Jaminan Kepastian Hukum Berinvestasi Melalui Arbitrase
A
A
A
Di era globalisasi saat ini, transaksi bisnis internasional sudah mengglobal dan melibatkan banyak pihak dari berbagai penjuru dunia. Bisnis dan investasi dapat dilakukan oleh siapa pun di negara mana pun asalkan tidak memiliki risiko investasi yang berpotensi merugikan.
Perkembangan Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi akhir-akhir ini menciptakan iklim investasi yang baik dan berkesinambungan. Apalagi peluang investasi di Indonesia tidak hanya berpusat di Pulau Jawa, tetapi juga tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari kota-kota besar hingga pelosok daerah.
Berdasarkan pada fakta tersebut, masing-masing negara tujuan investasi, terkhusus Indonesia, harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pelaku bisnis yang datang untuk memicu peningkatan perekonomian di Indonesia. Peluang investasi oleh para pelaku bisnis akan menjadi lebih besar jika ada jaminan bahwa penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia dapat ditempuh secara efektif dan efisien.
Dalam transaksi bisnis saat ini, penyelesaian sengketa yang lebih diminati adalah melalui arbitrase sebagai alternative dispute resolution (ADR) dibandingkan melalui pengadilan. Hal ini karena arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat win-win solution dalam kurun waktu tidak lebih dari enam bulan, confidential dan putusannya bersifat final and binding.
Selain itu, putusan arbitrase juga bersifat pertama dan terakhir karena dalam arbitrase tidak ada upaya banding dan kasasi, para pihak juga diberikan kebebasan untuk meminta jasa arbitrer baik itu berupa arbitrer tunggal (sole arbitrator) atau majelis arbitrase (panel of arbitrators) yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Kemudian, para pihak bebas memilih arbitrernya berdasarkan kompetensi dan latar belakang pengalaman serta integritasnya. Banyaknya kemudahan yang didapatkan melalui mekanisme arbitrase sebagai penyelesaian sengketa, mengakibatkan para pelaku usaha mencoba menghindari penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
Namun, mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase kerap kali bermasalah dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, perkara PT Berkah Karya Bersama vs Siti Hardiyanti Rukmana dalam kasus TPI yang baru-baru ini diputus Mahkamah Agung RI. Para pihak yang dalam perjanjian telah memuat klausul arbitrase, dalam praktiknya justru bersengketa di pengadilan.
Padahal, di dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) telah diatur jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa (party autonomy), maka pengadilan tidak mempunyai kewenangan atau yurisdiksi mengadili suatu sengketa bisnis.
Selain itu, ada prinsip competence-competence dalam mekanisme arbitrase kelembagaan (BANI) di mana yang dapat menentukan kewenangan dari majelis arbitrase hanyalah majelis arbitrase itu sendiri. Oleh karenaitu, majelisarbitrase yang memeriksa perkara tersebut dapat terus memeriksa sengketa bisnis dengan mengabaikan pemeriksaan di pengadilan.
Majelis arbitrase dapat menentukan validitas dari klausul arbitrase dan menyatakan mempunyai kewenangan (yurisdiksi) untuk memeriksa dan memutus suatu perkara arbitrase dan mengabaikan hak ingkar di pengadilan, yang sesungguhnya harus dialamatkan kepada lembaga arbitrase c.q. majelis arbitrase.
Lebih lanjut, pengabaian atas proses arbitrase sengketa bisnis yang telah diperjanjikan para pihak (party autonomy) akan menyulut ketidakpastian hukum bagi pelaku bisnis dan investor. Kalau tidak cepat dibenahi, pengabaian proses arbitrase akan mengakibatkan counter productive bagi upaya peningkatan investasi di Indonesia.
Jaminan Pemerintah RI
Jika pemerintah tidak dapat menjamin penegakan hukum melalui penyelesaian sengketa bisnis melalui mekanisme arbitrase, para investor (asing) akan berpaling ke negara-negara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum.
Apalagi mengingat risiko berinvestasi di Indonesia tergolong lumayan besar, seperti korupsi yang marak, birokrasi yang rumit, infrastruktur yang belum merata, seringnya terjadi demonstrasi, bencana alam, kekerasan etnis, konflik horizontal dan agama, terorisme, dan masih banyak lagi.
Hal tersebut tentu saja dapat mengakibatkan para pelaku bisnis mempertimbangkan ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Promosi untuk menarik investasi seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam konferensi internasional seperti APEC di Beijing beberapa waktu, yang lalu tentu merupakan langkah yang efektif untuk menarik para pelaku bisnis berinvestasi di Indonesia.
Langkah tersebut tentunya akan lebih jitu jika ditambah dengan kemudahan lainnya seperti konsep one stop service di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pengurangan pajak bagi para pelaku usaha. Yang terpenting, Indonesia harus melepaskan statusnya sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase (arbitration unfriendly state).
Jangan sampai pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang mempunyai klausul arbitrase terjadi lagi. Jika pemerintah RI masih terus membiarkan hal ini berlanjut, bukan tidak mungkin minat pelaku bisnis untuk menanamkan modal di Indonesia akan menyusut.
Perkembangan Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi akhir-akhir ini menciptakan iklim investasi yang baik dan berkesinambungan. Apalagi peluang investasi di Indonesia tidak hanya berpusat di Pulau Jawa, tetapi juga tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari kota-kota besar hingga pelosok daerah.
Berdasarkan pada fakta tersebut, masing-masing negara tujuan investasi, terkhusus Indonesia, harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pelaku bisnis yang datang untuk memicu peningkatan perekonomian di Indonesia. Peluang investasi oleh para pelaku bisnis akan menjadi lebih besar jika ada jaminan bahwa penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia dapat ditempuh secara efektif dan efisien.
Dalam transaksi bisnis saat ini, penyelesaian sengketa yang lebih diminati adalah melalui arbitrase sebagai alternative dispute resolution (ADR) dibandingkan melalui pengadilan. Hal ini karena arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat win-win solution dalam kurun waktu tidak lebih dari enam bulan, confidential dan putusannya bersifat final and binding.
Selain itu, putusan arbitrase juga bersifat pertama dan terakhir karena dalam arbitrase tidak ada upaya banding dan kasasi, para pihak juga diberikan kebebasan untuk meminta jasa arbitrer baik itu berupa arbitrer tunggal (sole arbitrator) atau majelis arbitrase (panel of arbitrators) yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Kemudian, para pihak bebas memilih arbitrernya berdasarkan kompetensi dan latar belakang pengalaman serta integritasnya. Banyaknya kemudahan yang didapatkan melalui mekanisme arbitrase sebagai penyelesaian sengketa, mengakibatkan para pelaku usaha mencoba menghindari penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
Namun, mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase kerap kali bermasalah dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, perkara PT Berkah Karya Bersama vs Siti Hardiyanti Rukmana dalam kasus TPI yang baru-baru ini diputus Mahkamah Agung RI. Para pihak yang dalam perjanjian telah memuat klausul arbitrase, dalam praktiknya justru bersengketa di pengadilan.
Padahal, di dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) telah diatur jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa (party autonomy), maka pengadilan tidak mempunyai kewenangan atau yurisdiksi mengadili suatu sengketa bisnis.
Selain itu, ada prinsip competence-competence dalam mekanisme arbitrase kelembagaan (BANI) di mana yang dapat menentukan kewenangan dari majelis arbitrase hanyalah majelis arbitrase itu sendiri. Oleh karenaitu, majelisarbitrase yang memeriksa perkara tersebut dapat terus memeriksa sengketa bisnis dengan mengabaikan pemeriksaan di pengadilan.
Majelis arbitrase dapat menentukan validitas dari klausul arbitrase dan menyatakan mempunyai kewenangan (yurisdiksi) untuk memeriksa dan memutus suatu perkara arbitrase dan mengabaikan hak ingkar di pengadilan, yang sesungguhnya harus dialamatkan kepada lembaga arbitrase c.q. majelis arbitrase.
Lebih lanjut, pengabaian atas proses arbitrase sengketa bisnis yang telah diperjanjikan para pihak (party autonomy) akan menyulut ketidakpastian hukum bagi pelaku bisnis dan investor. Kalau tidak cepat dibenahi, pengabaian proses arbitrase akan mengakibatkan counter productive bagi upaya peningkatan investasi di Indonesia.
Jaminan Pemerintah RI
Jika pemerintah tidak dapat menjamin penegakan hukum melalui penyelesaian sengketa bisnis melalui mekanisme arbitrase, para investor (asing) akan berpaling ke negara-negara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum.
Apalagi mengingat risiko berinvestasi di Indonesia tergolong lumayan besar, seperti korupsi yang marak, birokrasi yang rumit, infrastruktur yang belum merata, seringnya terjadi demonstrasi, bencana alam, kekerasan etnis, konflik horizontal dan agama, terorisme, dan masih banyak lagi.
Hal tersebut tentu saja dapat mengakibatkan para pelaku bisnis mempertimbangkan ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Promosi untuk menarik investasi seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam konferensi internasional seperti APEC di Beijing beberapa waktu, yang lalu tentu merupakan langkah yang efektif untuk menarik para pelaku bisnis berinvestasi di Indonesia.
Langkah tersebut tentunya akan lebih jitu jika ditambah dengan kemudahan lainnya seperti konsep one stop service di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pengurangan pajak bagi para pelaku usaha. Yang terpenting, Indonesia harus melepaskan statusnya sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase (arbitration unfriendly state).
Jangan sampai pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang mempunyai klausul arbitrase terjadi lagi. Jika pemerintah RI masih terus membiarkan hal ini berlanjut, bukan tidak mungkin minat pelaku bisnis untuk menanamkan modal di Indonesia akan menyusut.
(bbg)