Kurikulum Kembali ke Asal

Senin, 22 Desember 2014 - 11:36 WIB
Kurikulum Kembali ke...
Kurikulum Kembali ke Asal
A A A
Pendidikan harus mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mampu melihat seluruh tuntunan perilaku hidup yang meliputi penglihatan pada ruang keluarga, pada ruang masyarakat, dan pada ruang alam.

Harus jujur, kita akui seluruh ruang itu kini mengalami penyempitan. Media massa, media elektronik, dan media sosial kini tumbuh menjadi kekuatan yang sangat memengaruhi karakter anak-anak kita. Ruang yang begitu bebas dan terbuka telah menyeret anak-anak kita pada sudut kesempitan berpikir, sehingga lahir berbagai tindak yang abnormal yang kini dilakukan anak-anak usia remaja.

Kurikulum tidak mesti mengatur pada hal-hal bersifat teknis, karena sepandaipandainya seseorang yang memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan tidak akan mungkin dia memahami seluruh kebutuhan anak Indonesia yang tersebar luas dan memiliki keragaman kualifikasi personal dan komunal.

Anak-anak perkotaan hidup di belantara tiang beton, bersemayam di rumah tanpa jendela, berlari di gang-gang sempit, berenang di sungai yang hitam dan pekat. Hidup di antara bising kendaraan, sisi penat sebuah kehidupan tiada hari tanpa kemacetan dan makanan yang harus diperoleh di tengah-tengah himpitan hidup yang semakin kejam.

Di sisi lain ada yang hidup dalam rimba riang kemudahan, air yang mengalir jernih dari sudut kamar mandi yang mengkilap, berlari dari pintu ke pintu perumahan mewah yang terhampar taman yang tertata dan asri, makanan yang siap tersaji di meja makan. Ada pula anak-anak perdesaan yang hidup di antara belantara alam yang luas, sungai yang mengalir jernih, sawah yang terbentang tanpa batas, gunung yang tinggi menjulang dirimbuni pepohonan, setiap hari bercengkerama dengan ayam, domba, sapi, kuda, dan kerbau.

Kurikulum semestinya memberikan panduan untuk membangun kesempurnaan diri mereka agar mampu beradaptasi dan melakukan perubahan pada lingkungan yang mengurungnya. Anak-anak di perkotaan dididik untuk melakukan perubahan terhadap lingkungan yang tidak tertata, belajar membuat biopori, mengelola sampah organik dan anorganik, berangkat ke sekolah dengan bersepeda atau berjalan kaki, menjernihkan air yang kotor, belajar hidup menabung dan hidup berbagi terhadap sesama, serta berbagai pembelajaran lain yang membangun kekukuhan hidup secara personal dan kekokohan hidup secara komunal.

Kekukuhan tersebut akan mampu melahirkan manusia yang memiliki jati diri dan daya saing di tengah persaingan hidup yang semakin berat, kompetisi yang melahirkan kepenatan berpikir dan gelombang manusia frustrasi karena kehilangan kendali diri dan kendali ekologi.

Anak-anak perdesaan dididik untuk memahami peta dunia, melakukan pengelolaan alam secara paripurna tanpa harus melakukan perusakan terhadap seluruh tata nilai budaya yang menjadi warisan leluhurnya. Mereka harus diberikan sebuah keyakinan akan keberadaban ajaran leluhur Nusantara tanpa harus inferior terhadap ajaran impor.

Aku bangga menjadi anak Papua, aku adalah Papua, aku adalah Aceh, aku adalah Sunda, aku adalah Jawa, aku adalah Bugis, aku adalah Minang, aku adalah Batak, aku adalah Betawi, aku adalah Bali, akulah Indonesia yang sebenarnya. Mereka akan tumbuh menjadi para diplomat budaya yang berdiri tegak dan kukuh di tengah-tengah percaturan dunia.

Karakter itulah yang menjadi dambaan kita semua. Dari keakuan itulah akan lahir kreativitas, diplomasi tanpa harus melakukan kekerasan, dan marketing perdesaan tanpa harus perusakan lingkungan yang mampu mengadvokasi kearifan budaya dari berbagai intervensi dan penghancuran atas nama modernisasi, kemapanan, dan peradaban baru yang semu.

Konsepsi pendidikan tersebut harus terpetakan secara menyeluruh di seluruh lapisan pendidikan Nusantara sehingga pola pembelajaran yang diajarkan adaptif terhadap lingkungan. Guru-guru harus tumbuh menjadi inspirator bagi para muridnya, menjadikan lingkungan sebagai laboratorium terbuka untuk mengadakan pengayaan dan penghayatan terhadap pengetahuan anak didiknya.

Pola rekrutmen guru harus memperhatikan ketersediaan tenaga yang berasal dari lingkungan tidak hanya mesti didasarkan pada standar formal, tetapi juga harus mencoba membaca aspek-aspek informal kekuatan guru. Pola rekrutmen yang tidak didasarkan pada aspek wilayah, telah melahirkan kesenjangan ketersediaan guru di sebuah wilayah.

Awalnya “Aku bersumpah bahwa aku bersedia ditempatkan di mana pun ketika aku diangkat menjadi pegawai negeri sipil”, tetapi setelah itu kelas-kelas menjadi sepi karena ditinggal oleh gurunya yang kembali ke kampung halamannya. Hal seperti itu memang tidak terjadi pada semua guru, masih banyak guruguru yang mau bertahan di tempat-tempat yang disebut daerah istimewa.

Saya menyebutnya daerah istimewa, bukan daerah terpencil karena daerah terpencil itu sebenarnya memiliki berbagai keistimewaan. Istimewa bahasa masyarakatnya, istimewa makanannya, istimewa pakaiannya, istimewa tata bahasanya, istimewa alamnya. Keistimewaan tersebut adalah cermin kekayaan alam Indonesia yang masih orisinal milik negeri kita sendiri, belum tergadaikan dan belum dibeli oleh bangsa lain.

Orisinalitas ini adalah kekayaan Indonesia yang sebenarnya karena kota dan pusat peradaban semu sudah bukan lagi milik kita. Hotel-hotel berbintang yang tinggi menjulang, tumpukan uang yang ada di berbagai perbankan, lalu lintas telekomunikasi yang kita nikmati, media sosial yang kita gandrungi, sebenarnya punya siapa? Rambut berwarna yang mereka pakai, sebenarnya rambut siapa... rambut, rambut siapa ini... begitulah kata TehEvi Tamala.

Apabila kurikulum dibuat dalam kerangka general dan diterjemahkan secara efektif dan objektif oleh para pelaksana pendidikan yang kultur dan menyeluruh, maka kurikulum tidak ada kalimat tahunan. Dia akan menjadi kekuatan yang tumbuh membingkai keanekaragaman Indonesia.

Persoalan dihentikannya pelaksanaan Kurikulum 2013 menimbulkan pertanyaan yang cukup mendalam, kenapa sebuah kebijakan yang menyangkut keberlangsungan keberadaban sebuah bangsa menjadi kebijakan yang tidak mencerminkan kematangan dalam berpikir dan kecerdasan dalam bertindak. Sudah berapa besar uang yang dibelanjakan untuk membeli buku, berapa besar uang yang dibelanjakan untuk membeli iklan, sosialisasi, pelatihan, dan sistem yang dibangun?

Angka-angka tersebut kini menjadi angka-angka tanpa makna dan terbuang percuma di tengahtengah negeri yang sibuk melakukan efisiensi. Ketika sekarang memutuskan kembali ke Kurikulum 2006, mengapa dulu membuat Kurikulum 2013? Kalau kata Meggi Z....Kau yang nyalakan, engkau juga yang padamkan...Guru dan murid adalah manusia yang memiliki rasa, bukan tumpukan kertas atau barang tanpa makna.

Tidak beradab rasanya menempatkan mereka sebagai bagian dari percobaan estimasi berpikir sempit yang dilakukan oleh para pakar pendidikan. Maka bergemuruhlah berbagai pertanyaan, sebagaimana ceuk Mang Udin urang lembur, “Bapa, apanan nu ganti mah ukur menteri jeung ngaran departemenna wungkul, ari anak buahna mah apanan henteu ganti?” (Kata Mang Udin yang orang kampung, “Bapak, kan yang berganti hanya menteri dan nama departemennya.

Anak buahnya kan tidak diganti?”), artinya bahwa yang menyusun dan menghentikan Kurikulum 2013 adalah orang dan lembaga yang sama. Kemudian, saya berujar pada Mang Udin, sudahlah, tidak usah ribut, karena semua peristiwa ini sudah ada dalam catatan peristiwa pengembaraan Bang Haji Rhoma Irama: Kurikulum 2013... kau yang mulai, kau yang mengakhiri.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4021 seconds (0.1#10.140)