Stop Deforestasi

Rabu, 21 Januari 2015 - 11:17 WIB
Stop Deforestasi
Stop Deforestasi
A A A
ALI MASYKUR MUSA
Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)


Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan perekonomian nasional antara lain harus berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal ini mengandung filosofi tentangpembangunanberkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat generasi saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan ke-butuhan generasi mendatang. Mengungkap pentingnya pembangunan berkelanjutan sangat relevan, karena tanah longsor, banjir, kebakaran hutan, dan bencana alam lainnya yang tak berkesudahan akhir-akhir ini menandakan ada kesalahan tata kelola kehutanan di Indonesia.

Indonesia dituding sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Bank Dunia pada 2007 merilis laporan bahwa laju deforestasi Indonesia telah men-capai 2 juta ha per tahun, dan Indonesia sebagai penyumbang emisi gas karbondioksida (CO2) terbesar ke-3 di dunia (setelah Amerika Serikat dan China).

Emisi CO2 (gas rumah kaca/ GRK) yang dihasilkan Indonesia adalah sekitar 34% dari total dunia, yang berasal dari kebakaran hutan, illegal logging, dan konversi hutan ke sektor nonkehutanan, terutama ke hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Kementerian Kehutanan melalui Surat No. S.258/II-REN/ 2013 tanggal 26 Maret 2013 menyatakan bahwa telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam bidang kehutanan dan lahan gambut sebesar 0.67 giga ton CO2e atau sebesar 87,6% dari target nasional (26%).

Perhitungan ini berdasarkan penurunan laju deforestasi, yaitu dari 1,125 juta ha/tahun pada 2000-2006 telah turun menjadi 0,45 juta ha/tahun pada 2009-2011. Pernyataan ini tidak berdasarkan metodologi perhitungan yang dapat diyakini kebenarannya oleh berbagai pihak.

Selain itu perlu dikaji lebih lanjut hubungan kausal antara data penurunan laju deforestasi dan target yang tercantum dalam Perpres No 61 Tahun 2011, karena dalam perpres tersebut tidak tercantum target penurunan laju deforestasi. Dengan demikian disimpulkan bahwa pernyataan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% adalah pernyataan politik yang sulit dijabarkan melalui kegiatan-kegiatan nyata.

Kelemahan Tata Kelola

Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk mendukung tercapainya tuju-an pembangunan nasional. Perlu dikritisi bahwa pembangunan di Indonesia masih hanya berkiblat pada aspek modal ekonomi. Aspek kelestarian lingkungan dan pembangunan manusia hanya dipenuhi sebagai unsur formalitas belaka.

Konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan tiga dimensi, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan upaya perlindungan kelestarian lingkungan hidup. Aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial tidak akan berarti banyak bagi pembangunan berkelanjutan, kalau ternyata merusak lingkungan dan menghabiskan sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Faktanya, sekitar 30% hutan dan kawasan konservasi atau seluas 10,5 juta hektare rusak karena beragam faktor, seperti perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan. Upaya restorasi terus dilakukan, tetapi belum mampu mengatasi laju kerusakan. Setiaptahunrata-ratadilakukan restorasi 100.000 hektare. Namun, masih jauh tertinggal dari luasan yang rusak.

Saat ini total luas kawasan Indonesia sekitar 35 juta hektare. Kerusakan lingkungan akan menurunkan derajat kualitas manusia dan lingkungan itu sendiri. Habisnya sumber daya alam akan menurunkan aktivitas ekonomi atau pertumbuhan ekonomi. Kerusakan lingkungan dan terkurasnya SDA pada akhirnya akan menggerogoti nilai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Kita hanya akan mewariskan tangis kepada anak-cucu, jika dalam pembangunan Indonesia sekarang ini kita tidak turut memperhatikan aspek lingkungan dan pembangunan komunitas manusia secara berkelanjutan

Tiga Langkah

Wewenang untuk berbagai hal terkait tata kelola hutan dan lahan ada pada tingkat pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Proses yang dimaksud termasuk proses penataan ruang dan perizinan, perlindungan lingkungan hidup dan konservasi, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap proses pengelolaan hutan dan lahan, dan pengaturan anggaran untuk mencapai pelaksanaan kebijakan secara optimal.

Menurut data Bank Dunia, wilayah hutan Indonesia pada 2006 tinggal seluas 187,91 juta/ ha, itu pun di antaranya seluas 83,25 juta/ha (44,30%) dalam kondisi kritis, dirambah penduduk, dantelahberalihfungsi(terutama ditanami kelapa sawit). Deforestasi tersebut mengakibatkan perubahan iklim (climate change) yang dampaknya telah dirasakan juga oleh Indonesia,

berupa kenaikan temperatur rata-rata permukaan bumi di Indonesia sebesar 0,3 derajat Celsius dibandingkan tahun 2000, kemarau panjang, tingkat curah hujan yang ekstrem yang mengakibatkan antara lain banjir dan tanah longsor, wabah penyakit flu burung. Selama ini tata kelola hutan dan lahan marak dengan persoalan termasuk tumpang tindih peraturan dan kebijakan, permasalahan tenurial yang belum jelas,

kurang terkoordinasi masalah data dan peta, kurangnya kapasitas teknis pada pemerintahan daerah tertentu, kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat, serta penegakan hukum lemah. Komitmen semua pihak, khususnya pemerintah harus diwujudkan dengan melakukan tiga langkah. Pertama, memperbaiki tata kelola kehutanan yang menyangkut perizinan dengan melibatkan sejak dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.

Distorsi otonomi daerah dalam eksploitasi sumber daya alam, khususnya di sektor pertambangan harus dihentikan dengan cara membuat tata ruang secara nasional. Kedua, penegakan hukum atas eksploitasi hutan yang diwujudkan sejak dari pemberian konsesi hutan sampai dengan penyimpangan penerimaan keuangan negara/daerah harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Kebijakan untuk melakukan koordinasi antara penegak hukum, BPK, dan BPKP, serta Kementerian Dalam Negeri tidak boleh ditunda, karena ini adalah langkah preventif sejak dari hulu yang akhirnya berimplikasi pada hilir di sektor kehutanan. Ketiga, moratorium pemberian izin konsesi hutan dan izin pengelolaan ekonomi di sektor kehutanan, seperti hak penguasaan hutan (HPH), dan izin pertambangan harus mendapat dukungan semua pihak.

Sejauh ini tingkat deforestasi dan kerusakan hutan sudah sangat luar biasa sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem kehutanan. Pertambangan batu bara adalah salah satu jenis usaha di sektor kehutanan yang mempunyai kontribusi signifikan ter-hadap laju rusaknya hutan di satu sisi, dan di sisi lain dengan produktivitas batu bara yang tidak terkendali mengakibatkan rusaknya mekanisme harga batu bara dalam perekonomian global, belum lagi pascakegiatan tambang melahirkan rusaknya ekosistem dan sistem nilai yang sangat merugikan masyarakat di sekitarnya.

Bangsa ini tidak cukup berpikir untuk satu generasi, tetapi juga harus hidup tanpa batas bagi generasi berikutnya. Tidak ada kata lain kecuali menyelamatkan hutan dan sumber daya alam bagi ketersediaan jaminan hidup generasi ke depan. Untuk itu, pencegahan deforestasi hutan harus dilakukan pemerintah dan masyarakat luas. Setujukah Anda
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6691 seconds (0.1#10.140)