Relasi Media & Terorisme
A
A
A
Ahmad Khoirul Umam
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, Research Associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta.
Tragedi memilukan berupa aksi penembakan di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis yang menewaskan 12 korban (7/1/ 2015), kembali mengguncang kesadaran masyarakat internasional tentang bahaya ancaman terorisme global.
Tragedi di Charlie Hebdo ini seolah membuka luka menganga yang belum reda akibat aksi kebiadaban terorisme di pusat jantung Kota Sydney, Australia serta penembakan massal di sekolah militer oleh milisi Taliban di Peshawar, Pakistan yang menewaskan 140-an korban, termasuk guru dan anak-anak tak berdosa pada medio Desember 2014.
Pembedanya, para korban aksi terorisme di Australia dan Pakistan tampak hanya dijadikan sebagai “target antara”, sementara target utama (main target) para teroris adalah menyampaikan pesan kekecewaan terhadap otoritas negara setempat yang dianggap tidak mengakomodasi kepentingan ekonomipolitik, aspirasi sipil, dan ideologinya.
Sementara aksi terorisme di Paris kali ini, korban yang mayoritas anggota tim redaksi majalah Charlie Hebdo kuat diduga menjadi “target utama” dari aksi terorisme yang dilancarkan, sekaligus juga menjadi “target antara” untuk mengamplifikasi (to amplify) pesan kekerasan mereka kepada publik dan pemerintah setempat tentang kemarahan mereka terhadap materi-materi pemberitaan yang dimuat majalah Charlie Hebdo.
Karena itu, wajar jika pernyataan kecaman keras yang disampaikan PM Inggris David Cameron, Presiden Amerika Barrack Obama, dan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls cenderung menekankan aksi terorisme ini sebagai upaya untuk menyasar dan membungkam kebebasan pers, yang dilancarkan oleh agen-agen terorisme global.
Anomali Relasi Media dan Terorisme
Secara teoritik, terorisme merupakan terminologi yang tidak bebas nilai. Pemahaman dan penggunaan terminologi terorisme sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang menggunakan dan menginterpretasikannya, baik itu aktor negara, kelompok non-negara (non-stateagent), maupunmedia itu sendiri.
Dengan kata lain, wacana tentang pelabelan “terorisme” merupakan area perang terbuka antarkepentingan. Negara dapat menstereotip setiap kelompok yang tidak sesuai dengan garis kepentingannya sebagai “teroris”. Sebaliknya, masyarakat sipil dan kelompok non-negara juga dapat menuding aktor-aktor kekuasaan dalam sistem dan struktur negara sebagai agen state-terrorism atau tindak terorisme yang disponsori dan difasilitas oleh negara. Akibat itu, distorsi dan sensasionalisasi terhadap fakta dan makna terorisme menjaditerbuka.
Dalamkonteks ini, peran media dalam kajian kontraterorisme menunjukkan relevansinya. Di satu sisi media dapat menjadi teman dekat teroris, di sisi lain media dapat menjadi agent-counter terrorism . Terorisme selama ini diartikan sebagai aksi kekerasan yang digunakan untuk mengomunikasikan pesan-pesan khusus untuk menarik perhatian publik melalui publikasi aksi-aksi mereka (Hoffman, 2006).
Untuk memperoleh target utamanya, para teroris membutuhkan media sebagai alat propaganda yang strategis untuk menyampaikan pesan penting kepada pihak- pihak yang menjadi sasaran utama. Itu umumnya dilakukan dengan menampikan aksi-aksi kebiadaban hingga menimbulkan tekanan psikologis publik dengan memainkan rasa cemas, gelisah, dan menebar ketakutan (politics of fear) untuk meningkatkan posisi tawar dan mencapai sasaran utama aksi terorisme.
Ahmad Khoirul Umam
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, Research Associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta.
Media dan terorisme memang memiliki relasi simbiosis (Nacos, 1999; Wilkinson, 1997). Menurut Walter B Jaehning (1978), para teroris umumnya memiliki pengetahuan memadai mengenai timing aksi, medan pergerakan, dinamika audiens, struktur aksi, dan korban yang disasardari tindakanmerekauntuk mengoptimalkan efek dramatisasi pemberitaan atas tindakan mereka. Tanpa pemberitaan media, aksi terorisme tidak akan menemukan entitas makna dan target kepentingannya.
Sebagaimana disampaikan mantan PM Inggris Margaret Thatcher, publisitas media merupakan“ theoxygenofterrorism” atau “the lifeblood of terrorism” (Picard, 1991). Tetapi, satu hal yang perlu dipahami, pesan kekerasan dalam aksi terorisme memang membutuhkan korban. Tetapi, target utama dari aksi-aksi terorisme acapkali tidak terkait langsung dengan korbannya. Prinsip dasar itulah yang didefinisikan oleh Schimd dan de Graff (1982) sebagai strategi komunikasi kekerasan (violence communication strategy).
Persoalan menjadi berubah ketika sebuah aksi terorisme justru menyasar sebuah institusi media sebagaimana yang menimpa redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris. Media tidak lagi diposisikan sebagai “mitra komunikator aksi” mereka, tidak pula menjadi “target antara” aksi kebiadabannya, melainkan menjadi sasaran utama dari aksi terornya.
Kebebasan Bertanggung Jawab
Ketika media diserang, kemungkinan terkuatnya adalah kelompok teroris tersebut memiliki hubungan konfliktual dengan institusi media tersebut. Adanya dugaan sejumlah kalangan yang mensinyalir majalah Charlie Hebdo sebagai penerbit yang kontroversial karena sering mengeksploitasi wilayahwilayah tabu politik dan keagamaan sebagai bahan tertawaan dan olok-olokan, telah memperkuat sinyalemen relasi konfliktual tersebut.
Terlepas dari mana pun asal kelompok teroris tersebut, yang pasti tragedi terorisme ini mengajarkan kepada duniaperskontemporertentang pentingnya kembali berpijak kepada prinsip kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom) dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
Prinsip kebebasan berekspresi yang telah mapan dalam tradisi masyarakat Barat yang cenderung sekuler akan sering mengalami benturan dengan kelompok- kelompok konservatif yang masih sensitif dan membutuhkan pengakuan sekaligus penghormatanterhadapprinsip- prinsip dasar keyakinan, agama, ideologi, dan afiliasi politik mereka.
Jika itu dilanggar, menjadi wajar ketika kelompok-kelompok konservatif radikal akan menjadikan institusi media yang tidak bertanggung jawab sebagai sasaran utama aksi-aksi terorisme mereka untuk menyampaikan pesan kepada dunia tentang harapan penghormatan terhadap identitas dan keyakinan mereka. Media harus memiliki tingkat kecerdasan dan sensitivitas yang lebih baik untuk memilahmilah setiap materi yang layak dan tidak selayaknya dipublikasikan.
Kepentingan modal dan perebutan pasar acapkali menjadi faktor utama yang mendeligitimasi prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Kepentingan rating, oplah, aliran iklan, dan aspek sensasionalitas institusi media terbukti di banyak kasus telah menjadi biang keladi penyalahgunaan arti kebebasan pers. Akibat itu, beragam materi dieksploitasi dalam bingkai drama, tragedi, karikatur, hingga satir sehingga menabrak wilayah-wilayah privasi masyarakat yang bersifat sensitif.
Kecaman kita dan masyarakat dunia terhadap aksi kebiadaban terorisme di kantor redaksi Charlie Hebdo, Paris itu semoga juga menjadi pengingat bagi dunia pers internasional, khususnya komunitas media di Indonesia, untuk senantiasa mawas diri untuk tetap menjunjung tinggi prinsip kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan kerja-kerja mulia media dan jurnalisme.
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, Research Associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta.
Tragedi memilukan berupa aksi penembakan di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis yang menewaskan 12 korban (7/1/ 2015), kembali mengguncang kesadaran masyarakat internasional tentang bahaya ancaman terorisme global.
Tragedi di Charlie Hebdo ini seolah membuka luka menganga yang belum reda akibat aksi kebiadaban terorisme di pusat jantung Kota Sydney, Australia serta penembakan massal di sekolah militer oleh milisi Taliban di Peshawar, Pakistan yang menewaskan 140-an korban, termasuk guru dan anak-anak tak berdosa pada medio Desember 2014.
Pembedanya, para korban aksi terorisme di Australia dan Pakistan tampak hanya dijadikan sebagai “target antara”, sementara target utama (main target) para teroris adalah menyampaikan pesan kekecewaan terhadap otoritas negara setempat yang dianggap tidak mengakomodasi kepentingan ekonomipolitik, aspirasi sipil, dan ideologinya.
Sementara aksi terorisme di Paris kali ini, korban yang mayoritas anggota tim redaksi majalah Charlie Hebdo kuat diduga menjadi “target utama” dari aksi terorisme yang dilancarkan, sekaligus juga menjadi “target antara” untuk mengamplifikasi (to amplify) pesan kekerasan mereka kepada publik dan pemerintah setempat tentang kemarahan mereka terhadap materi-materi pemberitaan yang dimuat majalah Charlie Hebdo.
Karena itu, wajar jika pernyataan kecaman keras yang disampaikan PM Inggris David Cameron, Presiden Amerika Barrack Obama, dan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls cenderung menekankan aksi terorisme ini sebagai upaya untuk menyasar dan membungkam kebebasan pers, yang dilancarkan oleh agen-agen terorisme global.
Anomali Relasi Media dan Terorisme
Secara teoritik, terorisme merupakan terminologi yang tidak bebas nilai. Pemahaman dan penggunaan terminologi terorisme sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang menggunakan dan menginterpretasikannya, baik itu aktor negara, kelompok non-negara (non-stateagent), maupunmedia itu sendiri.
Dengan kata lain, wacana tentang pelabelan “terorisme” merupakan area perang terbuka antarkepentingan. Negara dapat menstereotip setiap kelompok yang tidak sesuai dengan garis kepentingannya sebagai “teroris”. Sebaliknya, masyarakat sipil dan kelompok non-negara juga dapat menuding aktor-aktor kekuasaan dalam sistem dan struktur negara sebagai agen state-terrorism atau tindak terorisme yang disponsori dan difasilitas oleh negara. Akibat itu, distorsi dan sensasionalisasi terhadap fakta dan makna terorisme menjaditerbuka.
Dalamkonteks ini, peran media dalam kajian kontraterorisme menunjukkan relevansinya. Di satu sisi media dapat menjadi teman dekat teroris, di sisi lain media dapat menjadi agent-counter terrorism . Terorisme selama ini diartikan sebagai aksi kekerasan yang digunakan untuk mengomunikasikan pesan-pesan khusus untuk menarik perhatian publik melalui publikasi aksi-aksi mereka (Hoffman, 2006).
Untuk memperoleh target utamanya, para teroris membutuhkan media sebagai alat propaganda yang strategis untuk menyampaikan pesan penting kepada pihak- pihak yang menjadi sasaran utama. Itu umumnya dilakukan dengan menampikan aksi-aksi kebiadaban hingga menimbulkan tekanan psikologis publik dengan memainkan rasa cemas, gelisah, dan menebar ketakutan (politics of fear) untuk meningkatkan posisi tawar dan mencapai sasaran utama aksi terorisme.
Ahmad Khoirul Umam
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, Research Associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta.
Media dan terorisme memang memiliki relasi simbiosis (Nacos, 1999; Wilkinson, 1997). Menurut Walter B Jaehning (1978), para teroris umumnya memiliki pengetahuan memadai mengenai timing aksi, medan pergerakan, dinamika audiens, struktur aksi, dan korban yang disasardari tindakanmerekauntuk mengoptimalkan efek dramatisasi pemberitaan atas tindakan mereka. Tanpa pemberitaan media, aksi terorisme tidak akan menemukan entitas makna dan target kepentingannya.
Sebagaimana disampaikan mantan PM Inggris Margaret Thatcher, publisitas media merupakan“ theoxygenofterrorism” atau “the lifeblood of terrorism” (Picard, 1991). Tetapi, satu hal yang perlu dipahami, pesan kekerasan dalam aksi terorisme memang membutuhkan korban. Tetapi, target utama dari aksi-aksi terorisme acapkali tidak terkait langsung dengan korbannya. Prinsip dasar itulah yang didefinisikan oleh Schimd dan de Graff (1982) sebagai strategi komunikasi kekerasan (violence communication strategy).
Persoalan menjadi berubah ketika sebuah aksi terorisme justru menyasar sebuah institusi media sebagaimana yang menimpa redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris. Media tidak lagi diposisikan sebagai “mitra komunikator aksi” mereka, tidak pula menjadi “target antara” aksi kebiadabannya, melainkan menjadi sasaran utama dari aksi terornya.
Kebebasan Bertanggung Jawab
Ketika media diserang, kemungkinan terkuatnya adalah kelompok teroris tersebut memiliki hubungan konfliktual dengan institusi media tersebut. Adanya dugaan sejumlah kalangan yang mensinyalir majalah Charlie Hebdo sebagai penerbit yang kontroversial karena sering mengeksploitasi wilayahwilayah tabu politik dan keagamaan sebagai bahan tertawaan dan olok-olokan, telah memperkuat sinyalemen relasi konfliktual tersebut.
Terlepas dari mana pun asal kelompok teroris tersebut, yang pasti tragedi terorisme ini mengajarkan kepada duniaperskontemporertentang pentingnya kembali berpijak kepada prinsip kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom) dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
Prinsip kebebasan berekspresi yang telah mapan dalam tradisi masyarakat Barat yang cenderung sekuler akan sering mengalami benturan dengan kelompok- kelompok konservatif yang masih sensitif dan membutuhkan pengakuan sekaligus penghormatanterhadapprinsip- prinsip dasar keyakinan, agama, ideologi, dan afiliasi politik mereka.
Jika itu dilanggar, menjadi wajar ketika kelompok-kelompok konservatif radikal akan menjadikan institusi media yang tidak bertanggung jawab sebagai sasaran utama aksi-aksi terorisme mereka untuk menyampaikan pesan kepada dunia tentang harapan penghormatan terhadap identitas dan keyakinan mereka. Media harus memiliki tingkat kecerdasan dan sensitivitas yang lebih baik untuk memilahmilah setiap materi yang layak dan tidak selayaknya dipublikasikan.
Kepentingan modal dan perebutan pasar acapkali menjadi faktor utama yang mendeligitimasi prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Kepentingan rating, oplah, aliran iklan, dan aspek sensasionalitas institusi media terbukti di banyak kasus telah menjadi biang keladi penyalahgunaan arti kebebasan pers. Akibat itu, beragam materi dieksploitasi dalam bingkai drama, tragedi, karikatur, hingga satir sehingga menabrak wilayah-wilayah privasi masyarakat yang bersifat sensitif.
Kecaman kita dan masyarakat dunia terhadap aksi kebiadaban terorisme di kantor redaksi Charlie Hebdo, Paris itu semoga juga menjadi pengingat bagi dunia pers internasional, khususnya komunitas media di Indonesia, untuk senantiasa mawas diri untuk tetap menjunjung tinggi prinsip kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan kerja-kerja mulia media dan jurnalisme.
(ars)