasikan dan merealisasikan ideide atau kepentingannya. Apalagi, jika yang dianut adalah sistem multipartai. Tarikan kepentingan bisa datang dari berbagai penjuru dengan motif yang bisa sangat beragam.
Ketika kepentingan-kepentingan itu telah bercampur baur, sering kali kemudian menyebabkan rakyat kebingungan dan tidak mampu lagi menilai apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Terlebih jika dimasukkan unsur rekayasa tingkat tinggi kalangan elite politik dan dibantu oleh media massa yang kehilangan objektivitas dalam menyajikan informasi, maka pihak yang sesungguhnya benar bisa tampak salah, yang baik menjadi tampak buruk.
Sebaliknya, yang salah malah kelihatan tidak salah, dan yang buruk bisa jadi tampak baik. Untuk mencegah konflik politik berlanjut sampai pada taraf yang merugikan atau bahkan membahayakan kepentingan negara, keterlibatan pemimpin tertinggi negara sangat diperlukan. Untuk itu, konstitusi memberikan kewenangan yang besar kepada presiden sebagai kepala negara.
Karena itu, kecerdasan dan ketegasan presiden sangat diperlukan. Kecerdasan diperlukan untuk melihat secara jeli dan tepat tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan apa saja implikasi yang bisa terjadi dari sebuah kasus yang terjadi.
Sedangkan keberanian diperlukan untuk menentukan sikap secara tegas untuk memberikan keberpihakan kepada kebenaran, bebas dari intervensi pihak lain, yang tidak sesuai dengan kebenaran yang merupakan prasyarat dalam mewujudkan kebaikan bersama dalam negara.
*** Menjelang pilpres lalu Jokowi melontarkan jargon “Revolusi Mental” yang dianggap cukup monumental. Sebab, kenyataan memang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah yang sangat akut disebabkan oleh mentalitas negatif sebagian warga negaranya, baik yang menjadi rakyat jelata maupun yang menempati posisi-posisi strategis sebagai pemimpin di level masing-masing.
Karena itu, revolusi mental berlaku bukan hanya pada rakyat kebanyakan, tetapi sesungguhnya, yang bahkan lebih penting, adalah bagi para pemimpin. Sebab, dalam konteks Indonesia dengan masyarakat berkultur feodal, pemimpin sangat berpengaruh kepada cara berpikir, bersikap, dan berperilaku masyarakat luas.
Jika para pemimpin memiliki mentalitas positif, rakyat akan mengikuti mentalitas positif tersebut. Sama dengan jika mentalitas yang mereka saksikan dan rasakan adalah mentalitas negatif. Indonesia sudah sekian lama berada dalam kondisi tidak berdaya dalam tata pergaulan dunia.
Sebagai negara besar, Indonesia tidak disegani, bahkan sering dilecehkan. Jika dirunut dengan baik, pangkal penyebabnya adalah mentalitas korup di kalangan pejabat dan rendah diri di kalangan rakyat. Karena itu, jargon Jokowi tersebut disambut dengan sangat hangat oleh sebagian pemilih yang melihatnya sebagai jalan keluar dari keterpurukan.
Mereka berpandangan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani mengatakan tidak kepada korupsi, termasuk kepada pihak-pihak asing yang sering kali menawarkan imbalan besar agar pejabat negara menjual kekayaan negara atau membuat kebijakan yang menguntungkan mereka walaupun merugikan negara sendiri.
Jokowi diharapkan menjadi pemimpin dengan keberanian tinggi itu. Harapan besar itulah yang menyebabkannya– walaupun berasal dari daerah kecil di Jawa Tengah, tidak memiliki kekuasaan signifikan di dalam partai, dan belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam memimpin Jakarta–dipilih menjadi presiden.
Namun, setelah menjadi presiden, Jokowimengalamibanyak kesulitan dalam memenuhi janji-janji besar yang pernah dilontarkan pada saat kampanye. Bahkan, kian hari gaya kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa dia disandera dan dikendalikan oleh tidak hanya Megawati, tetapi juga pihak-pihak lain yang berasal dari parpol mitra koalisi.
Bukan koalisi yang menjadi oposisi di DPR yang mengganggunya, tetapi justru koalisi pendukungnya sendiri. Karena gangguan itulah Jokowi tidak mampu membuktikan berbagai janji yang diucapkan dan menjadi daya tariknya. Janji akan melantik kabinetnya paling lambat hanya dua hari ternyata melampaui batas hari yang dijanjikan itu.
Janji akan membuat kabinet ramping, kenyataannya kabinetnya hanya bedabeda tipis dengan postur kabinet sebelumnya. Janji akan mengangkat orang-orang yang profesional, ternyata beberapa figur dalam kabinetnya diberi jabatan lebih karena posisinya dalam partai, bukan karena rekam jejak yang meyakinkan sebelumnya untuk menjalankan amanat sebagai menteri dengan tanggung jawab yang sangat besar.
Penyanderaan terhadap Jokowi kembali tampak dengan sangat jelas pada kejadian kisruh antara Polri dan KPK. Jokowi tidak mampu menolak keinginan “irasional” dari Ketua Umum PDI Perjuangan untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Tampaknya karena ingin bermain aman dengan memanfaatkan kekuatan lain untuk menggagalkan Budi Gunawan dari posisi yang diplot oleh Megawati, maka kejadiannya justru menjadi semakin mengkhawatirkan. Dua lembaga negara yang sama bertugas menegakkan hukum itu malah saling serang dan menyebabkan sebagian masyarakat terbelah dalam memberikan dukungan.
Dalam keadaan yang sudah genting itu Jokowi ternyata hanya memberikan pernyataan sikap yang sangat normatif. Lalu mengangkat orang-orang yang dianggap kredibel untuk menyelesaikan masalah. Padahal, akar masalahnya sangat jelas, yakni kengototan untuk mengajukan orang dengan status tersangka.
Dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri, Jokowi tetap saja bersikap normatif dengan sekedar menyerukan agar pimpinan kedua lembaga penegak hukum tersebut melakukan langkah-langkah secara objektif.
Ini menunjukkan bahwa Jokowi berada pada posisi tidak berdaya menghadapi pesanan yang datang dari pihak lain. Padahal, seorang presiden memiliki kewajiban untuk hanya tunduk kepada konstitusi. Jika presiden bisa diintervensi oleh pihak-pihak lain untuk mengorbankan kepentingan negara, tentu akan sangat berbahaya.
Karena itu, Jokowi harus kembali mengingat jargon politiknya sendiri pada saat menghadapi kampanye. Revolusi mental itu harus diterapkan kepada dirinya sendiri, dengan cara mengubah sikap untuk hanya tunduk kepada konstitusi negara, bukan menuruti keinginan pihak-pihak tertentu, termasuk ketua umum partainya sendiri, atau partai lain yang memberikan dukungan signifikan– apabila itu merugikan kepentingan negara.
Apalagi saat kampanye dulu Jokowi menyatakan bahwa koalisi mereka adalah koalisi tanpa syarat. Jika Jokowi tidak merevolusi dirinya, kekhawatiran yang pernah disampaikan JK pada saat menjelang pilpres lalu bisa terbukti. Tentu saja sangat merugikan rakyat Indonesia. Tentu, kita semua tidak berharap itu terjadi. Wallahu alam bi al-shawab.
(ars)