Lembaga Antikorupsi & Hari Antikorupsi
A
A
A
Tak dapat dimungkiri, keberhasilan pemberantasan korupsi punya korelasi positif dengan mapannya lembaga pemberantas korupsinya. Mapan yang dimaksud tentu saja tidak hanya pada konsep ada dan bekerja, tetapi juga memiliki korelasi yang kuat dengan berbagai lembaga lain yang ada dalam sistem penegakan hukum antikorupsi.
Di dalam konteks Indonesia saat ini, setidaknya ada tiga lembaga utama yang bekerja dalam bersih-bersih korupsi di Indonesia yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Ketiganya bekerja secara utama. Tetapi, dalam konteks yang lain, dapat dikatakan bahwa ada begitu banyak lembaga lain yang juga bekerja dalam kerja-kerja mengawal negara yang bersih dan sehat dari praktik- praktik korupsi maupun inefisiensi anggaran negara.
Jumlah yang sangat banyak dan semua juga harus dianggap penting dalam kerangka membawa Indonesia yang bersih dari penyakit koruptif. Pada Hari Antikorupsi saat ini, menarik untuk memperbincangkan kembali relasi dan koordinasi antarlembaga yang bekerja dalam upaya bersihbersih Indonesia.
Kita punya begitu banyak lembaga yang rasanya harus dikawal, apalagi dalam konteks pemerintahan baru. Pertanyaan reflektifnya tentu saja, bagaimana pemerintahan baru menghela pemberantasan korupsi dengan lembaga yang ada dan dimiliki saat ini? Pilih
Orang Baik
Ini dimulai dengan memilih orang-orang yang akan dipakai untuk mendukung pemberantasan korupsi dengan baik dan tentu saja membutuhkan penegak hukum yang bersih dan memiliki komitmen kuat. Kejaksaan dan kepolisian yang menjadi ”tangan” utama pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi haruslah diisi orang yang pas.
Intinya, mencari orang yang tepat adalah hal yang penting. Pemilihan jabatan Jaksa Agung kemarin sudah sedikit banyak mengecewakan harapan pada pemberantasan korupsi. Bagaimana mungkin tokoh partai politik yang dipakai untuk menghela pemberantasan korupsi. Partai politik biasanya punya preferensi tertentu. Tokoh partai pun biasanya berada di situ. Kita masih menunggu keberanian melakukan terobosan di jabatan Kapolri.
Akankah pemerintahan Jokowi-JK mampu menemukan orang yang tepat di situ, akan terjawab nanti. Ini juga untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu di kementrian, khususnya pada eselon-eselon tertentu yang menjadi pengambil kebijakan pemerintah dalam menjalankan fungsi- fungsi Presiden.
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) telah membuka kesempatan tersebut. Tindak lanjutnya tentu saja adalah kemampuan Presiden untuk menerjemahkan semangat yang ada. Pola-pola lelang jabatan yang lebih partisipatif dan transparan perlu menjadi rujukan utama dalam memilih jabatan-jabatan tertentu di berbagai lembaga dan kementerian.
Pilihan orang baik diikuti dengan tindakan tidak segan melakukan upaya teguran kuat dan kencang terhadap lembagalembaga dan kementerian di bawah Presiden yang tidak serius dalam mendorong pemberantasan korupsi. Pemerintah sebelumnya secara tanpa sadar telah melanggengkan proses koruptif melalui ketidakberanian untuk melakukan pergantian seketika atas pejabatpejabat kementerian dan lembaga yang tidak pro pada pemberantasan korupsi.
Hambatan politis dan berbagai pertimbangan lain telah mengambil alih kebijakan negara sehingga alih-alih menghentikan, tetapi paling kuat hanya akan melakukan rotasi jabatan. Padahal, membiarkan orang-orang koruptif ini tetap berada di kementerian dan lembaga adalah membuat orangorang tersebut akan memindahkan penyakitnya ke unit baru tersebut.
Ihwal yang dilakukan bukan sekadar mendapatkan tokoh yang pas pada posisi yang pas, melainkan juga mempertahankan rasa kepercayaan publik. Andai pilihan orang tepat dilanjutkan, tentu akan ada harapan berarti. Karena itu, teguran kuat dan kencang merupakan bagian yang harus dalam mendapatkan lembaga-lembaga yang kuat dan tepercaya dalam menegakkan hukum dan kebijakan pemberantasan korupsi.
Koordinasi
Hal berikutnya adalah mendorong dan memastikan kejaksaan dan kepolisian ikut mendorong pemberantasan korupsi dengan ”leader ” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemberantasan korupsi gagal mencapai kecepatan optimal selama ini karena alih-alih kejaksaan dan kepolisian mendukung KPK, tetapi yang terjadi malah penolakan atas posisi koordinasi KPK atas mereka.
Langkah yang dapat diambil pemerintah sesungguhnya sederhana, perintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk memberikan porsi sebesar-besarnya penanganan korupsi ke koordinasi penuh oleh KPK. Jangan lagi ada hambatan-hambatan apologi administratif ataupun kultural yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian untuk menolak kehadiran KPK dalam berbagai kasus-kasus korupsi, termasuk yang ada di daerah.
Begitu kejaksaan dan kepolisian terindikasi tidak mampu atau tidak mau dalam menyelesaikan perkara korupsi, berikan kesempatan penyelesaiannya ke KPK. Dengan begitu, tidak ada kesan keistimewaan perlakuan bagi kasus korupsi yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian yang notabene sangat dekat dengan rentang kendali Presiden.
Langkah itu juga dilakukan dalam pembenahan pendataan perkara korupsi. Jika kepolisian atau kejaksaan mengerjakan perkara korupsi, harus disampaikan dengan detail ke KPK, baik dimulainya, tahapannya, hingga progresnya.
Dari situlah KPK bisa menentukan kapan suatu perkara seharusnya diambil alih atau masih tetap diberikan kepercayaan pada kepolisian dan kejaksaan. Dengan begitu, kontrol atas perkara korupsi dapat diketahui. Dengan itu juga dapat diukur keseriusan pemberantasan korupsi oleh semua lembaga-lembaga yang bekerja di wilayah tersebut.
Pemberdayaan Lembaga Lain
Hal yang tidak mungkin dilupakan adalah penguatan peran dan kelembagaan lembagalembaga pengawas yang berada di bawah rentang kendali pemerintah secara langsung. Ada banyak lembaga pengawas mulai dari konsep Satuan Pengawas Internal (SPI) hingga model besar semisal Badan Pengawas Pembangunan dan Keuangan (BPKP).
Ada banyak langkah yang harus diselesaikan di kitaran lembaga pengawasan ini agar membuatnya lebih kuat mengontrol dan mendorong pemberantasan korupsi. Yang mula tentu saja adalah pemfungsian lembaga lembaga-lembaga ini dengan benar.
Memikirkan format dan pengawasan langsung ke unit di bawah Presiden tentu saja dapat menjadi langkah menarik untuk membebaskan inspektorat misalnya dari ketergantungan relasi dengan menteri yang membawahinya. Tetapi, tidak hanya di situ, salah satu isu besar yang harus diselesaikan oleh Presiden segera adalah meramunya menjadi konsep sistem pengawasan nasional yang terformat menjadi aturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari reformasi birokrasi.
Hingga saat ini RUU Sistem Pengawasan Nasional belum (sama sekali tidak) mendapatkan perhatian berarti dari paket perbaikan perundang-undangan di bidang reformasi birokrasi. Presiden harus berani menjadi pengambil alih peran sinkronisasi dengan perintah yang kuat dan jelas untuk keberadaan sistem pengawasan nasional. Ada banyak hal yang akan selesai dengan aturan jelas dan kuat untuk sistem pengawasan nasional.
Semisal dualisme BPK dan BPKP bisa diakhiri melalui RUU tersebut. Jadi bukan hanya berada pada memikirkan kelembagaannya, tetapi juga hadir upaya institusionalisasi dan menguatkan relasi serta potret kerja antarlembaga. Jika itu dilakukan, tentu akan memberikan tambahan tenaga yang tidak kecil karena tidak lagi terdapat kecurigaan dan kegagalan karena ada redundancy tugas antarsatu lembaga dan lembaga lain.
Dukungan Politik Pendanaan
Secara kelembagaan kegiatan kuat biasanya hanya dapat dilakukan jika didukung pendanaan yang memadai. Lembaga penegak hukum semisal kejaksaan dan kepolisian masih memiliki pendanaan negara yang tidak baik. Biaya penanganan perkara yang sangat terbatas seringkali membuat kejaksaan dan kepolisian melakukan tindakan koruptif dengan dalih melakukan pembiayaan atas penanganan perkara lain.
Selama ini itulah yang sering dikeluhkan kejaksaan dan kepolisian karena terpaksa melakukan ”subsidi silang” oleh satu kebutuhan pada perkara tertentu dengan mengerjakan perkara lain. Seakan-akan, memeras perkara tertentu yang akan dipakai untuk membiayai perkara lain.
Itulah yang selama ini digunakan sebagai dalih oleh para oknum nakal kejaksaan dan kepolisian yang melakukan tindakan koruptif. Negara harus bertindak fair. Mengerjakan kasus-kasus penting memerlukan pendanaan yang tidak kecil, bahkan seringkali amat besar. Negara mau tidak mau memikirkan pendanaan yang berarti untuk membuatnya menjadi lebih bisa dikerjakan tanpa menyalahkan soal keterbatasan anggaran.
Yang penting dari sebuah perayaan tentu saja bukan gegap gempitanya, tetapi kemudian gagap di dalam mengerjakannya. Gaung peringatan Hari Antikorupsi yang tahun ini dipusatkan di Yogyakarta sudah sangat besar. Semoga tabuhan genderang di hari perayaan berlanjut dalam kerja keseharian. Kita semua menanti gema setelah Hari Antikorupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah menghadapi masalah korupsi ini.
Di dalam konteks Indonesia saat ini, setidaknya ada tiga lembaga utama yang bekerja dalam bersih-bersih korupsi di Indonesia yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Ketiganya bekerja secara utama. Tetapi, dalam konteks yang lain, dapat dikatakan bahwa ada begitu banyak lembaga lain yang juga bekerja dalam kerja-kerja mengawal negara yang bersih dan sehat dari praktik- praktik korupsi maupun inefisiensi anggaran negara.
Jumlah yang sangat banyak dan semua juga harus dianggap penting dalam kerangka membawa Indonesia yang bersih dari penyakit koruptif. Pada Hari Antikorupsi saat ini, menarik untuk memperbincangkan kembali relasi dan koordinasi antarlembaga yang bekerja dalam upaya bersihbersih Indonesia.
Kita punya begitu banyak lembaga yang rasanya harus dikawal, apalagi dalam konteks pemerintahan baru. Pertanyaan reflektifnya tentu saja, bagaimana pemerintahan baru menghela pemberantasan korupsi dengan lembaga yang ada dan dimiliki saat ini? Pilih
Orang Baik
Ini dimulai dengan memilih orang-orang yang akan dipakai untuk mendukung pemberantasan korupsi dengan baik dan tentu saja membutuhkan penegak hukum yang bersih dan memiliki komitmen kuat. Kejaksaan dan kepolisian yang menjadi ”tangan” utama pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi haruslah diisi orang yang pas.
Intinya, mencari orang yang tepat adalah hal yang penting. Pemilihan jabatan Jaksa Agung kemarin sudah sedikit banyak mengecewakan harapan pada pemberantasan korupsi. Bagaimana mungkin tokoh partai politik yang dipakai untuk menghela pemberantasan korupsi. Partai politik biasanya punya preferensi tertentu. Tokoh partai pun biasanya berada di situ. Kita masih menunggu keberanian melakukan terobosan di jabatan Kapolri.
Akankah pemerintahan Jokowi-JK mampu menemukan orang yang tepat di situ, akan terjawab nanti. Ini juga untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu di kementrian, khususnya pada eselon-eselon tertentu yang menjadi pengambil kebijakan pemerintah dalam menjalankan fungsi- fungsi Presiden.
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) telah membuka kesempatan tersebut. Tindak lanjutnya tentu saja adalah kemampuan Presiden untuk menerjemahkan semangat yang ada. Pola-pola lelang jabatan yang lebih partisipatif dan transparan perlu menjadi rujukan utama dalam memilih jabatan-jabatan tertentu di berbagai lembaga dan kementerian.
Pilihan orang baik diikuti dengan tindakan tidak segan melakukan upaya teguran kuat dan kencang terhadap lembagalembaga dan kementerian di bawah Presiden yang tidak serius dalam mendorong pemberantasan korupsi. Pemerintah sebelumnya secara tanpa sadar telah melanggengkan proses koruptif melalui ketidakberanian untuk melakukan pergantian seketika atas pejabatpejabat kementerian dan lembaga yang tidak pro pada pemberantasan korupsi.
Hambatan politis dan berbagai pertimbangan lain telah mengambil alih kebijakan negara sehingga alih-alih menghentikan, tetapi paling kuat hanya akan melakukan rotasi jabatan. Padahal, membiarkan orang-orang koruptif ini tetap berada di kementerian dan lembaga adalah membuat orangorang tersebut akan memindahkan penyakitnya ke unit baru tersebut.
Ihwal yang dilakukan bukan sekadar mendapatkan tokoh yang pas pada posisi yang pas, melainkan juga mempertahankan rasa kepercayaan publik. Andai pilihan orang tepat dilanjutkan, tentu akan ada harapan berarti. Karena itu, teguran kuat dan kencang merupakan bagian yang harus dalam mendapatkan lembaga-lembaga yang kuat dan tepercaya dalam menegakkan hukum dan kebijakan pemberantasan korupsi.
Koordinasi
Hal berikutnya adalah mendorong dan memastikan kejaksaan dan kepolisian ikut mendorong pemberantasan korupsi dengan ”leader ” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemberantasan korupsi gagal mencapai kecepatan optimal selama ini karena alih-alih kejaksaan dan kepolisian mendukung KPK, tetapi yang terjadi malah penolakan atas posisi koordinasi KPK atas mereka.
Langkah yang dapat diambil pemerintah sesungguhnya sederhana, perintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk memberikan porsi sebesar-besarnya penanganan korupsi ke koordinasi penuh oleh KPK. Jangan lagi ada hambatan-hambatan apologi administratif ataupun kultural yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian untuk menolak kehadiran KPK dalam berbagai kasus-kasus korupsi, termasuk yang ada di daerah.
Begitu kejaksaan dan kepolisian terindikasi tidak mampu atau tidak mau dalam menyelesaikan perkara korupsi, berikan kesempatan penyelesaiannya ke KPK. Dengan begitu, tidak ada kesan keistimewaan perlakuan bagi kasus korupsi yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian yang notabene sangat dekat dengan rentang kendali Presiden.
Langkah itu juga dilakukan dalam pembenahan pendataan perkara korupsi. Jika kepolisian atau kejaksaan mengerjakan perkara korupsi, harus disampaikan dengan detail ke KPK, baik dimulainya, tahapannya, hingga progresnya.
Dari situlah KPK bisa menentukan kapan suatu perkara seharusnya diambil alih atau masih tetap diberikan kepercayaan pada kepolisian dan kejaksaan. Dengan begitu, kontrol atas perkara korupsi dapat diketahui. Dengan itu juga dapat diukur keseriusan pemberantasan korupsi oleh semua lembaga-lembaga yang bekerja di wilayah tersebut.
Pemberdayaan Lembaga Lain
Hal yang tidak mungkin dilupakan adalah penguatan peran dan kelembagaan lembagalembaga pengawas yang berada di bawah rentang kendali pemerintah secara langsung. Ada banyak lembaga pengawas mulai dari konsep Satuan Pengawas Internal (SPI) hingga model besar semisal Badan Pengawas Pembangunan dan Keuangan (BPKP).
Ada banyak langkah yang harus diselesaikan di kitaran lembaga pengawasan ini agar membuatnya lebih kuat mengontrol dan mendorong pemberantasan korupsi. Yang mula tentu saja adalah pemfungsian lembaga lembaga-lembaga ini dengan benar.
Memikirkan format dan pengawasan langsung ke unit di bawah Presiden tentu saja dapat menjadi langkah menarik untuk membebaskan inspektorat misalnya dari ketergantungan relasi dengan menteri yang membawahinya. Tetapi, tidak hanya di situ, salah satu isu besar yang harus diselesaikan oleh Presiden segera adalah meramunya menjadi konsep sistem pengawasan nasional yang terformat menjadi aturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari reformasi birokrasi.
Hingga saat ini RUU Sistem Pengawasan Nasional belum (sama sekali tidak) mendapatkan perhatian berarti dari paket perbaikan perundang-undangan di bidang reformasi birokrasi. Presiden harus berani menjadi pengambil alih peran sinkronisasi dengan perintah yang kuat dan jelas untuk keberadaan sistem pengawasan nasional. Ada banyak hal yang akan selesai dengan aturan jelas dan kuat untuk sistem pengawasan nasional.
Semisal dualisme BPK dan BPKP bisa diakhiri melalui RUU tersebut. Jadi bukan hanya berada pada memikirkan kelembagaannya, tetapi juga hadir upaya institusionalisasi dan menguatkan relasi serta potret kerja antarlembaga. Jika itu dilakukan, tentu akan memberikan tambahan tenaga yang tidak kecil karena tidak lagi terdapat kecurigaan dan kegagalan karena ada redundancy tugas antarsatu lembaga dan lembaga lain.
Dukungan Politik Pendanaan
Secara kelembagaan kegiatan kuat biasanya hanya dapat dilakukan jika didukung pendanaan yang memadai. Lembaga penegak hukum semisal kejaksaan dan kepolisian masih memiliki pendanaan negara yang tidak baik. Biaya penanganan perkara yang sangat terbatas seringkali membuat kejaksaan dan kepolisian melakukan tindakan koruptif dengan dalih melakukan pembiayaan atas penanganan perkara lain.
Selama ini itulah yang sering dikeluhkan kejaksaan dan kepolisian karena terpaksa melakukan ”subsidi silang” oleh satu kebutuhan pada perkara tertentu dengan mengerjakan perkara lain. Seakan-akan, memeras perkara tertentu yang akan dipakai untuk membiayai perkara lain.
Itulah yang selama ini digunakan sebagai dalih oleh para oknum nakal kejaksaan dan kepolisian yang melakukan tindakan koruptif. Negara harus bertindak fair. Mengerjakan kasus-kasus penting memerlukan pendanaan yang tidak kecil, bahkan seringkali amat besar. Negara mau tidak mau memikirkan pendanaan yang berarti untuk membuatnya menjadi lebih bisa dikerjakan tanpa menyalahkan soal keterbatasan anggaran.
Yang penting dari sebuah perayaan tentu saja bukan gegap gempitanya, tetapi kemudian gagap di dalam mengerjakannya. Gaung peringatan Hari Antikorupsi yang tahun ini dipusatkan di Yogyakarta sudah sangat besar. Semoga tabuhan genderang di hari perayaan berlanjut dalam kerja keseharian. Kita semua menanti gema setelah Hari Antikorupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah menghadapi masalah korupsi ini.
(bbg)