Ciptakan Pengusaha Muda
A
A
A
Setelah Orde Reformasi, permasalahan pemerataan pembangunan telah menjadi semacam enigma yang masih belum menemukan jawabannya.
Sepuluh tahun terakhir ini kita menyaksikan Indonesia mampu mempertahankan kinerja ekonomi yang cukup impresif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berkisar 5-6% meski saat perekonomian dunia mengalami perlambatan akibat krisis. Namun, di sisi lain kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan kesenjangan spasial antarwilayah juga menunjukkan tren peningkatan.
Rasio gini Indonesia pada 2014 telah menyentuh angka 0,43 dan pada 2014 sebesar 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi telah menguasai hampir setengah dari total pendapatan masyarakat. Kondisi ini diperparah laju industrialisasi lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa sementara beberapa daerah lain terutama di wilayah timur masih jauh tertinggal, terutama dalam infrastruktur dan pelayanan dasar.
Risiko middle income trap yang sedang membayangi Indonesia hari ini tidak dapat lagi ditangani dengan mendorong pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memastikan bahwa pemerataan pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia “Ironi kemajuan” ini telah menjadi sebuah masalah struktural yang membutuhkan penanganan bersama dari seluruh elemen bangsa, terutama bagi pengusaha.
Pengalaman dari beberapa negara menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang tinggi dapat memicu lahirnya konflik horizontal yang akhirnya berdampak buruk pada perekonomian lokal. Kehadiran pengusaha diharapkan mampu menciptakan inovasi sehingga memberikan nilai tambah bagi golongan masyarakat yang selama ini belum kebagian jatah “kue pembangunan”.
Bonus Demografi
Dalam menjawab permasalahan tersebut, ada aspek penting yang perlu kita perhatikan lebih serius yaitu bonus demografi. Bonus demografi ini keuntungan ekonomis yang disebabkan penurunan rasio ketergantungan sebagai hasil dari proses penurunan fertilitas jangka panjang (Sri Moertiningsih, 2005).
Bagi Indonesia, penurunan rasio ketergantungan ditandai dengan proporsi masyarakat produktif lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi masyarakat nonproduktif (anak kecil dan manula). Bonus demografi ini yang hanya terjadi sekali seumur hidup sehingga disebut sebagai window of opportunity.
Untuk konteks Indonesia, bonus demografi ini telah terjadi sejak 2012 dan diperkirakan puncaknya pada 2028- 2031 dengan jumlah angkatan kerja diperkirakan sebesar 135 juta jiwa (BKKBN). Besarnya jumlah angkatan kerja ini berarti potensi yang cukup besar dalam membangun modal manusia (human capital), apalagi jika angkatan kerja ini dapat memicu pertumbuhan tabungan (savings) sehingga akhirnya dapat meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu faktor yang mengakibatkan beberapa negara seperti China dan Korea Selatan berhasil tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dunia karena telah menyiapkan serangkaian kebijakan dalam memaksimalkan potensi angkatan kerja yang mereka miliki. Meski demikian, peluang ini bukan tanpa risiko.
Besarnya jumlah angkatan kerja ini tentu harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan kerja. Jika angkatan kerja ini tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, mereka dapat menjadi beban sosial sehingga menghambat laju pembangunan. Ancaman lain berangkat dari kenyataan bahwa bonus demografi ini tidak dirasakan secara merata oleh seluruh daerah di Indonesia.
Kondisi ini menuntut segala pihak yang terkait baik itu pemerintah, universitas, asosiasi usaha, dan industri untuk bertindak cepat dalam menyiapkan segala prasyarat yang dibutuhkan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dengan waktu yang tersisa. Hari ini Indonesia telah menyedot perhatian pelaku bisnis internasional yang melihat potensi pasar Indonesia.
Jika sumber daya manusia kita tidak memiliki daya saing yang kuat, kita hanya akan menjadi penonton dengan menyaksikan pasar dalam negeri dibanjiri komoditas impor yang tidak memiliki nilai tambah yang berarti bagi Indonesia. Pada masa yang akan datang Indonesia membutuhkan lebih banyak lapangan kerja yang akan mudah dicapai jika jumlah wirausaha lebih banyak.
Selain kuantitas, kita juga harus memperhatikan bahwa pengusaha tersebar secara merata, terutama pada daerah yang tidak menikmati bonus demografi sehingga memungkinkan lahir pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.
Ini tentu membutuhkan stimulus dari pemerintah dengan menggenjot pembangunan infrastruktur sehingga biaya logistik yang selama ini membebani pengusaha di daerah dapat teratasi. Ini mungkin tidaklah mudah, tetapi harus dimulai dari sekarang. Sudah saatnya Indonesia membangun dari daerah dan membuka jalan bagi semua.
Keberpihakan Pemerintah
Laporan dari EY G-20 Enterpreneurs Barometer 2013 menempatkan Indonesia pada kuartal keempat atau kelompok peringkat terendah atas kondisi ekosistem kewirausahaan (entrepreneuri al ecosystem) dari negaranegara anggota G-20.
Penelitian ini mengukur ekosistem kewirausahaan sebuah negara berdasarkan lima pilar yaitu akses terhadap pembiayaan, budaya kewirausahaan, peraturan dan perpajakan, pendidikan dan pelatihan, serta bantuan koordinasi. Meski terjadi perbaikan dari lima aspek tersebut, secara keseluruhan Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lain yang termasuk ke dalam G-20.
Hal yang kemudian cukup menggembirakan bagi kita adalah hasil survei dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia adalah kelompok yang paling optimistis terhadap perkembangan bisnis dalam negeri. Menurut pengalaman saya, optimisme ini modal yang cukup penting dalam dunia bisnis.
Tanpa ada optimisme dan tekad yang kuat, mustahil bagi pengusaha baru untuk mewujudkan mimpi mereka. Sayangnya, optimisme saja tidaklah cukup. Sebagai pengusaha yang berasal dari daerah, saya paham betul betapa sulitnya membangun usaha tanpa ada modal yang cukup terutama ketika ingin memulai bisnis dari awal, terutama bagi pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Harus kita akui bahwa peran sentral dari UMKM dalam perekonomian nasional masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dari regulator. Pada 2014 saja Indonesia telah memiliki UMKM sebesar 56,5 juta unit dan 98,9% di antaranya usaha mikro. Meski pemerintah telah menyiapkan fasilitas pembiayaan seperti kredit usaha rakyat (KUR) ataupun kredit usaha tani (KUT), pada realitasnya masih terdapat beberapa kelemahan dalam sistem penyalurannya.
Kelemahan ini terlihat dari masih tingginya bunga kredit yang dibebankan kepada pengusaha UMKM. Bunga kredit yang disalurkan dapat mencapai 17%, sedangkan pengusaha besar hanya dibebankan bunga kredit sebesar 12%. Permasalahan kedua terkait kelayakan usaha dari UMKM tersebut di mana pihak perbankan yang mewajibkan berbagai syarat administratif masih sulit untuk dipenuhi seperti agunan dan pengalaman usaha.
Karena itu, pada masa yang akan datang pemerintah dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap sektor ini. Regulasi terkait penanganan masalah UMKM harus memastikan kenyamanan berusaha dan penyederhanaan izin usaha. Terkait akses pembiayaan terhadap perbankan bunga kredit yang harus dibayarkan sebisa mungkin ditekan lebih rendah (di bawah 10%).
Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran APBN untuk melakukan “subsidi bunga” kepada pelaku usaha UMKM. Melalui subsidi bunga ini, diharapkan bahwa subsidi yang selama ini hanya dihabiskan untuk kepentingan konsumsi dapat dialihkan untuk kepentingan produktif.
Sepuluh tahun terakhir ini kita menyaksikan Indonesia mampu mempertahankan kinerja ekonomi yang cukup impresif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berkisar 5-6% meski saat perekonomian dunia mengalami perlambatan akibat krisis. Namun, di sisi lain kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan kesenjangan spasial antarwilayah juga menunjukkan tren peningkatan.
Rasio gini Indonesia pada 2014 telah menyentuh angka 0,43 dan pada 2014 sebesar 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi telah menguasai hampir setengah dari total pendapatan masyarakat. Kondisi ini diperparah laju industrialisasi lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa sementara beberapa daerah lain terutama di wilayah timur masih jauh tertinggal, terutama dalam infrastruktur dan pelayanan dasar.
Risiko middle income trap yang sedang membayangi Indonesia hari ini tidak dapat lagi ditangani dengan mendorong pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memastikan bahwa pemerataan pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia “Ironi kemajuan” ini telah menjadi sebuah masalah struktural yang membutuhkan penanganan bersama dari seluruh elemen bangsa, terutama bagi pengusaha.
Pengalaman dari beberapa negara menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang tinggi dapat memicu lahirnya konflik horizontal yang akhirnya berdampak buruk pada perekonomian lokal. Kehadiran pengusaha diharapkan mampu menciptakan inovasi sehingga memberikan nilai tambah bagi golongan masyarakat yang selama ini belum kebagian jatah “kue pembangunan”.
Bonus Demografi
Dalam menjawab permasalahan tersebut, ada aspek penting yang perlu kita perhatikan lebih serius yaitu bonus demografi. Bonus demografi ini keuntungan ekonomis yang disebabkan penurunan rasio ketergantungan sebagai hasil dari proses penurunan fertilitas jangka panjang (Sri Moertiningsih, 2005).
Bagi Indonesia, penurunan rasio ketergantungan ditandai dengan proporsi masyarakat produktif lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi masyarakat nonproduktif (anak kecil dan manula). Bonus demografi ini yang hanya terjadi sekali seumur hidup sehingga disebut sebagai window of opportunity.
Untuk konteks Indonesia, bonus demografi ini telah terjadi sejak 2012 dan diperkirakan puncaknya pada 2028- 2031 dengan jumlah angkatan kerja diperkirakan sebesar 135 juta jiwa (BKKBN). Besarnya jumlah angkatan kerja ini berarti potensi yang cukup besar dalam membangun modal manusia (human capital), apalagi jika angkatan kerja ini dapat memicu pertumbuhan tabungan (savings) sehingga akhirnya dapat meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu faktor yang mengakibatkan beberapa negara seperti China dan Korea Selatan berhasil tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dunia karena telah menyiapkan serangkaian kebijakan dalam memaksimalkan potensi angkatan kerja yang mereka miliki. Meski demikian, peluang ini bukan tanpa risiko.
Besarnya jumlah angkatan kerja ini tentu harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan kerja. Jika angkatan kerja ini tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, mereka dapat menjadi beban sosial sehingga menghambat laju pembangunan. Ancaman lain berangkat dari kenyataan bahwa bonus demografi ini tidak dirasakan secara merata oleh seluruh daerah di Indonesia.
Kondisi ini menuntut segala pihak yang terkait baik itu pemerintah, universitas, asosiasi usaha, dan industri untuk bertindak cepat dalam menyiapkan segala prasyarat yang dibutuhkan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dengan waktu yang tersisa. Hari ini Indonesia telah menyedot perhatian pelaku bisnis internasional yang melihat potensi pasar Indonesia.
Jika sumber daya manusia kita tidak memiliki daya saing yang kuat, kita hanya akan menjadi penonton dengan menyaksikan pasar dalam negeri dibanjiri komoditas impor yang tidak memiliki nilai tambah yang berarti bagi Indonesia. Pada masa yang akan datang Indonesia membutuhkan lebih banyak lapangan kerja yang akan mudah dicapai jika jumlah wirausaha lebih banyak.
Selain kuantitas, kita juga harus memperhatikan bahwa pengusaha tersebar secara merata, terutama pada daerah yang tidak menikmati bonus demografi sehingga memungkinkan lahir pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa.
Ini tentu membutuhkan stimulus dari pemerintah dengan menggenjot pembangunan infrastruktur sehingga biaya logistik yang selama ini membebani pengusaha di daerah dapat teratasi. Ini mungkin tidaklah mudah, tetapi harus dimulai dari sekarang. Sudah saatnya Indonesia membangun dari daerah dan membuka jalan bagi semua.
Keberpihakan Pemerintah
Laporan dari EY G-20 Enterpreneurs Barometer 2013 menempatkan Indonesia pada kuartal keempat atau kelompok peringkat terendah atas kondisi ekosistem kewirausahaan (entrepreneuri al ecosystem) dari negaranegara anggota G-20.
Penelitian ini mengukur ekosistem kewirausahaan sebuah negara berdasarkan lima pilar yaitu akses terhadap pembiayaan, budaya kewirausahaan, peraturan dan perpajakan, pendidikan dan pelatihan, serta bantuan koordinasi. Meski terjadi perbaikan dari lima aspek tersebut, secara keseluruhan Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lain yang termasuk ke dalam G-20.
Hal yang kemudian cukup menggembirakan bagi kita adalah hasil survei dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia adalah kelompok yang paling optimistis terhadap perkembangan bisnis dalam negeri. Menurut pengalaman saya, optimisme ini modal yang cukup penting dalam dunia bisnis.
Tanpa ada optimisme dan tekad yang kuat, mustahil bagi pengusaha baru untuk mewujudkan mimpi mereka. Sayangnya, optimisme saja tidaklah cukup. Sebagai pengusaha yang berasal dari daerah, saya paham betul betapa sulitnya membangun usaha tanpa ada modal yang cukup terutama ketika ingin memulai bisnis dari awal, terutama bagi pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Harus kita akui bahwa peran sentral dari UMKM dalam perekonomian nasional masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dari regulator. Pada 2014 saja Indonesia telah memiliki UMKM sebesar 56,5 juta unit dan 98,9% di antaranya usaha mikro. Meski pemerintah telah menyiapkan fasilitas pembiayaan seperti kredit usaha rakyat (KUR) ataupun kredit usaha tani (KUT), pada realitasnya masih terdapat beberapa kelemahan dalam sistem penyalurannya.
Kelemahan ini terlihat dari masih tingginya bunga kredit yang dibebankan kepada pengusaha UMKM. Bunga kredit yang disalurkan dapat mencapai 17%, sedangkan pengusaha besar hanya dibebankan bunga kredit sebesar 12%. Permasalahan kedua terkait kelayakan usaha dari UMKM tersebut di mana pihak perbankan yang mewajibkan berbagai syarat administratif masih sulit untuk dipenuhi seperti agunan dan pengalaman usaha.
Karena itu, pada masa yang akan datang pemerintah dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap sektor ini. Regulasi terkait penanganan masalah UMKM harus memastikan kenyamanan berusaha dan penyederhanaan izin usaha. Terkait akses pembiayaan terhadap perbankan bunga kredit yang harus dibayarkan sebisa mungkin ditekan lebih rendah (di bawah 10%).
Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran APBN untuk melakukan “subsidi bunga” kepada pelaku usaha UMKM. Melalui subsidi bunga ini, diharapkan bahwa subsidi yang selama ini hanya dihabiskan untuk kepentingan konsumsi dapat dialihkan untuk kepentingan produktif.
(bbg)